![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/07/WhatsApp-Image-2024-05-31-at-21.12.18-1536x1152-1.jpeg)
Luh Putu Sariningsih (Luh Tu) seorang peternak di Banjar Bukitsari, Desa Sumberklampok, Kabupaten Buleleng mulai bisa menikmati hasil ternaknya. Kelompok peternak di lingkungan banjarnya mendukung Luh Tu menjadi seorang peternak sapi di kawasan yang kering.
Setiap hari, Luh Putu Sariningsih mengolah lahan dan beternak sapi. Perempuan berusia setengah abad ini adalah seorang orang tua tunggal. Suaminya, Putu Sentara meninggal pada 2021. Kini, ia tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya, I Wayan Suweca (24 tahun).
Hari Sabtu (4/5) Waktu masih menunjukkan jam 08.00 pagi, tapi Luh Tu sudah sibuk memasak di dapur untuk anaknya. Hari itu, anaknya yang bekerja di Denpasar itu sedang libur dan pulang ke rumah.
Ketika anaknya belum bangun, Luh Tu sudah bergegas ke ladang di belakang rumahnya yang berjarak sekira 50 meter. Ia mengenakan kain penutup kepala dan wajah, celana dan baju lengan panjang, sepatu yang menutupi mata kakinya, dan sabit. Begitulah, seragamnya setiap ke ladang.
Hari itu, ia memanen terakhir kacang jongkok yang ditanam sejak Februari. Sedangkan 3 hari lagi, ia akan memanen kacang undis (kacang gude).
Setiap hari, Luh Tu selalu sibuk karena ada saja yang dipanen di lahan garapannya. Apa yang dipanen, itu juga yang jadi lauk makan di rumah.
Sejak suaminya meninggal, Luh Tu menanggung beban hutang-hutangnya. Ada sekitar belasan juta di kelompok banjarnya dan puluhan juta lainnya di bank.
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/07/WhatsApp-Image-2024-05-31-at-21.11.55-1528x2048-1.jpeg)
Ia mengatakan kondisi keuangan keluarganya jauh berbeda dengan saat suami masih hidup. Tetapi ia bersyukur karena dapat mengelola keuangan dengan leluasa. Saat ini ia memiliki kuasa penuh atas hasil jerih payahnya mengolah lahan pertanian dan peternakan.
Sejak awal, Luh Tu mengolah lahan sendiri. Suaminya, memilih bekerja menjadi tukang saja. Saat sakitnya semakin parah, suaminya memilih berjualan es keliling.
Luh Tu adalah istri kedua dari Putu Sentara. Pasangan yang terpaut umur 29 tahun ini bertemu ketika sama-sama menjadi transmigrasi di Timor Timur.
Putu Sentara memiliki 3 anak dari perkawinan dengan mendiang istri pertama. Luh Tu adalah teman akrab dari anak-anaknya yang kemudian dipinangnya. Sebenarnya, keluarga Luh Tu tidak terlalu setuju, tetapi pernikahan tetap berlangsung.
Saat di Timor Timur, suami Luh Tu adalah seorang pekerja keras dan tidak mengenal judi. Waktu itu, Putu Sentara bekerja di bidang pertukangan.
Setelah menikah, Luh Tu dan sang suami pulang ke Bali tahun 1999. Sejak 1999 masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah Timor Timur harus pulang ke Indonesia setelah wilayah itu memisahkan diri dan menjadi negara baru, Timor Leste.
Setelah melalui perjuangan panjang, para eks transmigran seperti Luh Tu dan suaminya mendapat lahan garapan seluas 50 are dan 4 are untuk lahan pekarangan di Sumberklampok. Dimulai dari para warga eks-transmigran yang memperjuangkan tempat tinggal sejak sampai di Bali.
Sesampainya di Bali, para eks-transmigran ditempatkan di transito. Didampingi Sudirta, pengacara eks-Timtim waktu itu mengadakan audiensi di Jakarta terkait kepastian tindaklanjut tempat tinggal warga. Pemerintah pusat memutuskan mereka diserahkan kembali ke pemerintah daerah (Pemda) masing-masing. Transmigran asal Buleleng, yang ketika itu rombongan Kisid tinggal di transito singaraja.
“Pemda Bali saat itu hanya bilang ada lahan. Namun, setelah di Bali tidak ada kepastian akan tinggal dimana, akhirnya audiensi lagi,” cerita Nengah Kisid.
Kala itu, masyarakat menegaskan agar pemerintah bisa membuktikan bahwa benar tidak ada lahan di Bali.
Warga eks-Timtim dari Singaraja awalnya akan diberikan uang sebagai pengganti. Namun, bagi warga nilainya tak sebandingkan dengan tempat tinggalnya dulu di Timtim. Para eks-Timtim meminta lahan dengan luas yang sama seperti di Timur Timor.
Solusinya saat itu, Pemda Buleleng memberikan lahan di hutan produksi terbatas di Sumberklampok. Beberapa petani dikumpulkan (Eks-Timtim dari Badung, Karangasem, dan Buleleng) akhirnya ikut tinggal di sumberklampok. Negara melalui Gubernur Bali saat itu memberikan lahan di ujung barat Buleleng, Gerokgak.
Wayan Suweca mengatakan dulu proses pembagian lahan ini hanya menggunakan patok, ketika diukur dengan alat ukur ternyata luas lahan setiap keluarga berbeda-beda. Neneknya sendiri mendapat sekira 80 are.
Tapi kemudian kelompok memutuskan agar pembagiannya semua sama. Setiap keluarga ditetapkan mendapat lahan seluas 50 are.
“Sisanya harus dilepaskan dan menjadi pelaba desa (lahan milik desa),” jelas Wayan Suweca.
Setelah mendapat jatah lahan, Putu Sentara segera membersihkannya. Lahan itu berupa hutan dan statusnya milik negara. Luh Tu ingat betapa hutan itu penuh dengan aneka tanaman sehingga mau jongkok untuk kencing saja tidak bisa.
Ia ingat betul, saat sedang hamil besar, sang suami bekerja selama 3 minggu untuk membersihkan lahan hutan ini. Bersama warga lainnya, Sentara mematok (menandai) membagi bakal lahan garapan untuk dibagi ke para eks-transmigran.
Setelah anaknya berumur 3 bulan, suaminya minta Luh Tu membersihkan lahan jatahnya. Sembari mengasuh anaknya, ia membersihkan lahannya sendiri.
“Bapak hanya menunjukkan saja, dikasitahu membersihkan dengan mengikuti patok yang ada. Sampai ketemu patok yang di ujung, nanti belok sampai berbentuk segi empat,” cerita Luh Tu mengikut arahan suaminya dalam bahasa Bali.
Sayangnya, setelah Luh Tu bekerja keras, ia tak pernah menikmati hasil panen garapannya. Semua uang hasil panen dikuasai suaminya, tak sedikitpun Luh Tu memegang uang hasil kerja kerasnya.
“Memek sing nawang pipis, asal panen sing ade pipisne, bisa uyut. Ye ne nagih pipisne. Yen sing baang, ambres-ambres ye. Nak bapane wayan ngubuhin togel, puluhan tahun,” tutur Luh Tu, sembari memanen kacang di lahannya.
Artinya, Ibu tidak pernah tahu uang, setiap panen jika tidak ada uangnya, akan bertikai. Dia (suaminya) yang minta uangnya. Kalau tidak dikasi, ia akan kesal. Bapaknya Wayan bermain judi tolgel, sejak puluhan tahun.
Saat itu, setiap ia memiliki uang akan diserahkan ke suami untuk menghindari pertikaian.
“Memek sing demen ketoange (diambres-ambres). Demi pang selamat rumah tanggane, pang sing miyegan, kanggoang memek ngalah,” ungkap Luh Tu.
Artinya, Ibu tidak suka menunjukkan perilaku kesalnya. Demi rumah tangga agar selamat, agar tidak bertikai, ibu saja yang mengalah.
Keluarga lajang (dari garis ibu) Luh Tu mengetahui kondisi ini. Mereka sering mempertanyakan tindakan suaminya yang egois itu. Namun, ia menjawab dengan alasan sama untuk menghindari pertikaian dan menyelamatkan rumahtangganya.
Setiap hari kegiatan Luh Tu hanya menggarap lahan. Jika sudah terik, ia pulang untuk istirahat sejenak sambil ngopi.
Perubahan Iklim Terasa Jelas
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/07/WhatsApp-Image-2024-05-31-at-21.11.58-1536x1152-1.jpeg)
Bagi Luh Tu menggarap lahan adalah teman akrabnya sejak masa kecil di Timor Timur. Di sana, lahannya subur dan tidak kekurangan air.
Ketika pulang ke Bali, ia harus beradaptasi karena mendapat lahan di wilayah kering.
Tentu ini jadi perjuangan yang cukup berat bagi Luh Tu dan para mantan transmigran di Timor Timur. Hampir semua warga Bukitsari harus meneruskan kehidupan dengan cara beternak dan bertani di ladang kering.
Krisis air menjadi salah satu persoalan yang tak kunjung usai di Sumberklampok. Luh Tu dan warga Bukitsari lainnya harus belajar untuk mengetahui jenis-jenis tanaman pertanian yang irit air.
Jenis tanaman yang ditanam biasanya disesuaikan dengan musim dan perhitungan kalender Bali. Pengetahuan tentang jenis tanaman yang tepat, sering menolong Luh Tu bisa tetap berhasil panen.
Namun, apa daya perubahan iklim menambah persoalan bagi Luh Tu dan warga Sumberklampok. Cuaca berubah secara drastis sehingga menyulitkan bercocok tanam.
Menjelang akhir sampai awal tahun biasanya hujan membasahi tanah-tanah kering di lahan Bukitsari. Itu adalah waktunya untuk menanam bibit kacang-kacangan, jagung dan tanaman umur pendek lainnya.
Namun yang terjadi, tak ada hujan setetes pun yang membasahi lahan milik Luh Tu hingga akhir 2023. Ditunggu hingga awal tahun 2024, hujan tak kunjung datang, sehingga bibit-bibit yang ditanam Luh Tu mati.
Pada Februari yang seharusnya menjadi musim berbuah dan berbunga, tiba-tiba justru turun hujan. Luh Tu kemudian harus menanam lagi dan sebagian tanamannya bisa dipanen pada April dan Mei ini.
Hujan pada Februari, juga merangsang rumput liar tumbuh di lahannya. Ia sempat kewalahan tetapi berhasil membersihkannya sambil sedikit panen.
Saat ini petani di Bukitsari juga sedang berjuang untuk mendapatkan SK pelepasan lahan hutan yang saat ini menjadi area bertani mereka.
Beternak untuk Biaya Anak Sekolah
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/07/WhatsApp-Image-2024-05-31-at-21.57.35.jpeg)
Saat anak Luh Tu, Suweca beranjak besar dan akan masuk bangku SMP tahun 2013. Ia merayu suaminya agar mempersiapkan biaya sekolah. Sejak awal, ia sudah mewanti-wanti suaminya mencari penghasilan tambahan.
“Kita ke sini tidak membawa bekal, anak sudah semakin besar, mari kita jadi peternak penggarap. Beternak sapi sejak anak masih SD, agar saat masuk SMP, kita punya bekal biaya sekolah,” tuturnya kepada suaminya.
Keinginan Luh Tu beternak sapi hampir ditolak. Alasannya, perlu jalan jauh untuk mendapatkan pakan sapi. Saat itu suaminya menunjuk pada peternak lain yang harus mencari pakan jauh-jauh. Namun, Luh Tu kukuh meyakinkan suaminya.
“Itu teman-teman bisa? Kita punya sepeda, bisa menggunakan sepeda itu. Orang lain jalan kaki mencari makanan sapi,” jelas Luh Tu menirukan permintaannya dulu.
Akhirnya Luh Tu bisa beternak sapi. Awalnya, ia menjadi peternak penggarap. Ia memelihara sapi milik orang lain hingga besar, dari situ ia mendapat pembagian keuntungan.
Waktu itu adalah momen tersulit bagi Luh Tu dalam beternak. Sebab ia hanya peternak penggarap yang mendapat keuntungan dari pertumbuhan sapi itu saja. Jika tak berhasil membuat produktif, maka penghasilannya akan kecil
Sejak 2003, Luh Tu memelihara sapi sendiri. Tapi jalannya gak mulus karena sapi pertamanya ternyata adalah betina yang mandul. Hanya bertahan setahun memelihara sapi mandul, selanjutnya Luh Tu beralih memelihara babi.
Pengalaman awal ini mengajarkannya lebih bersiasat dalam beternak. Jika mandul atau sudah terlalu tua, ia akan segera menjualnya.
Belum lama beternak, suaminya sakit parah. Ia harus mengurus suaminya sehingga harus berhenti menjadi peternak.
“Karena waktu itu ibu yang semangat memelihara sendiri, jadi yang beternak sendiri. Seperti sekarang ibu semangat, bisa memelihara 6 sapi,” imbuhnya.
Beternak bersama Kelompok
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/07/WhatsApp-Image-2024-05-31-at-21.38.40.jpeg)
Setelah suaminya meninggal, Luh Tu kembali bekerja. Ia menggarap lahan dan beternak sapi kembali.
Kali ini, peruntungannya dalam beternak sapi lebih bagus. Tahun 2005 warga di Banjar Bukitsari mulai membentuk beberapa kelompok ternak. Luh Tu mengikuti kelompok ternak yang didirikan dan dikoordinir oleh Nengah Kisid.
Nengah Kisid melihat warga butuh keseriusan dalam mengurus ternaknya. Terbentuk pada 2005, kelompok ini masih butuh 2 tahun untuk memastikan anggotanya bahwa mereka memang mempunyai komitmen beternak.
“Awalnya, kelompok ternak sangat kecil, kami iuran Rp2.000 tiap bulan agar ada saja kegiatan di kelompok. Sampai saat ini kami sudah bisa iuran sebanyak Rp5.000,” cerita Nengah Kisid.
Setelah berjalan beberapa waktu, kelompok ini berhasil mendapat program dari pemerintah. Akhirnya kelompok bisa memiliki sapi dari hasil iuran dan bantuan-bantuan pemerintah.
Perlahan, kelompok ternak mulai mandiri dan memiliki tabungan cukup untuk menjalankan program simpan pinjam bagi anggotanya. Hasil dari bunga pinjaman dikelola oleh kelompok.
“Pinjaman ini untuk membantu anggota kelompok yang membutuhkan uang. Namun, kami membatasi nominalnya agar kelompok tidak collaps dan semua punya hak untuk meminjam,” kata Kisid.
Sistem pinjaman di kelompok ternak ini sedikit berbeda dari perbankan. Setiap anggota yang meminjam hanya membayar bunga sebesar 1.5% dari total pinjaman setiap bulan. Lalu pinjaman induk dibayarkan setiap 1 tahun sekali saat akan tutup buku.
“Itu tergantung kesepakatan juga, kalau ada yang gagal panen dan tidak bisa membayar ketika akhir tahun, maka akan diperpanjang. Yang penting dia bayar bunganya saja,” tambah Kisid.
Kelompok ternak Bukitsari menetapkan batas pinjaman setiap anggota sebesar Rp10 juta. Kalau sudah di atas 10 juta, tidak boleh pinjam lagi hingga lunas lebih dulu.
Ini diberlakukan agar tiap anggota tidak sampai terlilit pinjaman di luar batas kemampuan pengembaliannya. Pengelolaan bunga pinjaman ini akhirnya membangkitkan kemandirian kelompok dari sisi kas.
“Dari hasil bunga ini, kita menawarkan ke anggota yang mau sapi dan silakan dipelihara. Begitu juga untuk anggota yang sedang meminjam uang di kelompok, bisa memelihara sapi kelompok untuk tambahan mengembalikan pinjamannya,” ujar Kisid.
Dari hasil memelihara sapi itu, anggota bisa pelan-pelan mengembalikan pinjaman. Dengan sistem seperti ini, anggota kelompok bisa merasa lebih tenang. Sebab, selemah-lemahnya kemampuan penghasilan anggota, masih ada hasil peliharaan sapi sebagai cadangan penghasilan.
Kelompok juga menerapkan sistem bagi hasil, dengan pembagian 50:50. Kisid menjelaskan sistem pinjam-kembali ternak sapi di kelompoknya. Setelah ada anggota yang mau meminjam sapi, kelompok akan membeli bibit sapi. Biasanya harga bibit sapi sekitar Rp5 juta.
Bibit ini kemudian diternak oleh anggota yang meminjam. Saat umur 6-7 bulan, usia matang untuk jual sapi, sapi ini dijual. Tentu dengan harga yang jauh lebih mahal, misalnya Rp14 juta.
Dari hasil penjualan ini, modal pembelian bibit sapi harus dikembalikan dulu, sebesar Rp5 juta. Keuntungannya, Rp9 juta akan dibagi dua antara peternak dan kelompok.
Luh Tu biasanya menyiasati sistem ini. Ia biasanya meminjam sapi betina untuk diternakkan. Ia tak menjual induknya, tapi akan dipelihara sampai melahirkan anak.
Untuk mengembalikan sapi pinjaman, ia harus menjual anak pertama sapinya. Sehingga ia tetap memiliki induk sapi dan tetap bisa mengembalikan sapi kelompok. Sampai saat ini Luh Tu memiliki 2 anakan sapi dari sapi pinjaman kelompok
“Sistem pinjam-kembali sapi di kelompok ternak Bukitsari sangat membantu ibu. Ibu tidak beban mengumpulkan modal untuk membeli sapi. Bagusnya, sistem ini kita baru hitung-hitungan uang setelah sapi memberikan hasil,” sebut Luh Tu sambil memandikan sapi-sapi kesayangannya.
Hingga saat ini kelompok sudah mampu mengumpulkan uang kas sebesar Rp180 juta.
Kisid menceritakan ternak sapi ini adalah sistem yang paling cocok dengan cuaca di Sumberklampok. Kelompok pernah memelihara kambing dari pemerintah, tak lama kemudian mati. Ia menduga kambing tidak cocok dengan situasi di Sumberklampok.
Setiap warga bisa membawa sapi kelompok yang dipinjam untuk diternak di lahan masing-masing anggota. Rata-rata peternak di Sumberklampok memberikan rumput gajah untuk sapinya.
“Setiap orang di sini pasti di lahannya ada rumput gajah,” kata Kisid.
Luh Tu sebagai salah satu anggota kelompok ternak yang memelihara sapi, sudah menanam rumput gajah sejak awal bertani. Rumput gajah adalah pakan ternak yang paling efektif. Sekali tanam, rumput gajah bisa bertahan hingga bertahun-tahun.
Kalau musim kering, rumput tidak mati, hanya saja tidak tumbuh meninggi. Daunnya menguning tapi akar dan batangnya tetap hidup.
“Kalau ada yang mati, tinggal tanam kembali. Menanamnya pun tidak lama. Sambil panen, jika ada batangnya yang cukup besar, tinggal ditancapkan ke tanah lalu akan tumbuh. Tanam saat musim hujan,” tambahnya.
Siasat lain beternak di Sumberklampok, para peternak di Bukitsari juga menggunakan pohon-pohon yang adaptif di daerah kering. Seperti yang ada di lahan Luh Tu, misalnya pohon jagung, pohon Lamtoro, Sunakeling, Kelor, dan pohon Intaran. Ketika tak ada air dan rumput gajah tak bisa tumbuh, Luh Tu akan menggunakan daun-daun pohon ini sebagai pakan ternak. Luh Tu tak pernah ambil pusing untuk pakan ternak. Apapun tanaman yang ada di lahan adalah makanan enak untuk pakan ternaknya.
Biasanya Luh Tu dan peternak lainnya mengakali pakan ternak sapi ini. Ketika siang hari lebih sering diberikan pakan, daun pohon lamtoro. Malam hari akan diberikan rumput gajah.
“Lamtoro itu bikin seret, dikasi pas siang hari biar sapi mau minum air banyak. Kalau malam, kita kan tidur nggak sempat ngasi air, makanya kasi rumput gajah biar sapi tidak kehausan,” kata Suweca.
Pemberdayaan Tanaman Lokal Adalah Adaptasi Pertanian Berkelanjutan
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/07/WhatsApp-Image-2024-07-08-at-22.39.14.jpeg)
Gusti Ayu Komang Sri Mahayuni, seorang praktisi permakultur melihat pola-pola adaptasi yang dilakukan warga Bukitsari adalah suatu praktik permakultur. Permakultur adalah sebuah filsafat dalam budaya dan kehidupan yang selaras dengan alam.
“Sumberklampok memang wilayah kering, sehingga jangan heran jika bisa saja pakan ternaknya lebih banyak pakai daun kering,” kata Sayu, panggilan akrabnya (15/5).
Memilih rumput yang tumbuhnya butuh air, itu bisa dilakukan saat musim hujan. Namun di Sumberklampok musim keringnya panjang, wajar bila mereka mengeringkan rumput/batang jagung sebagai pengganti rumput.
Sayu memaparkan konsep permakultur penting dijalankan karena berkaitan dengan tatanan kehidupan yang berkelanjutan. Apalagi dengan kondisi wilayah seperti Sumberklampok, penting menciptakan pertanian yang berkelanjutan.
Salah satu ciri pertanian permakultur adalah memberdayakan tanaman lokal, seperti untuk pakan ternak yang dapat tumbuh dalam kondisi iklim ekstrim. Misalnya jenis rumput yang dari dulu tumbuh di wilayah itu.
Lebih lanjut Sayu mengatakan Sumberklampok yang kering bisa diatasi dengan memaksimalkan sistem pemanenan air hujan dan mulsa organik. Perlu juga menanam tanaman yang bisa jadi penutup tanah agar tanah bisa menyimpan kelembapan.
“Jadi pemilihan tanaman juga penting tanaman apa yang cocok untuk lahan kering,” tutup Sayu.
Beda situasi pertanian, berbeda juga kondisi keadilan gender di Sumberklampok. Dengan situasi Luh Tu yang pernah mengalami momen sulit di keuangan keluarga, apakah ia sudah benar-benar merdeka sebagai perempuan?
Yogi Paramitha, seorang peneliti law, gender and human rights dari Indo-Pacific Research Center, Murdoch University, Australia memiliki tanggapan terhadap pengalaman kehidupan Luh Tu. Ia mengatakan keadilan gender dari perempuan dapat dilihat dari 3 elemen keadilan.
Pertama, sejauh mana perempuan di sana diakui (rekognisi) keberadaannya termasuk kerentanan yang mereka hadapi. Kedua, sejauh mana partisipasai perempuan dalam pengambilan keputusan. Ketiga, sejauh mana distribusi dampak baik positif maupun negatif dari aktivitas yang mereka lakukan itu dapat dirasakan secara merata.
Dalam konteks, kelompok ternak di Sumberklampok, apakah keuntungan dari kelompok ternak itu sepenuhnya dirasakan oleh perempuan?
“Nah keadilan ini sifatnya derajat. Bukan ada atau tidaknya keadilan. Cuma dilihat dari kuat atau lemahnya,” jelas Yogi melalui pesan WhatsApp (15/5).
Bisa saja dalam hal partisipasi perempuan tidak terlibat tapi dalam hal distribusi keuntungan mereka dapat.
Yogi mengatakan pengalaman Luh Tu yang tidak pernah menikmati hasil panennya adalah persoalan rekognisi. Hak perempuan untuk memiliki uang atas hasil kerjanya tidak diakui.
Ia juga melihat ada bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Luh Tu diperas tenaganya untuk menghasilkan/berproduksi tapi tidak dapat menikmati hasilnya.
Keadilan untuk perempuan tak hanya secara prosedural saja atau dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan saja. Namun keadilan substantifnya harus terpenuhi, apa yang menjadi bagian dan miliknya mesti diakui.
Kelompok ternak ini menjadi penanda bahwa keadilan prosedural bagi perempuan sudah mulai diakomodir. Dengan adanya akses bagi perempuan dalam proses pengambilan keputusan (aspek partisipasi). Akan tetapi keadilan prosedural saja tidak cukup.
Sebab itu hanya jalan untuk mewujudkan keadilan substantif. Yakni adanya penghormatan terhadap hak perempuan dan adanya distribusi yang adil atas sumber-sumber agraria bagi perempuan.
Namun, perlahan tapi pasti. Berada di wilayah perjuangan, juga menjadi proses keadilan gender itu bertumbuh. Terpantiknya kelompok-kelompok perempuan yang ada di Sumberklampok bisa menjadi percikan kebahagiaan bagi kondisi yang pernah dirasakan Luh Tu. Saat ini, Luh Tu dan beberapa belasan perempuan di Sumberklampok saling menguatkan melalui Kelompok Usaha Perempuan Damara (KUPD).
Kelompok Usaha Perempuan Damara Bukitsari
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/07/WhatsApp-Image-2024-07-08-at-17.18.12-edited.jpeg)
Kelompok Usaha Perempuan Damara (KUPD) Sumberklampok menjadi lapisan masyarakat yang kompak dalam perjuangan agraria ini. Keterlibatan para perempuan ini seperti gerbang kedua – setelah para tim kerja yang dibentuk KPA – saat memasuki Sumberklampok. Segala rencana program yang dilakukan di tanah perjuangan Sumberklampok harus diteruskan ke para perempuannya.
“Setelah tim kerja menyusun rencana kerja, briefing pertama disampaikan bukan ke bapak-bapak. Tapi pasti ke ibu-ibu. Misalnya saat akan ada acara, tim kerja berkumpul dan membuat konsep. Tahap penyebaran konsep acara itu akan langsung diumumkan ke para perempuan Sumberklampok,” ungkap Suweca yang juga tergabung dalam tim kerja Sumberklampok.
Ada sebanyak 20 perempuan Sumberklampok yang tergabung dalam KUPD. Selain pekerjaan utamanya tetap sebagai petani. Perempuan yang tergabung KUPD bukan sekadar berorganisasi, tapi juga menjalankan usaha-usaha di kelompok.
Saat ini KUPD membuat minyak VCO, sabun dan bubuk moringa. Kalau panen cabai melimpah buat bon cabe. Hasil produk sangat tergantung dengan hasil panen di kebun. Tanaman yang sangat melimpah di Sumberklampok adalah kelor (moringa). Jadi produk yang pasti ada yaitu olahan kelor. Sampai saat ini sudah menjadi produk sabun moringa, bubuk untuk campuran tepung moringa dan masker kecantikan moringa untuk wajah.
Produk lainnya adalah olahan bunga telang dibuat menjadi teh. Tapi jarang ada. Dulu pengembangan produk ini diinisiasi dari hasil pembelajaran bersama Yayasan IDEP Selaras Alam. Luh Emy adalah generasi kedua yang mengembangkan produk kelompok ini. Ketika pelatihan pengembangan produk tahun 2021 yang ikut dari keluarga Emy adalah ibu mertuanya, Luh Mariani. Kini, dilanjutkan Luh Emy. Pelatihan itu dari nol, mulai cara mengolah sampai pengemasannya.
Sebelum membuat produk, para perempuan Sumberklampok dibekali tentang pengetahuan bertanam. Jenis tanaman apa yang cocok ditanam di masing-masing rumah kemudian dikembangkan hingga mengolah menjadi produk yang bernilai ekonomi.
“Kami dibuatkan KPK (Kebun pekarangan keluarga) dulu di rumah,” kata Emy.
Saat pembentukan pertama kali, kelompok perempuan di Sumberklampok dinamai PBS (Perempuan Bukit Sari). Dulu anggotanya semua perempuan Sumberklampok. Sejak tahun 2023 berganti nama menjadi KUPD (Kelompok usaha perempuan Damara) Sumberklampok dan anggotanya pun banyak terseleksi.
Produk KUPD saat ini paling konsisten diambil oleh Ladusa (Lumbung agraria nusantara), unit usaha dari KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria).
Meski KUPD sudah memiliki produk dan anggota yang pasti, tapi masih banyak persoalan yang menyebabkan usaha kelompok ini berkembang. Selagi berbentuk kelompok, mereka kesulitan memenuhi izin usaha yang lebih legalitas.
“Jadi susah pemasarannya. Produk dijual di sekitar sini saja,” kata Emy, anggota kelompok yang mengelola penjualan produk.
Kelompok perempuan Sumberklampok memiliki agenda kumpul rutin setiap hari raya Purnama. Diawali dengan sembahyang bersama. Kemudian melakukan iuran bersama untuk persiapan hari raya-hari raya lainnya yang akan datang.
Saat berkumpul biasanya akan membahas soal iuran, sesekali gotong royong dan berbagi pengetahuan mengolah hasil kebun menjadi produk antar anggota.
Kas kelompok dari iuran ini biasanya digunakan untuk simpan pinjam para anggota. Rata-rata untuk kebutuhan hari raya dan kebutuhan tersier lainnya seperti pakaian ke pura.
Sedangkan untuk keperluan makan lauk-pauk sudah terpenuhi dari hasil kebun.
Ada yang unik dari cara pengumpulan dana kas kelompok perempuan damara ini. Waktu kumpul yang selalu tepat ketika hari raya Purnama, menjadi momen persembahyangan bersama para anggota kelompok. Biasanya masing-masing dari mereka membawa canang untuk dihaturkan di pura banjar. Selain canang juga menghaturkan beras. Jumlahnya pun tidak diatur karena disesuaikan dengan kondisi masing-masing anggota. Selepas sembahyang, beras itu diambil kembali (dilungsur) kemudian dikumpulkan dengan beras-beras yang dihaturkan yang lainnya. Dengan jumlah yang biasanya lumayan banyak, beras ini bisa dilelang ke anggota yang sedang membutuhkan beras.
“Pemberi harga tertinggi adalah pemenangnya. Hasil lelang itu masuk ke kas,” kata Luh Switriyani, ketua KUPD.
Bagi anggota, kelompok ini adalah saksi dari proses perjuangan. Jadi apapun pengumuman yang disebarkan di kelompok ini, para perempuan sigap untuk hadir dan terlibat.
Semangat kelompok perempuan Sumberklampok ini jelas terlihat menggelora saat kami liputan dan berkumpul bersama di Balai Banjar Bukitsari. Harapan mereka ingin terus berjuang agar mendapatkan hak tempat tinggal dan tanah secara penuh.
Selain turut aktif mengelola lahan, para ibu-ibu KUPD menyatakan juga mengelola uang penghasilan kebun. Sebab, sebagian besar urusan rumah tangga diurus para perempuan. Jadi yang tahu lebih banyak keperluan dan penggunaan uang rumah tangga adalah para istri. Pengeluaran paling besar untuk urusan dapur dan makan sehari-hari. Sedangkan untuk urusan adat tidak begitu karena adat di sana tidak seketat daerah-daerah lain.
Rata-rata semua perempuan menggantungkan penghasilan besarnya dari beternak sapi. Lebih banyak menjadi peternak penggarap. Bagi perempuan Sumberklampok, memelihara sapi sangat membantu keuangan keluarga. Layaknya investasi dan tabungan jumlah besar. Penghasilan dari beternak sapi sudah ditargetkan untuk memenuhi pengeluaran jumlah besar. Misalnya, perbaikan rumah, dana sekolah anak.
“Memelihara dan menjual sapi juga ada strateginya. Karena harganya yang bisa naik turun, jadi usahakan menjual sapi saat harganya tinggi sehingga uang yang didapatkan bisa untuk memenuhi keperluan yang besar,” kata Luh merangkum obrolan anggotanya yang bercerita bersahutan malam itu (4/5).
Bagi mereka memelihara sapi sangat menguntungkan. Sebab pakan ternaknya banyak di sini. Justru akan rugi jika tidak memelihara sapi. Rumput yang sudah tersedia akan terbuang sia-sia. Tak jarang, masyarakat dari desa lain ke Sumberklampok mencari pakan ternak.
Selain ketersediaan pakannya, bagi Luh memelihara sapi lebih mudah. Dibanding babi, pakannya harus sengaja dibuat. Dari sisi ketahanan, bagi ibu-ibu KUPD sapi lebih tahan dan kuat dari penyakit. “Babi itu banyak penyakitnya, flu babi misalnya. Resiko kematian babi lebih tinggi daripada sapi,” katanya.
Secara praktek, kondisi ini sejalan dengan yang disebutkan Sayu. Dengan pola beternak sapi dan pakannya sudah tersedia, sesungguhkan konsep permakultur itu sedang diterapkan. Sederhananya, KUPD sedang memanfaatkan apa yang menjadi kekayaan lahannya sehingga peluang berkelanjutan lebih tinggi. Kehadiran peran perempuan yang semakin solid melalui kelompok, dapat menjadi kekuatan perjuangan kesetaraan gender di tengah budaya patriarki. Saat yang sama, solidnya kelompok perempuan Sumberklampok tak hanya menjadi sumber kekuatan untuk perjuangan agraria, tapi menjadi simbol adaptasi menghadapi perubahan iklim.
(Liputan ini merupakan fellowship Perempuan, Bisnis Berkelanjutan dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan ASPPUK, AJI Indonesia dan Konde.co)