Oleh: I Kadek Mahayatna Kundalini dan I Wayan Wahyu Sanjaya

Bali terkenal dengan adat dan budayanya yang menjadi daya tarik wisata, tetapi apakah industri pariwisata bisa mempengaruhi adat dan budaya di tempat kegiatan pariwisata itu berlangsung?
Desa Batubulan terletak di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, dan dikenal sebagai salah satu desa dengan nilai sejarah, budaya, dan seni yang kuat. Tari barong merupakan salah satu seni dan budaya yang menjadi daya tarik dari desa paling barat Kabupaten Gianyar ini.
Batubulan memiliki tiga tempat pertunjukan tari barong, namun hanya satu tempat yang dikelola oleh warga lokal secara kolektif berlokasi di Pura Puseh Desa Batubulan. Selain menjadi salah satu pusat seni tari barong di Bali, terdapat keunikan yang dimiliki Desa Batubulan dengan penyebutan dari masyarakat untuk penari pertunjukan Barong dance yang ada di desa Batubulan, yaitu macobak.
Menurut penuturan Gusti Agung Putu Dana sebagai wakil sekaa Barong Tegaltamu, macobak berasal dari kata mencoba yang sering dikatakan oleh panglingsir Desa Batubulan ketika ingin menampilkan kegiatan pariwisata tersebut setelah kegiatan latihan tari barong dilakukan. Penyebutan macobak ini sudah turun temurun, sehingga saat ini kata macobak menjadi kebiasaan bagi masyarakat lokal Desa Batubulan.
Sekaa tari barong Tegaltamu berisikan penari dari warga Banjar Tegaltamu dengan sistem keanggotaan yang biasanya diwarisi oleh orang tuanya. Tidak ada sistem pendaftaran, tetapi keanggotaan sekaa tari barong masih tetap terisi karena warisan tersebut. Tidak heran jika keanggotaan sekaa tari barong Tegaltamu juga diisi dengan beberapa anak muda yang ikut serta menari.
Menurut penuturan Gung Cahya sebagai anak muda yang tergabung dalam sekaa tari barong ini, ia mengikuti kegiatan ini karena hobi, mengisi waktu luang, dan juga berolahraga. Anggota sekaa tari barong biasanya mendapatkan penghasilan Rp 40 ribu sekali pertunjukan atau sekali macobak.

Mengambil kutipan dari Indonesiakaya.com, pada tahun 1936 rombongan Denjalan dan Pagutan yang mulai menggelar pertunjukan calon arang secara komersial untuk menghormati pengunjung dan menjadi awal mulai pertunjukan tari Barong atau macobak yang diselenggarakan di Desa Batubulan. Semakin lama, tari barang semakin melekat di Desa Batubulan, sehingga tari barong menjadi kegiatan pariwisata utama di Desa Batubulan.
Hal ini juga berdampak pada keseharian di Desa Batubulan. Misalnya saat rapat atau sangkepan banjar.
“Jam kuda nak ngoopin, Yan?”
“suud macobak, De.” percakapan ini sering dilontarkan oleh masyarakat Batubulan.
Mayoritas masyarakat Desa Batubulan bekerja dan mengandalkan kegiatan pariwisata ini, sehingga macobak menjadi prioritas dari sebagian masyarakat Desa Batubulan. Hingga pada akhirnya memengaruhi kegiatan adat yang ada di Desa tersebut. Nguopin (gotong royong bantu saudara atau tetangga), ngidih nak luh (melamar untuk pernikahan), dan ngayah merupakan beberapa kegiatan yang jam mulainya ditentukan oleh kegiatan pariwisata ini.
Walaupun tidak semua masyarakat Desa Batubulan tergabung dalam kegiatan macobak, tapi keunikan ini dilakukan oleh seluruh masyarakat Batubulan. Namun, adaptasi adat yang terjadi di Desa Batubulan tidak mengganggu kegiatan masyarakat lokal anggota maupun bukan anggota sekaa tari barong. Mereka mengerti dan merasa nyaman dengan adanya adaptasi adat ini.
Adaptasi adat dalam kegiatan pariwisata sangat bisa terjadi tergantung di mana dan apa alasan hal itu bisa terjadi. Masyarakat lokal Desa Batubulan membuktikan adat bisa beradaptasi dengan kegiatan pariwisata yang ada. Memprioritaskan kegiatan pariwisata tanpa mengganggu kegiatan adat dan budaya menjadi kunci.
(Salah satu karya peserta Kelas Jurnalisme Warga Desa Batubulan)