
Oleh: Made Raras Puspita Dewi dan Ni Kadek Ratna Puspa Dewi ([email protected])
Hari Raya Galungan dan Kuningan identik dengan memasang lamak di penjor. Desa Batubulan memiliki ciri khas membuat lamak berukuran panjang saat memperingati Hari Raya Galungan yang dilakukan secara turun temurun.
Berbeda dengan daerah lainnya yang menggunakan ental (daun lontar yang diberi pengawet) dan pita plastik sebagai bahan dasar membuat lamak, warga Batubulan berusaha mempertahakan tradisi dengan menggunakan bahan dasar busung (daun kelapa yang masih muda). Ringgitan dibuat dengan menggunakan ron (daun lontar), sedangkan hiasannya menggunakan ental berwarna merah muda untuk memberikan variasi warna. Hasil yang diperoleh lebih klasik dan fresh.

Ni Nyoman Dorni yang akrab disapa “Mek Man” adalah salah satu serati di Desa Batubulan. Perempuan yang berasal dari Desa Kelan, Badung yang kemudian menikah ke Banjar Pagutan Kelod menuturkan bahwa semenjak menikah, Ia sangat bangga dengan tradisi gotong royong di Desa Batubulan.
Di Kelan, rumah asalnya, tradisi gotong royong tidak seeksis di Desa Batubulan. Mereka lebih banyak membeli daripada membuat sendiri. Ia merasakan kekeluargaan yang lebih erat di Desa Batubulan. Meskipun tidak lahir di Desa Batubulan, semangatnya tidak pernah pudar dalam menjaga tradisi dan budaya di desa tersebut.
Bincang-bincang hangat kami lakukan di rumah Mek Man di Jalan Ida Bagus Japa, tepatnya di kawasan Banjar Pagutan Kelod pada Sabtu, 25 Januari. Generasi muda di Desa Batubulan khususnya, menjadi harapan agar tradisi ini dapat bertahan di tengah pergeseran zaman yang mengarah pada modernisasi.
“Kalau ada anak muda, anak bajang. Senanglah, hargai apa yang bisa dibuat. Bilang aja baik, bagus, supaya dia terus belajar. Kan tidak mungkin kita yang tua-tua gini terus meringgit,” ujarnya merasa bangga terhadap anak muda yang mau dekat untuk belajar me-jejaitan dan membuat banten dengan beliau.
Mek Man juga menegaskan pembuatan lamak tergantung dari desa kala patra atau aturan adat istiadat di masing-masing daerah setempat. Ia menambahkan bahwa lamak sebagai representasi dari keberadaan Bhuana Agung (macrocosmos) dan Bhuana Alit (microcosmos).
Tingkatan pembuatan lamak ada tiga, yaitu secara nista, madya dan juga utama, tergantung pada saat kapan lamak ini dipergunakan. Penggunaan lamak tidak hanya ketika merayakan Hari Raya Galungan, tetapi juga digunakan pada saat rahinan (upacara agama) di sanggah, upacara pernikahan, ngaben, dan upacara besar lainnya.

Tujuan penggunaan lamak adalah sebagai wujud rasa syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai simbol dari alam semesta beserta isinya, berupa karya klasik yang memiliki unsur estetika dan nilai seni yang tinggi. Tata letak dari simbol ornamen dalam pembuatan lamak mengandung tiga tingkatan sebagai konsep dari keseimbangan tiga dunia, sebagai berikut:
- Bagian atas mencerminkan swah loka yang ditandai dengan ornamen bintang, bulan, gunung serta cili-cilian.
- Bagian tengah mencerminkan bwah loka atau alam manusia, ditandai dengan simbol reringgitan sesuai kreasi yang diinginkan.
- Bagian bawah mencerminkan bhur loka yang ditandai dengan tumbuhan bunga atau rumput-rumputan sebagai simbol keindahan alam semesta.
- Ornamen gigi barong pada pinggir lamak menyimbolkan banaspati, yaitu penguasa hutan serta lembah.
Suka-duka dalam membuat lamak akan menjadi suatu kebanggan tersendiri bagi pembuatnya karena proses yang dilakukan menjadi tantangan dalam melahirkan sebuah karya. “Apapun yang kita buat, kemudian dipergunakan oleh umum dan dihaturkan sebagai wujud yadnya. Seperti orang membuat baju misalnya,” ucap Mek Man merasa senang dengan senyum semringahnya.
Mek Man mengungkapkan, proses pembuatan lamak besar berukuran 3 meter bisa dikerjakan berdua dalam setengah hari. Namun, jika dikerjakan sendiri memakan waktu sekitar satu hari untuk satu lamak. Modal pembuatan lamak dengan panjang 3 meter dengan ringgitan yang berukuran besar sekiranya memerlukan dana sebesar Rp100.000 saat ini.

Masyarakat setempat, maupun orang lain yang lewat seputaran Desa Batubulan pada hari raya besar tertentu maupun Hari Raya Galungan kemungkinan merasa bahwa pembuatan lamak merupakan ajang perlombaan dengan tetangga. Trisya selaku generasi muda Desa Batubulan yang senang belajar me-jejaitan berpendapat bahwa hal itu bukanlah sebuah ajang perlombaan, melainkan tempat berekspresi atas imajinasinya dalam menyalurkan ide kreatif.
Salah satu alasan Trisya masih mempertahankan tradisi ialah sebagai wujud syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan cara ngaturang ayah dan meningkatkan skill yang tidak Ia dapatkan di bangku sekolah. Kalau bukan kita yang meneruskan tradisi, siapa lagi?