
I Ngurah Suryawan
“…Memang satu dua orang pernah mencoba berperan kritis. Yang dikiritik bukan pariwisata, tapi investor atau pelaku-pelaku di tingkat bawah. Tapi jarang sekali kami mengetahui bagaimana cara investor mendiamkan orang-orang kritis. Karena investor itu bekerja seperti mahluk halus. Ia ada di mana-mana tapi tidak kelihatan. Tiba-tiba sebuah kawasan telah dikuasainya.”
(IBM Dharma Palguna, Budaya Kepintaran sampai Budaya Kekerasan Pikiran, 2007: 28)
Entah tahun berapa saya pernah melihat kaos yang dipakai oleh para aktivis Bali bertuliskan BALI (Bakal Amblas Lantaran Investor). Seingat saya pada zaman reformasi 1998-an kalau tidak salah. Hal itu sebagai reaksi dari pembangunan massif yang sudah berlangsung sejak tahun 1970-1980-an, saat konsolidasi modal bernama pariwisata begitu mendapatkan tempat di hati masyarakat untuk “menghilangkan kelam” tragedi pembantaian massal 1965.
Tragedi kelam yang membuat masyarakat Bali menutup diri untuk membicarakan politik dan menunggu penawar tragedi kelam yang membuat mereka melangkah ke lembaran baru. Penawar itu adalah pariwisata, yang kemudian dilanjutkan dengan menggalakkan pembangunan budaya, kesenian, agama.
Saking massif-nya industri pariwisata merubah Bali secara struktural dari masyarakat agraris menuju modern. Bahkan, jika terus berlangsung, Bali akan habis dilahap oleh investor pariwisata. Pada sisi kekhawatiran tersebut terus berlangsung, tapi kerinduan kepada pariwisata tidak pernah terhenti. Hampir semua sisi kehidupan masyarakat Bali terikat dengan pariwisata.
Seperti yang dituliskan secara satir sekaligus sinis oleh Dharma Palguna (2007: 8), pariwisata adalah sebagai panglima bagi masyarakat Bali. Bali berhutang pencitraan pada pariwisata. Selain sebagai panglima, pariwisata juga sebagai guru yang mengajarkan masyarakat Bali belajar bahasa asing, kebudayaan baru, etika dan sopan santun, citarasa lidah baru, hingga menawarkan pandangan baru.
Utang kepada guru (pariwisata) haruslah dibayar dengan persembahan sebagai bentuk rasa bakti. Balasannya adalah limpahan kemakmuran materi. Masyarakat Bali hanyalah serdadu dari panglima sekaligus guru bernama pariwisata ini. Tugas seorang serdadu adalah bertempur melawan musuh yang menyerang wilayah kekuasaan pariwisata yang agung.
Sang panglima telah menunjukkan musuh-musuh yang harus diwaspadai. Gejolak sosial sekecil apa pun adalah musuh yang berpotensi melesukan darah pariwisata. Karenanya, selain diwaspadai, gejolak sosial harus ditekan dan disembunyikan.
Sudah banyak gejolak sosial akibat serangan pariwisata ke wilayah-wilayah paling privat dalam kehidupan masyarakat, bahkan sampai merubah kehidupan keluarga dan relasi-relasi yang terbina didalamnya. Ruang-ruang hidup yang melekat dalam kehidupan masyarakat dan menghadirkan begitu banyak pengetahuan, diterabas oleh kehadiran investasi yang merubah landskap lingkungan, pengetahuan, dan karakter (subyek) manusia Bali.
Serangan itu menimbulkan reaksi protes, satu contohnya adalah pembangunan resort di wilayah Bukit Gumang, Desa Bugbug, Karangasem. Belum lagi serangan-serangan di berbagai wilayah Bali, saat investasi merampas wilayah ruang hidup masyarakat dengan klaim izin yang sudah didapat dari pusat (baca: pemerintah pusat di Jakarta).
Serangan Sold Out?

Salah satu yang mengemuka karena hadir ke publik adalah yang menimpa warga Serangan, Kota Denpasar. Jauh sebelumnya, mereka sudah mengeluhkan terhimpitnya ruang hidup laut mereka akibat kehadiran KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Kura-Kura Bali di Pulau Serangan yang dikelola oleh PT BTID (Bali Turtle Island Development). Wilayah daratan Serangan dikembangkan menjadi Kura-kura Bali yaitu pusat wisata marina dan budaya terpadu kelas dunia yang berkelanjutan dan dikatakan menjunjung keindahan lanskap Bali. KEK Kura Kura Bali dibangun sebagai destinasi pariwisata berkualitas serta industri kreatif dan kesehatan yang akan mengembangkan hotel, resort, area komersial, pusat kesehatan, taman pendidikan dan teknologi, serta amenitas lain.1
Masyarakat Pulau Serangan seolah terisolasi dan terhimpit dengan pembangunan kawasan khusus di pulaunya sendiri. Sebagai masyarakat pesisir yang multikultur, Serangan memiliki parahyangan yang menjadi pura jagat di Bali yaitu Pura Sakenan. Belum lagi sejarah multikultur kehadiran para pedagang Bugis yang menetap hingga kini di Serangan, yang sebelumnya adalah pelabuhan yang menjadi sentral dari perdagangan ketika itu.
KEK membatasi laut di kawasan Pulau Serangan dengan pelampung berwarna putih. Pemagaran laut tersebut sudah berlangsung lama dan sebenarnya sudah disuarakan oleh masyarakat.2 Baru pada 30 Januari 2025, anggota DPR RI dan DPD Bali menemui keluhan warga dan bertemu langsung dengan PT BTID. Selain pembatasan akses warga ke wilayah laut serta pembatasan laut, perubahan Jalan Serangan menjadi Jalan Kura-Kura Bali menjadi hal lain yang merubah identitas Pulau Serangan.
Suhardiman (2024) dengan jernih mengemukakan bahwa ekosistem dan tata kelola kelautan pada zaman antroposen ditandai dengan penurunan cepat sumber daya kelautan akibat penangkapan ikan yang berlebihan, degradasi lingkungan yang disebabkan oleh industri ekstraktif termasuk pertambangan, industri perikanan global, dan pariwisata yang bersifat massal. Para ahli telah mengungkap berbagai elemen yang menghambat upaya tata kelola sumber daya laut yang berkelanjutan di masa lalu dan saat ini. Elemen tersebut di antaranya adalah perampasan wilayah pesisir, egoisme sektoral, hingga perampaan oleh kelompok elit.
Elemen penghambat ini biasanya tertanam dalam kepentingan dan pandangan negara-negara berkembang terhadap bentang laut sebagai sesuatu yang perlu dibenahi, dimodernisasi, dan dikembangkan untuk memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi negara, dan dengan demikian sebagai bagian dari proyek pembangunan nasional. Kasus KEK Kura-Kura Bali di Pulau Serangan menjadi salah satu cermin bagaimana introduksi pembangunan melalui KEK ingin menjadikan wilayah pesisir Bali sebagai ruang yang diekspansi untuk kepentingan kapital.
Hal ini bukan hal baru bagi Bali, yang pelan namun pasti ekspansi wilayah-wilayah baru untuk kepentingan pariwisata terus terjadi. Berbagai serangan akibat ekspansi modal pariwisata menjadi keseharian kehidupan manusia Bali dan membadan. Sayangnya, ekspansi kapital tersebut berlangsung dalam kondisi yang tidak setara (unequal condition).
Kondisi inilah yang menciptakan kelompok yang menguasai dan yang dikuasai. Situasi serangan-serangan kapital yang menerjang Bali kini menjadikanya sebagai yang sering disebut dengan frontier, sebuah proyek dimana wilayahnya dipandang sebagai kumpulan sumber daya alam yang patut dieksploitasi oleh pengusaha (pariwisata) dan para pekerjanya.
Lepasnya Ikatan Tanah
Apa yang menjadi kegundahan masyarakat Serangan dari terbatas bahkan menuju hilangnya relasi dengan laut dan alam mereka, persis seperti yang diungkapkan Dhakidae (2019: 413-414), bahwa salah satu yang sangat penting diperhatikan dalam kosmologi kekuasaan komunitas adalah apa yang disebutnya native power structure. Kekuasaan berpijak atas sesuatu yang sungguh-sungguh mondial, terestrial, yaitu tanah yang sama sekali bukan dalam bentuk abstrak seperti “tanah air’.
Sistem kekuasaan itu atas pijakan yang kongkrit yaitu bahwa kekuasaan itu kongkret dan berurusan dengan kehidupan kongkret, yaitu apa saja yang bisa ditanam di atasnya untuk menghidupkan daging dan darah. Native power structure ini harus berhadapan dengan orang-orang yang menjadi instrumen negara dan kekuasaannya yang secara makro nasional tidak memegang kekuasaan terhadap tanah yang terikat kuat dengan komunitas.
Konteks masyarakat Serangan adalah tanah dan laut yang memiliki keterikata kuat dengan mereka yang menyejarah. Keterikatan inilah yang dihancurkan oleh instrumen negara yang sama-sekali sebenarnya tidak memiliki keterikatan dengan tanah dan laut yang ada di Serangan. Satu yang mereka miliki dan menjadi surat sakti kuasa adalah izin dari negara dalam bentuk KEK tersebut.
Jika kita lebih jauh mendalami, asal-muasal lepasnya tanah dari relasinya dengan komunitas adalah awal dari jejaring neoliberalisme yang merasuk melalui pariwisata dan mempengaruhi pandangan hidup dan menciptakan manusia Bali itu sendiri. B. Herry-Priyono (2022: 3-15) dalam salah satu esainya berjudul “Sesudah Modal Lolos dari Trias Economica” mengungkapkan bahwa ekonomi politik klasik menggagas produksi barang/jasa bergantung pada kaitan intrisik antara tiga faktor yaitu: tanah (land), modal (money/capital), dan tenaga kerja (labour) yang sering disebut Trias Economica.
Pandangan neoliberalisme menekankan “pemisahan” ketiga modal ini dari sejarah komunitasnya. Ketiga modal tersebut diprivatkan sampai titik dimana modal semakin kehilangan dimensi komunitasnya, ia juga dilepas dari kaitannya dengan “tanah” dan “tenaga kerja”.
Yang dimaksud “tanah” dalam ekonomi politik klasik ini tidak saja fisik-spasial, tetapi juga ”tanah” yang menunjuk partikularitas wilayah-spasial di mana komunitas politis-kultural hidup. Itulah yang disebut dengan Patria, Bahasa Latin untuk Tanah Air. Dalam arti ini, patria tidak hanya menunjuk titik spasial-teritorial, melainkan juga wilayah hidup politis-kultural sebuah bangsa.
Situasi yang terjadi dalam neoliberalisme adalah dilepasnya kinerja modal finansial dari kaitannya dengan proses survival warga negara dan patria. Dilepasnya modal dari tata trias economica itu juga berisi pemberian gratis hak istimewa dan kekuasaan yang sedemikian besar kepada (para pemilik) modal finansial. Itulah mengapa patria dan tenaga kerja akhirnya menjadi bulan-bulanan mobilitas dan kekuasaan modal.
Kasus Pulau Serangan seolah membuka mata kita bahwa operasi pariwisata tidak hanya sebatas kebijakan negara soal KEK. Kita dibukakan kesadaran bahwa kita sepatutnya melampaui pandangan state-centrist yang melihat di mana setiap ketidakberesan yang terjadi adalah akibat dominasi atau kekuasaan aparatur negara.
Dibalik kekuasaan negara tersebut, sejak rentetan degerulasi-liberalisasi modal yang memperanakkan globalisasi ekonomi, kekuasaan dan kapasitas hampir semua lembaga negara makin dilucuti dan tunduk kepada kekuasaan bisnis. Bentuk kelembagaan negara bisa saja diatur melalui prosedur demokrasi dan perwakilan, tetapi isi materialnya ditentukan oleh prasyarat akumulasi modal. Atau hakim bisa punya putusan, tentara boleh punya senapan, tetapi pemodal dan stafnya bisa membeli keputusan dan penggusuran.
Refleksi
Memaknai ulang sinisme Dharma Palguna (2007) yang saya kutip di atas, kita hanya terhenti untuk mengkritik para investor yang akan terus menjelma dan merampas ruang-ruang hidup komunitas tanpa henti. Pembelajaran yang lebih mendalam saya kira adalah karakteristik dan sifat dari globalisasi kapital yang diangkut oleh moda ekonomi pariwisata dan dampak-dampaknya bagi masyarakat Bali.
Kasus Pulau Serangan hanyalah salah satu contoh dari bekerjanya pariwisata sebagai mahluk halus yang tetiba membuat masyarakat merasa tersingkir di wilayah kelahirannya sendiri, karena wilayahya telah dikuasai oleh investor. Singkatnya, kita perlu mempersiapkan diri untuk memahami bagaimana mahluk halus ini beroperasi dalam tingkatan lokal dan global untuk membatasi bahkan merampas apa yang kita miliki: hutan, laut, air, dan alam yang memiliki keterikatan sejarah dalam kehidupan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Dhakidae, Daniel. (2019). “Epilog: Professor Doktor Cornelis Lay dan Jalan Ketiga Cendekiawan” dalam Pratikno et al. Intelektual Jalan Ketiga: Pemikiran Cornelis Lay tentang Demokrasi, Desentralisasi, Nasionalisme, dan Reformasi Keamanan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Herry-Priyono, B. (2022). “Sesudah Modal Lolos dari Trias Economica” (h. 3-15) dalam B. Herry-Priyono, Ekonomi Politik: Dalam Pusaran Globalisasi dan Neoliberalisme. Jakarta: Kompas.
Palguna, IBM Dharma. (2007). Budaya Kepintaran sampai Budaya Kekerasan Pikiran. Mataram: Sadampatyaksara.
Suhardiman, Diana. (2024). “Lingkungan Hidup Dan Kekuasaan” Seminar penutup akhir tahun dari Akademi Jakarta, Selasa, 26 November 2024, pukul 15.30-17.30, Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Link Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=7EjSyDBxSD4&t=1s
1 Mengenai rencana pengembangan KEK Kura-Kura Bali lihat: https://kek.go.id/id/investment/distribution/kek-kura-kura (diakses 30 Januari 2025).
2 Lebih detail lihat: https://www.detik.com/bali/berita/d-7755236/pengelola-kura-kura-bali-diduga-pagari-laut-serangan-warga-sudah-lama (diakses 31 Januari 2025).