
Sebut saja namanya Made Kapler, seorang pemuda paruh baya yang masih setia membujang. Ia sering disebut teruna lapuk, yang masih setia menyendiri dan belum membina bahtera rumah tangga. Sehari-hari ia tidak perlu bekerja. Pendapatannya diperoleh dari usaha kos-kosan dan rental mobil warisan keluarga. Usaha itupun sejatinya dikelola oleh adik perempuannya dan Kapler bisa bebas meminta uang sesuai dengan keperluannya.
Kesehariannya adalah “bersosialisasi” alias ngumpul dan memunyah (mabuk-mabukan) bersama teman-teman dalam lingkaran pergaulannya. Jadwalnya pun digilir sesuai dengan desa yang menjadi “wilayah kekuasaan” teman-temannya. Obrolan dalam lingkaran memunyah itu merentang luas dari identifikasi para migran dan lokasi-lokasi kontrakan mereka yang perlu “diatensi” (baca: diperhatikan gerak-geriknya), bisnis-bisnis desa adat yang sekiranya bisa “ditempel” (baca: bergabung menjadi pegawai atau tenaga keamanan), maraknya konser-konser artis pop Bali di desa-desa tetangga, hingga isu-isu perselingkuhan warga desa atau para elit desa.
Tidak ketinggalan, riuh tawa dan nyanyian karaoke silih berganti mengiringi lingkaran memunyah mereka. Lokasinya bisa di pinggir jalan, gudang toko, bale Bali (rumah gaya ukiran Bali) teman, bahkan di lapangan volly atau sepak bola desa. Mereka pernah ditegur oleh pimpinan adat saat memunyah di banjar (balai desa) sehingga tidak elok dilihat oleh masyarakat sekitar. Pimpinan adat mengingatkan kalau nanti direkam dan diviralkan di sosial media akan merusak citra banjar yang sudah metaksu dengan ukiran Bali yang rumit sekaligus memukau.
Kapler menirukan ucapan pimpinan adat tersebut kurang lebih demikian: “Tolonglah sama-sama jaga bale banjar agar tetap ngereneb metaksu. Pang de campah nake ajak banjar rage,” ujar pimpinan adat. Terjemahan bebasnya kurang lebih berarti tolong bersama-sama menjaga bale banjar agar tetap bersinar kekuatan/kemegahannya. Agar tidak ada orang memandang remeh sebelah mata banjar kita.
“Tukang Pukul”
Dari satu lokasi memunyah ke lokasi memunyah lainnya adalah dunia kehidupan Kapler. Sampai pada satu momentum yang tidak ada akan pernah dilupakannya. Suatu hari, saat sedang ngumpul dengan teman-temannya, memunyah bareng-bareng, Kapler dikagetkan dengan bunyi sirene mobil Parum Pecalang Desa (Persatuan Pecalang Desa) yang membelah runyamnya acara kumpul-kumpul mereka. Sesaat kemudian, sang jagoan legendaris yang sudah terkenal di seantero desa turun dari pintu depan dibarengi dengan enam anak buahnya di mobil bagian belakang.
Sang jagoan memiliki sejarah panjang kebengisan yang sering diceritakan berulang-ulang dan turun-temurun. Ia malang-melintang dalam dunia preman yang dalam bahasa keseharian masyarakat desa sering disebut sebagai “tukang pukul”, yang merujuk kepada orang-orang yang menjual jasa “penggebuk” untuk berbagai macam kepentingan.
Sang jagoan memulai karirnya sebagai pecalang dan tumbuh bersama di desa yang diawali dengan kumpul-kumpul dan memunyah. Persis seperti apa yang dilakukan Kapler. Sang jagoan kemudian melanjutkan sebagai “tukang pukul” dengan mengurus pertunjukan layar tancap di desa dari mulai tiket hingga parkir. Setelah itu, karirnya berlanjut menuju terminal angkutan kota yang mengatur keluar masuk dan menjamin keamanan para sopir. Pelan tapi pasti, berbekal jaringannya dengan salah satu pendekar silat tradisional Bali, nama sang jagoan mulai dikenal luas.
Peristiwa yang membuat namanya semakin melegenda adalah keberaniannya untuk duel satu lawan satu dan tidak keroyokan. Momen yang membuat namanya semakin dikenal adalah saat menghabisi (membunuh) tukang pukul lainnya yang membela kepentingan yang berbeda. Peristiwa itu diliput koran lokal dan menjadi perbincangan di berbagai pertemuan lokal oleh para pejabat dan aparat keamanan. Meski harus dipenjara, kepopuleran sang jagoan semakin meluas.
Tapi itu dulu pada sekitar tahun 1990-an. Selanjutnya kiprah sang jagoan mulai berkibar dan jaringannya semakin luas sejak pariwisata di Bali menawarkan berbagai celah untuk bisnis keamanan. Sepak terjangnya merambah dalam berbagai bisnis keamanan yang mengundang resiko besar bagi keselamatan jiwanya. Semua rintangan dan resiko itu dihadapinya dengan relatif mulus. Pernah beberapa kali terpuruk karena tindak kriminalitas yang muncul ke publik. Tapi dengan kekuatan relasi dan jaringannya, mendadak pemberitaan dan kasusnya menghilang begitu saja.
Menginjak usia senjanya, ada satu hal yang tidak pernah ditinggalkannya yaitu tetap “mengakar” dari mana awal dia berasal yaitu desa dan identitas awalnya sebagai pecalang. Sehingga, citra yag terbentuk dari sang jagoan ini adalah “tukang pukul berbudaya”. Citra berbudaya itulah yang terus-menerus melekat pada diri sang jagoan. Selaian itu, taksu-nya sebagai jagoan sepuh mempengaruhi generasi muda dan menjadi model panutan agar menjadi jagoan tetapi tetap berkearifan lokal.
Made Kapler menyaksikan sendiri sang jagoan dan auranya bertaksu itu. Sang jagoan keluar dari pintu mobil berpakaian pecalang dengan kain poleng (hitam putih), destar, menentang walkie talkie dan keris. “Ade ape ne kumpul-kumpul?, Bubar, Bubar!!!” (ada apa ini kumpul-kumpul, bubar-bubar!!!), hardik anak buah sang jagoan mengacaukan barisan lingkaran Kapler dan teman-temannya. Ada yang lari terbirit-birit dan yang lainnya memilih untuk diam dengan kepala menunduk.
Saat suasana gaduh, sang jagoan kemudian menyela, “Mulih-mulih, jumah kanggoang minum,” dengan suara berat menghentak yang dilanjutkan dengan menggerakkan tangannya yang memegang keris menandakan komando untuk pulang. (pulang, pulang di rumah saja mabuk). Saat itulah Kapler tidak akan pernah melupakan perkataan sang jagoan, “Memunyah dogen, nyak ajak Bli dadi pecalang?” ungkapnya singkat. (mabuk saja, mau jadi pecalang bersama kakak?). Sejak saat itulah Kapler selalu membayangkan bagaimana enaknya menjadi pecalang metaksu (barisan pengamanan desa yang disegani). Tanpa canggung-canggung, Kapler kemudian mendaftar menjadi satuan pecalang di desanya, dan tanpa kesulitan berarti Kapler diterima menjadi pecalang desa.
Saat ini, ia masih teringat kata-kata sang jagoan. Kapler terobsesi untuk menjadi pecalang berpengaruh di desanya. Berbagai tugas-tugas yang dibebankan padanya selalu ia jalankan dengan sungguh-sungguh. Untuk menambah kekar penampilan tubuhnya, Kapler ikut serta dalam fitnes body building di desanya. Koleksi tato di tubuhnya juga ditambah pada bagian lengan dengan gambar kawat-kawat berduri yang melingkar. Keseharian di rumahnya ia selalu menggunakan kaos lengan pendek (singlet) agar kelihatan kekar tubuhnya dan memamerkan tato-tato di sekujur tubuhnya. Beberapa teman dengan nada menyindir sering menjulukinya “Ade Rawon”, plesetan dari binaragawan asal Bali, Ade Rai.
Bukannya setelah menjadi pecalang kebiasaan Kapler memunyahnya hilang, bahkan tambah menjadi-jadi. Kapler tidak takut lagi suatu saat akan digerebek oleh pecalang, karena ia sendiri adalah pecalang-nya. Dengan pengaruhnya itulah Kapler menghimpun para pecalang yang lain dan membuat lingkaran pertemanan. Pengaruh yang paling nyata dari Kapler adalah pada diri anggota sekaa teruna (organisasi kepemudaan desa) di desanya. Karena dianggap sebagai tetua (sesepuh) sekaa teruna, Kapler sering dimintakan pendapat terhadap berbagai kegiatan sekaa teruna. Kapler tanpa ragu juga royal untuk menghabur-hamburkan uangnya untuk sekadar mentraktir minum tuak dan bir saat melihat anak-anak muda anggota sekaa teruna sedang kumpul-kumpul di pinggir jalan desa.
Kapler berpikir mengacu kepada sang jagoan yang jadi mentor sekaligus sosok ideal seorang pecalang baginya. Kapler mengingat sangat penting untuk menanamkan pengaruh dan mempunyai anak buah. Menjadi pecalang bagi Kapler adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Ia berimajinasi bagaimana bisa menjadi tokoh idolanya, sang jagoan yang disegani sebagai “tukang pukul” berbudaya, yang kembali ke akarnya, menjadi pecalang setelah malang-melintang dalam bisnis keamanan.
Modalnya adalah pernah dipenjara dan memiliki jaringan yang luas dari mulai pejabat, politisi, hingga aparat keamanan membuatnya disegani oleh kebanyakan warga desa. Apalagi bagi anak-anak muda yang suka kumpul dan memunyah yang banyak berimajinasi menjadi jagoan (tukang pukul) yang dihormati dan juga pada saat yang bersamaan memiliki citra berakar budaya Bali dan nindihin (membela) tanah Bali.
sangkarbet kampungbet
![[Matan Ai] Bali dan Pembusukan Pembangunan](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2025/01/KOLOM-MATAN-AI-oleh-I-Ngurah-Suryawan-by-Gus-Dark1-120x86.jpg)









