
Oleh: Putu Arya Wijana dan I Wayan Angga Prasetya
Menjelang hari raya, Ibu Darmi
Bu Darmi, Nosstress
Membeli semua perlengkapan di pasar
Uangnya sedikit tapi harus dapat banyak
Terpaksa berhutang walau malu sudah menumpuk
Upacara abadi di Bali
Katanya demi semesta yang selalu harmonis
Ni Nyoman Kariasih namanya, warga Br. Buwitan, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Kariasih berumur 48 tahun, pekerjaan utamanya sebagai ibu rumah tangga, sedangkan pekerjaan sampingannya menjual banten atau sarana upacara agama.
Ia menjelaskan bahwa pembuatan banten di Desa Batubulan itu sangat berbeda. Pembuatan banten di Batubulan itu rumit dari tetandingannya, seperti banten caru, di Batubulan dengan tetandingan sesayut katemeradan, penyapu lare, dan panca kelud.
Kariasih menyebutkan bahwa di tempat lain tidak menggunakan sesayut seperti di Desa Batubulan, tetandingannya pun sangat berbeda. Sebagai pembuat banten, ia berkeluh kesah mengungkapkan dirinya sangat lelah karena banten yang dibuat sangat berbeda dari tetangga lain. Pada satu titik Kariasih merasa lelah dengan kesehariannya. Dalam situasi seperti ini ia memilih ngambek, berdiam diri.
Namun, Kariasih tetap mengerjakannya dengan tulus ikhlas. Lama-kelamaan dirinya menjadi terbiasa, sampai pada satu waktu ia menyebut membuat banten dan ngayah adalah hobinya.
Kariasih menuturkan dirinya memiliki tanggung jawab mengurus pura, sehingga banten yang dibuat lebih banyak. Banten di pura itu terdiri dari dua sorohan pregembal, empat suci saji. Sementara itu, di rumah membutuhkan empat sorohan dan suci saji. Saat rahinan atau upacara agama, Ia harus membuat 600 canang. Banyak lagi kebutuhan banten yang tidak bisa Ia jelaskan satu per satu.

Sewaktu muda, Kariasih tinggal di Karangasem. Masa mudanya dipenuhi ketidaktahuan tentang banten. Di Karangasem pun banten yang diperlukan tidak terlalu banyak. Pengetahuannya tentang banten terbuka ketika menikah dan pindah ke Desa Batubulan. Satu bulan menikah dipenuhi kebingungan karena waktu itu upacara agama mulai berdatangan.
Situasi berbeda membuatnya terkejut. Ia tidak bisa apa-apa. Pada satu titik, Kariasih menangis ketika ingin membuat sesuatu, tetapi tidak memiliki keterampilan. Kariasih merasa malu dengan para tetangga dan orang-orang di sekitarnya karena tidak bisa apa-apa.
Akhirnya, Kariasih memohon petunjuk kepada Tuhan agar bisa membuat banten. Pasalnya, banten yang diperlukan di Desa Batubulan sangat banyak. Untuk sehari-hari saja harus membuat 30 canang, 20 segehan, dan 6 sodan. Belum lagi setiap lima hari sekali ada rahina Kajeng Kliwon yang membutuhkan 150 canang dan segehan bisa lebih dari sehari-hari.
Bebannya semakin berat mengingat rahina lainnya, seperti Purnama, Tikem, Buda Cemeng, Saraswati, Soma Ribek, Tumpek Landep, dan seterusnya. Seolah dirinya tidak diperbolehkan untuk istirahat.
Ia menyebut dirinya jengah, malu atau merasa tidak enak ketika tidak bisa membuat banten sendiri. Ada dua pilihan yang berkutat di pikirannya, antara ngayah atau kerja sebagai pembuat banten. Pilihan itu yang membuatnya menjadi seperti sekarang, menjadi seorang serati di Desa Batubulan.
(Salah satu karya peserta Kelas Jurnalisme Warga Desa Batubulan)