
Batubulan, sebuah desa di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Desa ini kerap dilintasi orang-orang dari Denpasar yang ingin ke Ubud atau sebaliknya dilintasi para komuter yang bekerja di Denpasar. Apa yang berubah dari desa Barong Dance ini?
Rasa penasarab tersebut membawa tim BaleBengong melaksanakan Kelas Jurnalisme Warga (KJW) di Desa Batubulan. Pagi jam 09.00 WITA (25/01) kami berangkat dari Denpasar ke Puspa Aman Desa Batubulan. Puspa Aman merupakan singkatan dari pusat pangan alami mandiri asri dan nyaman, sebuah lahan yang dikembangkan sebagai penghasil pangan desa untuk meningkatkan gizi keluarga.
Meski udara panas, Puspa Aman saat itu terasa sejuk. Nyiur angin mengundang rasa kantuk. Para peserta duduk menyebar di pojokan. Rasa kantuk lenyap ketika fasilitator memanggil peserta untuk merapat.
Peserta saat itu berjumlah sepuluh orang dari Karang Taruna Sila Chandra Desa Batubulan. Berbeda dari desa KJW sebelumnya, para peserta ternyata belum mengenal satu sama lain. Asal banjar mereka berbeda-beda, mengingat ada 16 banjar berbeda di Desa Batubulan. Namun, tidak semua perwakilan banjar hadir pagi itu.

Rasa hangat perlahan terbentuk ketika peserta saling mengenal satu sama lain. Seperti biasa, hari pertama diisi dengan mengenal BaleBengong dan dunia jurnalistik. Pengenalan BaleBengong diisi oleh Juniantari. Kemudian, materi dasar-dasar jurnalistik diisi oleh Luh De Suriyani.
Selain pemateri dari BaleBengong, hadir pula pewarta warga asal BatuBulan, I Wayan Willyana atau yang dikenal dengan nama Kaung. Kaung merupakan seorang pemandu wisata yang hobi menulis.
Setelah makan siang bersama, Kaung menceritakan perubahan yang ia lihat di Desa Batubulan selama menjadi pemandu wisata. Pada tahun 90-an, Batubulan adalah jalur utama pariwisata. Masyarakat dari daerah sekitar Batubulan berbondong-bondong mencari pundi-pundi uang dari industri pariwisata di Batubulan.

Kaung menyebut Desa Batubulan mengalami post power syndrome karena pada tahun 90-an desa tersebut pernah mengalami masa jayanya. Kejayaan Batubulan di sektor pariwisata membawa pengaruh ke adat dan budaya desa tersebut. “Makanya kenapa ritual di Batubulan itu ribet? Karena kita pernah jaya,” ujar Kaung disambut tawa oleh para peserta yang fokus mendengarkan.
Ia menyebut bahwa dulu masyarakat Batubulan memiliki banyak waktu luang dan banyak uang, sehingga hidup mereka sangat santai. Saking banyaknya waktu, pernah ada satu acara desa yang diselenggarakan selama satu bulan penuh dengan 36 cabang perlombaan. “Bayangkan siapa sekarang yang bisa garap event desa selama satu bulan kalau emang nggak berlebih,” ungkap Kaung.
Kaung menceritakan banyak hal tentang Batubulan, mulai dari pergolakan PKI, masa jaya pariwisata, hingga dampak bom Bali terhadap pariwisata di Batubulan. Kisah yang disampaikan Kaung siang itu dapat dibaca di BaleBengong.
Cerita Kaung memberikan ide-ide yang menarik untuk diliput oleh para peserta. Salah satu peserta meliput tentang budaya macobak yang menjadi acuan waktu sangkep dan ngayah di Desa Batubulan. Macobak berasal dari kata mencoba, yang mengacu pada pertunjukan Tari Barong di Desa Batubulan.
Ada pula peserta yang meliput tentang lamak di Desa Batubulan. Berbeda dengan daerah lainnya, masyarakat Desa Batubulan cenderung membuat lamak berukuran panjang. Selain lamak, satu kelompok mengangkat tentang kisah serati di Desa Batubulan. Kisah ini terinspirasi dari lagu Nosstress berjudul Bu Darmi.
Tentu saja liputan tentang kuliner tidak boleh dilupakan. Kuliner legendaris Warung Nasi Men Rida menjadi pilihan menarik untuk diliput. Mengunjungi warung ini harus pagi-pagi sekali jika tidak ingin melewatkan nikmat nasi campurnya. Selain kuliner, ada satu liputan yang membahas ruang kreatif di Desa Batubulan, yaitu Tegaltemu Space. Ruang kreatif ini memiliki pojok seni yang dikemas seperti mading di sekolah.

KJW Desa Batubulan dilaksanakan selama dua hari, yaitu pada 25 – 26 Januari 2025. Singkatnya waktu membuat salah satu peserta sempat merasa kewalahan. “Mungkin karena waktu yang singkat jadi kurang maksimal,” ungkap Ratna, peserta yang meliput tentang lamak. Meski waktu yang singkat, tak disangka-sangka hasil liputan mereka dipilih sebagai yang terbaik.
Salah satu peserta, Yusan yang meliput tentang tradisi macobak merasa kegiatan KJW membuka ingatannya kembali tentang Tari Barong. Pasalnya, sudah lama sejak terakhir dirinya menonton Tari Barong di Pura Puseh Desa Batubulan.


Selain mengenalkan adat dan budaya Desa Batubulan kepada masyarakat di luar desa, KJW ini secara tidak langsung juga membuka ingatan anak muda Desa Batubulan tentang desanya sendiri. KJW ditutup dengan pemilihan peserta terbaik, tulisan terbaik diraih oleh tulisan Perempuan Batubulan Representasi Lagu Nosstress “Bu Darmi”. Ada pula video Postur dan Estetika Lamak di Desa Batubulan sebagai video terbaik.
Meski telah berakhir, KJW Desa Batubulan membuka ruang bagi kawula muda di Desa Batubulan untuk menjadi pewarta warga di desa mereka.
KJW BaleBengong tidak berhenti di sini. Nantikan kami di desa lainnya.