
Pulau Bali kini sedang ramai dilanda berbagai teror di depan publik. Mulai dari penusukan, pembunuhan, pengeroyokan, yang menyebabkan jatuhnya korban. Beberapa rangkaian teror yang melanda Bali tersebut di antaranya adalah penikaman Kadek Parwata di depan sebuah warung di Jalan Nangka, Kelurahan Tonja, Denpasar Utara. video penikaman ini tersebar luas di media sosial yang membuat geram dan marah publik.
Tidak hanya itu. Aksi kekerasan di tempat hiburan malam yang melibatkan Warga Negara Asing (WNA), para bule, wisatawan yang mencari hiburan di Bali terus-menerus berlangsung tanpa henti. Selalu saja ada peristiwa kekerasan di tempat publik dan hiburan malam di Bali. Kali ini para WNA itu melakukan pengeroyokan terhadap staf keamanan Finns Beach Club di wilayah wisata Canggu. Dari utara Bali, masyarakat Bali dibuat tercengang dengan peristiwa sadis tiga perempuan yang melakukan pembunuhan terhadap seorang pria.
Ada juga peristiwa pembacokan terhadap seorang sopir truk di depan sebuah kafe di Nusa Dua, Badung. Pelaku merupakan anak kos yang tinggal di dekat lokasi kejadian. Seorang siswi SMA menjadi korban begal di wilayah Pecatu, Kuta Selatan, Badung. Pelaku menganiaya korban dan merampas tas berisi handphone. Peristiwa ini juga sempat ramai mengundang kemarahan publik Bali, yang salah satunya berisi kekhawatiran anak atau saudara mereka yang bekerja di wilayah Pecatu dan Nusa Dua. 1Kekhawatiran dan kegelisahan tersebut dibarengi dengan tagar #BaliTidakBaikBaikSaja.
Rangkaian teror tersebut semakin mencekam publik saat ingar-bingar media sosial menghadirkan foto dan potongan video-video aksi kekerasan tersebut. Meski menyebarkan teror secara luas, media sosial juga menumbuhkan suara keprihatinan dan solidaritas terhadap korban kekerasan. Aksi penggalangan dana untuk membantu keluarga korban berlangsung secara massif dari para netizen dan tokoh-tokoh publik. Empati publik terhadap keluarga korban dan kecemasan yang dibagi bersama terhadap kondisi Bali hadir secara bersamaan di media sosial dan aksi nyata.
Wajah Suram Pariwisata
Majalah Tempo menulis editorial yang menyentak pada edisi terbarunya, 16 Februari 2025. Judulnya, “Neraka Pariwisata di Pulau Dewata”. Paragraf pertama editorial ini sudah jelas menunjukkan perspektifnya: “Bertambahnya angka kriminalitas di Bali tidak terlepas dari masifnya pariwisata yang berlebihan atau overtourism di Pulau Dewata. Kejahatan bersama polusi, kebisingan, kemacetan, kenaikan harga properti, serta kerusakan lingkungan merupakan konsekuensi fenomena tersebut.2
Perspektif yang berbeda justru dihadirkan oleh media lokal yang mengedepankan para pelaku dari tindakan kriminalitas yang menjadi kecemasan masyarakat Bali. Pelaku kriminalitas yang merangkak naik adalah dari WNA dan para “pendatang” (migran) yang masuk mencari penghidupan di Bali. Para pengamat dan akademisi juga lebih menyoroti tentang para “pendatang” dan WNA yang tidak mengerti dan menghormati budaya Bali serta tindakan kekerasan mereka bisa merusak citra Bali dan mencoreng dunia pariwisata.
Selama ini, dalam wacana pariwisata dan akademik, jarang sekali kita mendedah secara terbuka dan jujur sisi suram pariwisata yang menakutkan itu, yang kini menjadi teror di pulau sorga ini. Mengungkapkan sisi suram dari pariwisata akan membuat para pelaku pariwisata marah karena akan merusak citra Bali yang menyebabkan kunjungan turis menurun. Bisnis pariwisata adalah bisnis memoles apa yang tampak suram atau sisi-sisi buruk, yang kemudian disimpan lalu diganti dengan polesan yang sebenarnya palsu. Akibat sering disimpan dan dipalsukan, sehingga menumpuk bagai gunung api yang siap untuk menumpahkan lahar panasnya.
Kita sudah sering-kali diingatkan bahwa kapasitas Bali untuk pembangunan infrastruktur pariwisata sudah mulai jenuh. Tapi kita tetap saja merambah daerah-daerah baru untuk membangun akomodasi pariwisata, yang tidak saja mengundang para wisatawan tapi juga para migran yang menjadi tenaga kerja kasar untuk mendirikan bangunan wisata tersebut. Mereka menyerbu berbagai peluang pekerjaan yang ditawarkan oleh semakin luasnya industri pariwisata yang justru kita buka sendiri.
Pariwisata Mencipta Hantu
Kita sudah terlalu terbuai dengan wajah ceria pariwisata yang mendatangkan dollar dan kesejahteraan bagi orang Bali. Itu memang terjadi, namun dibalik wajah ceria tersebut tersimpan wajah suram menakutkan yang harus kita hadapi secara jujur tanpa menyimpannya atau bahkan memolesnya. Semuanya adalah dampak dari pariwisata yang mesti kita perhitungkan bersama, bukan menghindarinya. Apalagi menganggapkan tidak penting karena tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur kebudayaan Bali. Kebudayaan Bali, sudah sejak lama, salah satunya dibentuk oleh kehadiran pariwisata. Rekayasa pembangunan dan pariwisata menjadi obat dari trauma politik dan awal dari pembentukan subjek manusia Bali pasca 1965.
Antropolog James Siegel (2000) menganalisis bagaimana cara bekerja Orde Baru untuk memelihara kekuasaannya. Salah satunya adalah menyebarkan ketakutan dan kewaspadaan kepada masyarakat untuk meraba-raba siapa kiranya “hantu” yang perlu diwaspadai dan di-sweeping (Santikarma, 2004). Saat itu, yang dijadikan sebagai kambing hitam adalah “hantu komunis” dan para kriminal yang dianggap mengganggu negara, meski sering diajak berkolaborasi.
Kadang-kadang ketakutan itu dibiaskan melalui para penjahat, seperti mereka yang dibabat pada tahun 1983-1984 (penembakan misterius), lain waktu melalui golongan komunis atau lain-lainnya lagi (Siegel, 2000: 10). Dalam arti lain, “hantu-hantu” tersebut diciptakan sendiri untuk kemudian dibasmi. Tujuannya hanyalah satu yaitu menyebarkan ketakutan secara bersama-sama. Saat masyarakat mengalami ketakutan, obat yang paling mujarab adalah memberikan rasa aman oleh aparat keamanan.
Teror yang menimpa pulau sorga kini akan mereproduksi hantu-hantu baru. Wacana publik tentang reproduksi hantu ini kerap-kali terjadi pasca teror dan kekerasan melanda Bali dan terpuruknya pariwisata. Belum lekang dari ingatan bagimana teror Bom Bali meningkatkan kewaspadaan terhadap para “pendatang” hingga bermuara pada sweeping dan penertiban. Kini wacana tersebut kembali mengemuka pasca beruntunnya teror kekerasan yang terjadi di depan publik Bali. Oleh sebab itulah dicarilah seraut wajah atau sebuah nama bagi ketakutan-ketakutan yang melanda masyarakat Bali kini.
Lalu, kita kemudian dengan mudah akan mengindentifikasi para “pendatang”/migran lokal sebagai hantu tersebut. Ini adalah pertahanan yang paling gampang dengan menimpakan kesalahan kepada para pendatang dan mencari musuh bersama dari ketakutan kita. Hal ini membuat kita lupa dengan sang pencipta ketakutan tersebut yaitu pariwisata, sebuah moda ekonomi yang terlanjur kita junjung tinggi.
Kita juga rasis dan hipokrit dengan mengkastakan para wisatawan yang datang. Para bule kita jadikan dewa dollar dan wistawan lokal apalagi para pendatang kita jadikan paria yang diasosiakan murah dan sumber kriminal. Begitu lengahnya kita sehingga para bule dan masyarakat umum mengganggap pariwisata Bali gampangan dan murahan.
Teror dan peristiwa kekerasan yang terjadi silih berganti memberikan pelajaran mahal untuk para pemimpin Bali dan kita semua untuk tidak rakus dan jujur. Tidak rakus untuk “menjual” Bali sepenuhnya untuk pariwisata dan jujur untuk mengakui bahwa dibalik manisnya pariwisata, tersimpan dampak besar yang destruktif bagi masa depan Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Santikarma, Degung. 2004, “Sweeping” Bali, “Sekala” dan “Niskala”, Kompas, 7 April 2004.
Siegel, James T, 2000, Penjahat Gaya (Orde) Baru, Eksplorasi Politik dan Kriminalitas, Yogyakarta, LKiS.
1 Lihat: https://www.detik.com/bali/berita/d-7781123/sadisnya-3-wanita-bunuh-pria-bertato-polisi-buru-penusuk-kadek-parwata (diakses 17 Februari 2025).
2 Lihat: https://www.tempo.co/kolom/overtourism-pariwisata-kriminalitas-bali–1202925 (diakses 18 Februari 2025).
slot gacor toto slot situs gacor hari ini