“Made Kariada, pengacara lain di tim LBH Bali WCC menyebut tersangka dikenai Pasal 289 KUHP tentang pencabulan, bisa terancam pidana maksimum 9 tahun.? Ia mengaku berhati-hati karena ada latar belakang urusan agama.”
Luh De Suriyani menulis demikian. Barangkali pengakuan Made Kariada ada benarnya atau malah sangat benar. Kita harus hati-hati, terutama pada hal-hal yang bersinggungan dengan agama, tidak terkecuali Hindu di Bali.
Di titik ini, saya menyetujui argument IBM Dharma Palguna, “di mana agama sebagai panglima, aib lebih mematikan daripada kebodohan dan kemiskinan.” Kita hati-hati pada agama, karena agama penutup aib paling manjur. Menyingkap tabir agama, sama artinya membuka aib manusia.
Tersangka yang dikenai pasal pencabulan adalah seorang Pandita, orang yang dianggap suci karena disucikan dan menyucikan diri. Berdasarkan kata, Pandita berarti bijaksana. Disebut pula Sulinggih, berarti duduk yang baik.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mencatat sebanyak 1.720 orang Sulinggih yang tersebar di sembilan Kabupaten/Kota di Bali pada tahun 2019. Itu artinya, ada 1.720 orang bijaksana yang tersebar di seluruh Bali.
Jika ada sekitar 1.493 Desa Adat di Bali, maka sesungguhnya Bali tidak kekurangan orang-orang bijaksana yang bisa menuntun dari jurang awidya menuju widya. Dari gelapnya kebodohan, ke sudut terang pengetahuan. Begitu teorinya.
Tapi dunia per-Pandita-an tidak semudah kelihatannya. Ada banyak aturan yang harus dipatuhi, banyak keinginan yang harus dituruti, dan banyak kepentingan yang harus disikapi. Yang tidak kalah penting, banyak pustaka yang harus dibaca dan dipahami.
Korn [via Sugi Lanus, 2021] konon mencatat sebanyak 36 pustaka lontar dari kelompok Agama yang harus dibaca dan dipahami oleh seorang Pandita. Belum lagi pustaka dari kelompok yang lain seperti Tutur, Wariga, Usadha, dan seterusnya.
Semua itu harus betul-betul dipahami, sehingga seorang Pandita betul-betul dapat diakui sebagai sumber cahaya dan berhak menyandang gelar sebagai wiku. Menurut teks Homa Dhyatmika, Wiku berarti tidak memiliki kekotoran.
Meski begitu, bukan berarti seorang yang telah disebut wiku akan terlepas begitu saja dari segala bentuk hubungan duniawi. Karena seorang wiku masih memiliki tubuh. Karena masih punya tubuh, berarti wiku masih diikat oleh hasrat, keinginan, indriya.
Salah satunya adalah indriya bernama upastha, yakni kelamin. Palguna menyebut istilah Wiku Anyolong Smara untuk menyebut seorang Pandita yang melakukan hubungan badan dengan seorang atau beberapa orang perempuan yang bukan istrinya.
Istilah ini dimuat dalam lontar Tata Kramaning Wiku Mayasa Dharma. Menurut sumber yang sama, wiku jenis ini harus segera dicabut status kependetaannya. Sayangnya, bagaimana prosesi pencabutan itu tidak dijelaskan.
Wiku Mahadusta satu lagi istilah lain untuk wiku sejenis itu. Yakni Pandita palsu yang mempunya asrama mewah, punya murid banyak, menampung pertapa dan yang tidak kalah mulianya Pandita ini menampung istri para perwira yang ditinggal mati karena perang. Istri para perwira itu mengundurkan diri dari ikatan dunia dan memilih menjadi pertapa untuk membuktikan kesetiaannya.
Di sinilah letak ketidakberpihakan karya sastra klasik pada perempuan, karena perempuan selalu dituntut untuk membuktikan kesetiaan dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah kematian.
Mengenai pengungkapan kesetiaan perempuan di dalam sastra klasik dan sejarah, kita dapat membaca karya Helen Creese. Di dalamnya kita akan mendapat gambaran tentang upacara sati yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam sastra kakawin, semisal Satyawati – istri raja Salya – dalam kakawin Bharatayuddha.
Upacara sati dilakukan jika seorang perempuan telah ditinggal mati oleh suaminya dengan menusukkan keris ke tubuhnya atau menceburkan diri ke nyala api. Praktik ini setidaknya telah dilangsungkan sejak abad ke-4 sebelum Masehi di India.
Di wilayah Kepulauan Indonesia setidaknya sudah dipraktikkan dari abad ke-9. Di India, praktik sati dihapus oleh undang-undang pada tahun 1829. Sedangkan pada tahun 1829, Dubois masih menemukan praktik tersebut dilangsungkan di Bali saat upacara untuk Raja Badung. Ditambah lagi informasi bahwa pada tanggal 20 Desember 1847, upacara sati dipraktikkan di wilayah Gianyar.
Praktik sati, ditemukan pertama kali pada catatan Jan Oosterwijk pada tahun 1633. Beberapa informasi sejarah itu telah membuktikan pada suatu masa di Pulaunya para Dewa, terdapat tradisi pembuktian kesetiaan oleh para perempuan.
Bila praktik kesetiaan semacam itu kita bayangkan dengan cara pandang kekinian, saya sendiri sulit membayangkan. Bahwa praktik itu bukanlah tindakan yang keji. Tapi saya tidak tahu, bagaimana leluhur yang hidup pada masa itu memandang hal tersebut. Sekali lagi, kita memang harus hati-hati menyangkut agama.
***
[….] Lokasi Patung Siwa di dekat pertemuan dua jalur sungai, salah satunya Tukad Pakerisan yang terkenal dengan sejarah kesakralannya. Patung diletakkan di dekat sebuah batu besar yang juga menjaganya dari deras arus sungai. Sebuah bulakan atau sumber air juga nampak di tengah sungai, dibuatkan batas untuk melindunginya. […]
Itulah penggambaran lokasi kejadian yang diinformasikan oleh Suriyani. Saya cukup mengenal lokasi yang dimaksud termasuk patung Siwanya. Sungai, batu besar, bulakan, dan patung Siwanya bisa saya bayangkan dengan sangat baik.
Bahkan saya juga bisa membayangkan di mana letak canang-canang yang dipersembahkan oleh orang-orang yang berkunjung ke sana. Satu-satunya yang tidak dapat saya sangka adalah di tempat seperti itu terjadi dugaan kasus pencabulan.
Tidak bisa tidak, saya membayangkan ada orang datang ke tempat itu untuk memperoleh kesucian. Mereka seperti Dewa Kama yang diutus oleh Indra untuk menggoda Siwa. Bedanya, mereka bukan dewa, yang digoda bukan Siwa tapi patungnya. Di dalam cerita, hanya dewa sekaliber Kama yang berhasil menggoda Siwa dari tapanya. Dewa lain tidak mungkin berhasil. Apalagi manusia biasa. Jika tidak begitu, untuk apa para dewa di Kahyangan bersusah payah merayu Kama agar mau menunaikkan mission impossible itu.
Singkat cerita, dengan panah-panah bunga, Kama berhasil menggoda penciptanya. Dengan kata lain, ciptaan yang menggoda penciptanya. Siwa adalah korban dalam kasus penggodaan yang dilakukan oleh Kama. Sayangnya, keberhasilan itu harus dibayar sangat mahal. Kama harus kehilangan tubuhnya karena dibakar hangus oleh Siwa.
Kama berarti keinginan. Godaan keinginan selalu sulit ditaklukkan, tidak terkecuali oleh Dewa sekelas Siwa. Oleh sebab itu, orang selalu diajarkan agar hati-hati pada keinginan. Sebab keinginan akan selalu membuntuti dari sudut paling rahasia dan menyerang saat lengah.
Cerita tadi menunjukkan bahwa penggoda pun harus hati-hati agar tidak senjata makan tuan. Seperti para penari Calon Arang yang beramai-ramai mengeroyok penari Rangda dengan menghunus keris. Mereka gagal menusuk Rangda dan justru menusuk diri sendiri.
Sama seperti hasrat yang tak dapat dilampiaskan pada orang lain, akhirnya melakukannya sendiri. Di dalam kasus ini, petugas yang gagal menggoda patung Siwa harus minta maaf kepada indriya yang mengutusnya.
Di dalam teks-teks klasik, pertapa yang gagal menjaga keinginan ada banyak. Kebanyakan di antara mereka gagal menahan gairah seksual. Oleh sebab itu ada banyak pustaka yang mengajarkan agar seorang wiku mengekang gairah seksnya. Begitu juga dengan keinginan untuk jadi kaya dan terkenal.
Jika ada wiku yang tak dapat mengendalikan keinginannya, ia disebut wiku cacat. Ada delapan sebutan untuk wiku yang dianggap cacat. Masing-masing sebutan mengindikasikan kecacatan yang berbeda.
Contohnya adalah wiku ambeng, yakni wiku yang berlayar bersama saudagar sambil menjual ilmu pengetahuan. Itu artinya, wiku dilarang bertingkah seperti saudagar. Maksudnya, wiku tidak boleh berdagang. Kalau begitu, bagaimana cara seorang wiku menghidupi keluarganya?
Seseorang yang telah merelakan dirinya menjadi wiku, terutama atas panggilan jiwa, mestilah sudah menyiapkan diri matang-matang. Termasuk urusan keluarga.
Jika menjadi wiku termasuk dalam salah satu dari empat tahapan hidup menurut ajaran agama – bahkan tahapan terakhir – mestinya tidak ada lagi pertanyaan tentang bagaimana keluarga, bagaimana harta, bagaimana perut, dan sebagainya.
Saya menganalogikannya seperti orang yang ingin mencapai puncak gunung, tapi malah menyelam ke laut. Absurd. Oleh karena itulah, menjadi wiku adalah pilihan untuk orang-orang yang sudah selesai dengan hidupnya. Segala hal tidak lagi dirasakannya sebagai milik.
Mengenai godaan keinginan, kita dapat belajar dari Sebuah Cerita Tanpa Judul dari Anton Chekhov yang diterjemahkan Juli Sastrawan. Konon sekelompok orang suci mendengar cerita tentang dosa-dosa nikmat yang dilakukan penduduk kota. Cerita itu mereka dapat dari seorang biksu tua yang menceritakan pengalamannya berhadapan langsung dengan para pendosa-pendosa setelah beberapa bulan pergi ke kota. Begini ceritanya:
[…] Kemudian lelaki tua itu, dengan marah mengacungkan tangannya, menggambarkan pacuan kuda, adu banteng, teater, studio seniman tempat mereka melukis wanita telanjang atau membentuknya dari tanah liat. Dia berbicara dengan inspirasi, dengan keindahan yang nyaring, seolah-olah dia sedang memainkan akord yang tak terlihat, sementara para biksu, membatu, dengan rakus meminum kata-katanya dan tersentak karena kegirangan. . . . […]
Kabar itu justru membuat mereka pergi dari tempat tinggalnya menuju kota tempat para pendosa itu. Meski Chekhov tidak menjelaskan sebabnya, kita dapat menduga, itu terjadi karena kurangnya keyakinan atau godaan yang terlalu indah untuk dilewati begitu saja tanpa mengalaminya.
Menurut Mpu Tantular, memang ‘singgih yan sira sasar kapetengan dening manah sangsaya, lagyagegwan ikang sukabhyudaya’ [mungkin benar jika dia [pertapa] tersesat, dibuat gelap karena kebingungan, saat ia sedang berusaha mencapai kebahagiaan].
Godaan bisa datang dari mana saja, bisa berwujud apa saja, bisa kapan saja. Terutama di tempat-tempat yang dianggap suci dan sakral. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menyucikan kembali tempat suci? Jawabannya tidak jauh-jauh dari upacara. Biasanya jika di suatu tempat pernah terjadi hal-hal yang dianggap leteh atau kotor, upacara yang ditempuh adalah caru.
Caru berarti harmonis. Sebagaimana namanya, upacara ini bertujuan untuk mengharmoniskan. Tapi apakah caru dapat mengharmoniskan trauma fisik dan psikis? Jangan tanya macam-macam, kita harus hati-hati karena ini menyangkut agama. Titik.
Menarik sekali upacara Sati. Dulu saya sempat berpikir demikian kalau suami saya pergi duluan menghadap sang Pencipta. Suami saya tiada, saya pun rasa-rasanya udah hilang nyawa, nggak tau bagaimana harus melanjutkan hidup tanpa pasangan hidup saya. Apa saya perlu ikut terbakar kobaran api kremasinya, ya? Terlalu sadis jadi tontonan orang, terlalu egois juga meninggal anak-anak saya yang mungkin masih mengharapkan kehadiran dan kasih sayang saya.