Semiasih, salah satu warga di kawasan Ampupu Kamp, dekat Danau Batur. Semiasih dan warga lainnya tengah berjuang mendapatkan hak atas tanah yang mereka tempati.
Leluhurnya telah tinggal sejak tahun 1930-an. Tahun 1926, Gunung Batur mengalami letusan dahsyat. Leluhurnya mengungsi dan menetap di kawasan yang kini akan dibangun Taman Wisata Alam (TWA) itu.
Kala Semiasih menetap, pihak Pemprov Bali sempat datang. Itu saat Mangku Pastika menjabat sebagai Gubernur Bali. Semiasih masih ingat betul, mereka diizinkan bermukim. “Dikasih membangun tapi jangan permanen, boleh menanam tapi tidak boleh merusak,” ujar Semiasih pada Jumat (14/06).
Warga sudah tepat janji, tidak ada bangunan permanen. Hanya bangunan semi permanen beratapkan asbes. Warga bertahan hidup dengan menanam bawang dan beberapa tanaman lainnya.
Saat pihak proyek TWA menggusur warga, lahan Semiasih jadi sasaran. Pipa air untuk mengalirkan air ke kebun bawangnya hancur karena terkena buldoser. Semiasih merugi, modal bibit senilai 10 juta kini hanya menyisakan utang.
Kesal, Ia marah. Kemarahannya justru jadi celah menjebloskannya ke penjara. Kemarahan seorang ibu dan petani ini dianggap tindak pidana pengancaman. Sebagai pendamping, LBH Bali berupaya membebaskan Semiasih dari jerat hukum. Lega, Semiasih bebas. Laporan itu tidak ditindaklanjuti.
Sebanyak 5 orang warga lokasi konflik kemudian berkesempatan ke Kantor Komnas Perempuan di Jakarta. Mereka belajar dan menyuarakan masalah yang dialami.
Komnas Perempuan membalas kunjungan warga dengan hadir untuk memberikan penguatan kepada warga secara langsung pada Jumat (14/06). Dewi Kanti dari Gugus Kerja Perempuan dalam Kebhinnekaan mengungkapkan konflik tata ruang yang dialami warga, berdampak pada kelangsungan hidup warga khususnya perempuan.
“Dampak sosialnya juga perempuan rentan menjadi pengambil alih peredam konflik,” ujar Dewi di Posko Warga Batur. Akibatnya perempuan dalam garda terdepan situasi konflik merentankan situasi anak-anaknya juga.
Kerentanan berlapis yang dialami perempuan saat konflik membutuhkan dukungan keluarganya. Namun, konflik juga datang dari sesama keluarga dekat. Alasannya karena tidak memiliki misi yang sama, entah pro atau kontra terhadap proyek.
Menurut Dewi, negara yang semestinya hadir sebagai mediator yang adil dalam konflik agraria justru belum maksimal. Sejak tahun 2020 hingga sekarang, konflik agraria dan tata ruang terus terjadi. Salah satunya diakibatkan adanya proyek strategis nasional yang kian masif di tiap daerah.
Permasalahan lainnya di Batur adalah anak muda tidak terlibat dalam memperjuangkan hak atas tanah. Bagi Dewi itu persoalan yang cukup serius. “Mereka yang tidak ambil peran atas masa depan adalah tantangan dan warning,” ucap Dewi. Fenomena tersebut diistilahkan dengan gegar budaya. Anak muda sudah tidak memiliki kepekaan dan kepedulian sosial terhadap persoalan serius.
Dewi menambahkan, memadukan upaya litigasi dan non litigasi bagi Dewi adalah hal penting. Membandingkan keberlanjutan sektor antara pertanian dan pariwisata dapat menjadi analisa awal. Warisan dari pertanian masih menyisakan mata air untuk generasi selanjutnya.
“Hasil pertanian tidak drastis dibanding pariwisata, tetapi pertanian itu berkelanjutan dan masih mewariskan mata air yang lestari, bukan mewariskan air mata masalah,” tutur Dewi.
situs mahjong