
Sore itu (24/01) dua unit bus Trans Metro Dewata (TMD) terparkir di Rumah Tanjung Bungkak (RTB). Bus tersebut kembali melaju di jalanan sebab harus mengantar sejumlah penumpang setia TMD ke RTB untuk mengikuti acara Bali Bicara Transportasi Publik yang diselenggarakan oleh Koalisi Bali Emisi Nol Bersih dan WRI Indonesia.
Tidak hanya dipenuhi penumpang TMD, gudang belakang RTB juga penuh dengan para pengemudi TMD. Mereka memenuhi barisan kursi di belakang.
Acara dibuka oleh tari tradisional Bali, Tari Puspawresti yang ditampilkan oleh Yayasan Cahaya Mutiara. Mengawali diskusi, perwakilan penumpang TMD yang tergabung dalam Forum Diskusi Transportasi Publik Bali (FDTP) menyampaikan pernyataan sikap. Lima orang perwakilan dari komunitas tersebut berdiri di atas panggung.

Dyah Rosslina, pembuat petisi ‘Lanjutkan Operasional Bus Trans Metro Dewata Sebagai Transportasi Publik’ membacakan pernyataan sikap. Berikut pernyataan sikap yang disampaikan oleh Dyah sebagai perwakilan FDTP:
- Mendesak pemerintah daerah dan kabupaten di Bali untuk memprioritaskan pengembangan dan peningkatan kualitas transportasi publik, meningkatkan alokasi anggaran untuk infrastruktur dan operasional transportasi publik, dan menerapkan kebijakan yang mendukung kebijakan yang memihak transportasi publik.
- Mendorong pemerintah daerah dan pusat untuk bersinergi dan berkomitmen kuat di dalam pengembangan sistem transportasi publik yang terintegrasi, efisien, terjangkau, dan berkelanjutan.
- Meningkatkan frekuensi dan jangkauan layanan transportasi publik, terutama di kawasan padat penduduk dan destinasi wisata.
- Memperbaiki kualitas infrastruktur pendukung seperti halte, tempat parkir, terminal, dan yang lainnya, serta melibatkan masyarakat di dalam perencanaan dan pengembangan sistem transportasi.
- Untuk jangka pendek, mengembalikan dan meningkatkan layanan Trans Metro Dewata yang telah terbukti mampu menjadi contoh yang baik operasional layanan transportasi publik di Bali dan bahkan terbaik se-Indonesia.
- Untuk keberlanjutan pemenuhan kewajiban atas layanan transportasi publik di Bali, FDTP mendesak pemerintah daerah membentuk badan pengelolaan yang khusus menangani pelayanan transportasi publik di Bali yang memiliki strategi ekonomi yang kuat dan keberpihakan pada pelayanan transportasi yang berkeadilan, baik untuk manusia maupun lingkungan. Pembentukan badan ini perlu mempersatukan pula kabupaten atau kota yang terlayani oleh transportasi publik ini.
Pernyataan sikap disambut riuh tepuk tangan para hadirin. Acara dilanjutkan dengan sesi diskusi bertajuk ‘Inisiatif Pengembangan TRansportasi Publik Berkelanjutan di Provinsi Bali’. Tiga pembicara hadir mengisi diskusi, yaitu Haiqal Rizaldi, Ade Bhakti, dan I Made Rai Ridartha.
Orientasi pembangunan kota memihak kendaraan pribadi
Diskusi dibuka oleh Haiqal Rizaldi, Green Infrastructure Finance Specialist di WRI Indonesia. Haiqal memaparkan mengenai kondisi mobilitas di Bali saat ini yang tengah menghadapi berbagai tantangan dan berpotensi menimbulkan dampak negatif untuk masyarakat dan alam.
Salah satu penyebab terjadinya kondisi tersebut adalah orientasi pembangunan kota yang berpihak pada kendaraan pribadi dibandingkan manusia dan angkutan umum. “Anak sekecil itu berkelahi dengan mobil, motor,” senandung Haiqal memparodikan lagu Sore Tugu Pancoran oleh Iwan Fals.
Dalam pembangunan kota, hierarki pertama adalah mobilitas dengan jalan kaki, bukan kendaraan pribadi. Haiqal menyampaikan bahwa yang seharusnya dipikirkan terlebih dahulu adalah pedestrian yang aman dilintasi oleh anak-anak hingga masyarakat difabel. “Kalau orang bilang, ih ada masalah macet, no no no macet bukan masalah. Macet itu dampak, kita sendiri masalahnya. Kita nggak bisa bermobilitas, akhirnya rely ke kendaraan pribadi,” ungkap Haiqal.
Haiqal menyebutkan bahwa 95% mobilitas di Bali adalah mobil dan motor. Ketika wisatawan mengunjungi Bali, hal pertama yang dilakukan adalah menyewa kendaraan. Pilihan ini bisa dibilang masuk akal karena jangkauan kendaraan umum sangat terbatas, bahkan cakupan Trans Sarbagita dan TMD hanya 9,93% dari seluruh wilayah Provinsi Bali.
“Dan salah satu permasalahannya adalah tidak adanya layanan last mile atau first mile. Last mile, first mile itu ibaratnya bapak/ibu keluar rumah langsung naik kendaraan, bapak/ibu sampai juga langsung naik kendaraan,” terang Haiqal.
Sementara di Bali, bus stop atau halte tidak dijangkau oleh kendaraan umum lainnya seperti angkot atau feeder. Untuk mencapai halte atau bus stop saja harus memesan layanan ojek online atau membawa kendaraan pribadi ke halte.
Mendorong anggaran untuk transportasi publik
Sebelum TMD muncul, Bali memiliki Trans Sarbagita yang dikelola oleh Pemprov Bali. Rai Ridartha, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bali menyebut Trans Sarbagita seperti bayi stunting. “Dia lahir, dia hidup, tapi tidak tumbuh, tetap dia kecil,” ujar Rai dalam sesi diskusi.
Dalam diskusinya, Rai menyinggung bahwa TMD tidak dihentikan, tetapi terpaksa berhenti. Ini dapat diibaratkan seperti kendaraan yang BBM-nya habis dan mogok, sehingga kendaraan tersebut terpaksa berhenti. “Mogok, katakanlah begitu Pak Budi dan kawan-kawan driver nggak bisa jalan. Kalau jalan tanpa dibayar nggak mungkin,” ungkap Rai.
Salah satu penyebab berhentinya layanan TMD adalah tidak ada anggaran dari Pemerintah Provinsi Bali. Padahal, Permendagri Nomor 15 Tahun 2024 mengamanatkan bahwa pemerintah daerah wajib menyediakan angkutan umum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 139 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dengan ketentuan:
- Pemerintah daerah provinsi wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antar kota dalam provinsi;
- Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota;
- Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh BUMN, BUMD, dan/atau badan hukum lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Rai juga mengingatkan bahwa pada tahun 2024 Pemprov Bali memiliki pendapatan dari Pungutan Wisatawan Asing (PWA) sebanyak Rp300 miliar. “Bisa nggak ada yang menyuarakan 25% atau 30% dari uang ini untuk transportasi publik karena di Pasal 12 huruf e Perda itu (Perda Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pungutan bagi Wisatawan Asing untuk Perlindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali) disebutkan untuk pengembangan sarana dan prasarana transportasi publik yang berkualitas,” terang Rai.
Sayangnya, PWA tidak bisa diharapkan untuk menutup anggaran TMD. Sebagaimana dalam pertemuan Sekretaris Daerah Provinsi Bali dan Ombudsman yang diikuti oleh BaleBengong, Sekda, Dewa Made Indra menyebutkan bahwa PWA hanya akan digunakan untuk pemeliharaan budaya dan penanganan masalah sampah.
Belajar dari Trans Semarang
Pada pertemuan tersebut hadir Ade Bhakti, Kepala BLUD Trans Semarang tahun 2017-2019. Sejak diberikan bantuan bus pada tahun 2010, Trans Semarang hanya memiliki empat koridor saja hingga tahun 2017. Ketika Ade bergabung pada tahun 2017, ia mengubah total kelembagaan di Trans Semarang. “Tidak ada 3 tahun, dari 4 koridor saya menambah 11 koridor,” ujar Ade dengan bangga.
Dalam pengembangannya, Trans Semarang dibantu oleh Institute for Transportation and Development Policy (ITDP). ITDP saat itu merekomendasikan pihak Trans Semarang untuk membentuk Badan Layanan Umum (BLU). “Karena boleh meng-create pendapatan sebesar-besarnya, tapi pendapatan itu tidak diserahkan pemerintah daerah, dikelola sendiri oleh BLU,” terang Ade.
Melalui pembentukan BLU, pendapatan yang didapatkan oleh Trans Semarang dapat dikelola untuk keperluan penunjang transportasi publik itu sendiri. Sistem kelembagaan ini bisa menjadi masukan untuk Pemda Bali.
BLUD Trans Semarang saat ini memiliki hampir 1400 karyawan, belum termasuk driver, operator, dan petugas tiket karena petugas di lapangan masuk dalam BRT Semarang. Pada malam hari ada pula Petugas Persiapan Armada (PPA) yang bertugas memeriksa bus satu demi satu untuk kesiapan operasi esok hari.
Trans Semarang juga menggandeng operator angkutan yang bersinggungan dengan rute koridor Trans Semarang. “Kesepakatannya adalah angkot atau bus umum yang melewati rute itu harus namanya stripping, harus dihapuskan. Bus itu harus dihapuskan, tapi kami dorong teman-teman itu ikut ke dalam operasionalnya (BULD Trans Semarang),” ujar Ade.
Selain pengelolaan sistem kelembagaan, Pemerintah Kota Semarang juga berkomitmen mendukung anggaran Trans Semarang, yaitu dengan regulasi 5% anggaran APBD harus dialokasikan untuk transportasi umum.
Semarang menjadi salah satu kota dengan sistem transportasi yang cukup bagus. Saya masih ingat kisah para perantau dan warga di Semarang alias teman-teman saya yang bergantung pada Trans Semarang. Pertama kali tiba di Bandar Udara Internasional Ahmad Yani Semarang yang dicari adalah Trans Semarang.
Dari bandara ke Tembalang hanya membayar Rp4.000 untuk tarif biasa dan Rp1.000 jika menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Sementara, jika menggunakan taksi online bisa menghabiskan Rp250.000. Adanya Trans Semarang membantu dan menguntungkan. Mereka juga memiliki feeder, mobil kecil yang menjangkau wilayah di luar jangkauan Trans Semarang.
Hingga saat ini, TMD masih belum beroperasi dan layanannya sementara dialihkan ke Trans Sarbagita. Meski begitu, Trans Sarbagita tidak bisa menjangkau semua koridor TMD. Pengguna transportasi publik di Bali, mulai dari mahasiswa, akademisi, masyarakat umum, hingga masyarakat difabel masih menantikan kembalinya operasional TMD.