
Perda Desa Adat di Bali, ironisnya, justru rentan memecah krama desa adat.
Sebuah desa Bali mula (kuno) di pegunungan sedang memikirkan cara tepat untuk memilih kepala desa adat atau bendesa. Desa ini adalah Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli Bali. Desa kuno yang masih menggunakan sistem ulu apad, sistem pemerintahan desa adat yang menggunakan tingkat kesenioran warga yang terdaftar sebagai krama atau warga desa adat.
Kali ini ini Desa Sukawana mendapatkan ujian. Penyebabnya, sistem ulu apad kemudian harus mengikuti petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak juknis) yang ditetapkan oleh Majelis Desa Adat (MDA). Juklak juknis ini menuntut adanya sistem Bali mawacara. Sistem pemilihan bendesa ini telah diatur sedemikian rupa dengan pemilihan musyawarah mufakat ala MDA.
Padahal, bagi warga Desa Sukawana, ulu apad bukanlah masalah pemerintahan belaka, tetapi juga menyangkut niskala atau kepercayaan tak kasat mata.
Desa Sukawana dipimpin oleh peduluan ulu apad. Jumlahnya 23 orang sehingga disebut juga dengan telulikur. Ulu apad Desa Sukawana dipimpin oleh jro kubayan mucuk dan jro kubayan kiwa.
Sebelum seseorang menjadi jro kubayan, krama tersebut harus melalui tahapan posisi. Saya lihat, proses ini juga sebagai perundagian spiritual. Paling pertama warga yang ketapak antuk widhi karena keseniorannya sebagai krama. Dia akan menempati posisi sebagai jro kelian desa.
Setelah sebagai jro kelian desa, ketika salah satu senior di atasnya selesai ngayah sebagai peduluan, baik karena baki (purna tugas) ataupun lebar (meninggal), maka ia akan naik satu tingkat menjadi di jero ngelan. Setelah itu akan naik lagi menjadi jero nakeh, lalu selanjutnya menjadi jro nyinggukan. Kemudian dia menjadi jero bau dan akhirnya menjadi jero kubayan.
Bagi warga Desa Sukawana, jero kubayan tidak hanya dianggap sebagai pemimpin pemerintahan desa adat, tetapi juga pemimpin tertinggi spiritual. Dia diyakini sebagai batara sekala. Karena itu jero kebayan adalah sosok suci, penting dan sakral di Desa Sukawana.
Jero kubayan tidak hanya memutus di bagian adat, tapi juga upacara. Artinya dia memiliki dan diyakini apapun keputusannya adalah titah Dewata yang berdampak sekala dan niskala.
Ratu Bendesa
Menurut cerita turun temurun, yang diyakini secara sekala dan niskala oleh warga, Desa Adat Sukawana dibentuk oleh bendesa yang palinggihnya berada paling atas di Pura Bale Agung Desa Sukawana. Atas keyakinan tersebut, Desa Sukawana sejak dahulu tidak memiliki bendesa. Alasannya, sudah ada ada sebutan sendiri yaitu Ratu Bendesa. Desa Sukawana menghindari penyebutan bendesa di Pura Bale Agung.
Begitu juga dengan sebutan penyarikan karena Desa Sukawana memiliki pelinggih Ratu Gede Penyarikan di Pura Penulisan. Sebenarnya secara turun-temurun krama Desa Sukawana tidak pernah memiliki bendesa dan penyarikan.
Namun, akibat adanya peraturan daerah yang mewajibkan desa adat memiliki keterwakilan pemimpin yang bersifat keluar, maka mau tidak mau secara formal Desa Sukawana membentuk ketua prajuru yang sebenarnya berfungsi sebagai pengabdi ulu apad. Dia kemudian dicatatkan secara kedinasan sebagai sebutan bendesa.
Proses penyebutan bendesa ini kemudian berlaku secara umum terhadap pemimpin desa adat di Bali setelah keluarnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat. Menurut MDA ini sistem pemilihan bendesa dituntun berdasarkan juklak juknis. Pada akhirnya bendesa adat tersebut akan dikukuhkan dan disahkan oleh MDA. Dasar pengukuhan dan pengesahan itu menjadi dasar bagi pemerintahan dinas untuk melakukan pengakuan kepada desa adat tersebut.
Akhirnya dalam pemilihan bendesa kali ini, MDA dengan semangat Bali mawacara memberikan tuntunan berupa juklak juknis sebagai pedoman panitia pemilihan di seluruh Bali. Juklak juknis itu kemudian digunakan untuk menentukan apakah bendesa yang terpilih dapat dikukuhkan atau disahkan oleh MDA.
Artinya, pada akhirnya, MDA yang berkuasa dalam proses pemilihan bendesa.
Hal ini ini seolah mengisyaratkan bahwa apabila pemilihan bendesa tidak disahkan oleh MDA maka secara formal belum dapat dicatat sebagai desa adat yang lengkap. Dan, belum tentu mendapatkan bantuan dana dari pemerintah daerah.
Bagi saya ini perlu dikritisi. Desa Sukawana adalah desa Bali mula yang umurnya sudah ribuan tahun memegang tradisi secara turun-temurun. Desa ini memegang penuh nilai-nilai spiritualitas yang menjadi ciri khas Bali dalam melaksanakan upacara ritualnya. Di sisi lain, MDA baru berumur dua tahun yang lahir sebagai turunan Perda tentang Desa Adat. Sehingga, tidak mungkin tata cara pemilihan bendesa dijadikan dasar pengakuan adanya sebuah desa adat yang sah.

Rentan Perpecahan
Pada akhirnya Desa Adat Sukawana, pada sangkepan Soma Kliwon tahun ini, berusaha untuk melakukan pemilihan ketua prajuru dengan meminta dadia (klan) dan kelian adat untuk mengirimkan wakilnya sebagai calon ketua prajuru. Hal ini sebagaimana lazimnya pemilihan pada umumnya yang sesuai dengan tuntunan dari MDA.
Setelah satu bulan lamanya akhirnya muncullah dua nama yang mengajukan calon ketua prajuru, yaitu I Wayan Jasa dari Dadia Pempatan dan Ketut Seneng dari Dadia Penulisan.
Tahapan selanjutnya adalah penetapan calon ketua prajuru. Semua disaksikan dan ditentukan berdasarkan kesepakatan serta hasil paruman di Pura Balai Agung yang dihadiri oleh prajuru dadia dan kelian adat di Desa Sukawana.
Sebenarnya, munculnya calon lebih daripada satu orang ini telah menimbulkan kekhawatiran luar biasa di tingkat para tokoh adat dan krama Desa Sukawana. Sebab, pilihan ini diyakini akan mengecewakan salah satu pihak ataupun mengecewakan dadia yang wakilnya tidak terpilih. Mereka bahkan bisa menarik peduluan yang sudah suci untuk ikut berkonflik di ranah pilih-memilih ketua prajuru.
Tentu saja hal ini menjadi ujian tersendiri terhadap ketulusan para calon maupun peduluan telulikur. Apakah mereka memang tulus tanpa ada kepentingan yang ada di dalam diri krama?
Peduluan Ulu Apad
Tibalah akhirnya pengadegan ketua prajuru yang nantinya secara kedinasan dicatatkan sebagai jero bendesa. Pada 14 Februari 2021 lalu, di Pura Bale Agung hadir Peduluan Telulikur Ulu Apad, para prajuru definitif, para kelian dadia dan kelian banjar adat, tokoh masyarakat, dan beberapa krama, termasuk saya yang hanya ingin menonton jalannya pemilihan.
Ketua panitia pemilihan Jro Wayan Dana mengawali dengan meminta maaf terlebih dahulu. Karena harus mengikuti protokol kesehatan di tengah masa pandemi COVID-19, maka panitia tidak bisa mengumpulkan seluruh krama. Hanya para prajuru dan kelian dadya.
Karena berdasarkan petunjuk MDA pemilihan harus berdasarkan musyawarah mufakat, maka masing-masing kelian adat dan dadia dipersilakan untuk bermusyawarah menentukan siapa yang akan dipilih.
Penanggap pertama adalah penglingsir dari banjar Jero Gede Suma. Dia merasa bingung karena harus memilih salah satu. Padahal, dia menilai kedua calon sama-sama terbaik dan tidak mungkin memperdebatkan salah satunya. Jero Gede Suma juga mengingatkan dresta di Desa Sukawana di mana peduluan adalah yang paling tinggi dan krama dipastikan tunduk terhadap keputusan peduluan. Oleh karena itu, Jero Gede Suma menyarankan agar musyawarah mufakat seluruhnya diwakili dan diserahkan kepada peduluan.
Pendapat itu diamini dan dan disetujui Perwakilan Dadya Kutadalem Jro Mangku Sumaradisi dan Jro Kebut serta Jro Gede Widana dari Banjar Kelod, Jro Mangku Tresna selaku tokoh adat lalu akhirnya disimpulkan oleh ketua panitia pemilihan.
Saat itulah, I Wayan Jasa menyampaikan kegundahan hatinya dengan mengatakan bahwa aturan MDA ini adalah aturan “bancih”. Karena, di satu sisi mengadakan musyawarah mufakat, tetapi hasilnya akan menyebabkan perpecahan yang berdampak pada sekala dan niskala di Desa Sukawana. Sehingga untuk menghindari perpecahan itu I Wayan Jasa menyerahkan segala sesuatunya kepada peduluan telulikur dan siap menerima hasil apapun yang diputuskan peduluan telulikur.
Begitu juga dengan Ketut Seneng. Dia menyatakan kesiapannya untuk menerima apapun hasil dari musyawarah peduluan telulikur.
Atas pernyataan krama melalui kelian dadia dan kelian banjar, yang memperlihatkan sifat penyerahan diri tulus ikhlas untuk menghindari perpecahan, maka akhirnya Jro Kubayan kemudian meminta para hadirin untuk keluar dari Bali Agung terlebih dahulu. Tujuannya agar paduluan dapat bermusyawarah tanpa didengar siapapun. Hasil musyawarah yang dianggap suci tersebut nantinya akan ditaati serta menghilangkan beban peduluan telulikur untuk memutus secara adil dan tidak berat sebelah.
Renungan
Akhirnya, setelah menunggu beberapa saat lamanya, para hadirin dipanggil kembali untuk masuk ke areal Balai Agung. Krama siap mendengarkan keputusan peduluan telulikur.
Jro I Wayan Dana selaku ketua panitia pemilihan, atas nama peduluan telulikur mewakili jro kubayan, mengumumkan hasil musyawarah mufakat para peduluan. Hasilnya adalah I Wayan Jasa dipilih sebagai ketua prajuru sedangkan I Ketut Seneng dipilih sebagai wakil ketua prajuru.
Keputusan ini disambut gembira oleh masyarakat yang hadir. Akhirnya Desa Sukawana terhindar dari perpecahan. Terhindar dari ego sektoral. Terhindar dari sifat-sifat ingin menang sendiri. Sehingga kebijaksanaan muncul dalam sebuah keputusan yang akan ditaati secara sekala dan niskala.
Hari ini ini saya bisa merenung. Seandainya masyarakat tidak sadar bahwa pemilihan bendesa dengan cara pilih memilih akan menimbulkan rasa suka atau tidak suka kepada salah satu calonnya. Bagi mereka yang tidak memilih calon bendesa yang terpilih, maka tentu ketaatan mereka tidak akan sepenuh di dalam hatinya. Begitu juga yang terpilih akan merasa kelompok yang tidak memilihnya memiliki beban yang tidak sama dengan yang memilihnya.
Pemilihan bendesa di Bali umumnya menghasilkan beban perasaan yang demikian. Akibatnya, seringkali beban perasaan tersebut menjadikan krama sulit bekerja sama membangun desa. Padahal pembangunan desa tidak hanya secara fisik, tetapi juga membangun secara srada dan bakti. Maknanya, pembangunan desa lebih kepada penguatan sisi niskala sebagai orang Bali dan Hindu Bali. Mereka yang memegang teguh adat dan tradisi berlandaskan pada ajaran ajaran agama Hindu Bali.
Untuk itulah saya menyebut ini adalah pelajaran agung dari pegunungan. Tepatnya dari sebuah desa Bali aga atau Bali mula yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli yaitu Desa Sukawana. [b]
Tulisan bagus, semoga jadi pelajaran khususnya MDA yg mesti menghormati keanekaragaman adat dan budaya yg hidup saktal di Bali ??
Bagus sebagai referensi jika ditemukan kejadian serupa??