Bila berwisata di Pulau Bali, terutama berkunjung di kawasan Ubud dan menyeruput segelas air teh berwarna biru keunguan, atau warna air teh kuning kehijauan, boleh jadi itu adalah teh herbal produksi Made Tea, milik Ni Made Roni.
Akrab disapa Roni, perempuan domisili di Desa Peliatan, Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali ini, meramu teh herbal berbahan baku Sereh, Bunga Telang, Pandan, Jahe, Ramuan Pegagan, Daun Mint dan Marigold, Black Tea, Cardamon, Cengkeh, Chinamon, dan tanaman lainnya.
Tak mudah baginya mendapatkan semua bahan baku “Made Tea”nya itu.
Melihat kondisi pandemi Covid 19 melanda Bali di medio tahun 2020, Roni lantas tergerak mengajak para perempuan dari komunitas adat di Bali yang terkena pemutusan kerja akibat pandemi untuk bercocok tanam semua bahan baku yang dibutuhkannya.
Dimulai dari pemanfaatan halaman depan sampai halaman belakang rumah. Tanpa menambah lahan baru.
Belajar Teh Herbal dari Irlandia
Bermula dari tawaran kerja ke luar negeri di Dublin, Irlandia tahun 2001 atas program pertukaran karyawan dari sebuah hotel di Bali, tempat awalnya bekerja, Roni mulai belajar membuat teh herbal secara otodidak.
Dari membaca buku ramuan hingga berkunjung ke tempat-tempat pembuat teh disana.
“Awal mula, saya memperhatikan orang-orang di Irlandia gemar sekali menyeruput black tea campur susu segar. Bahkan seseorang bisa meminumnya lima kali dalam sehari,”jelas Roni.
Terbesit dibenak Roni untuk meramu teh herbal berbahan baku Black Tea, Cardamon, Cengkeh dan Chinnamon. Setelah itu, 15 tahun kemudian, Roni balik ke Indonesia dan lanjut ke Bali.
Setiba di kampung halamannya, dia menyoba meramu teh herbal tadi dan menawarkan penjualan produknya itu ke salah satu toko retail organik Bali Buda.
”Tahun 2015, Ramuan teh herbal saya tawarkan ke sebuah toko organik Bali Buda, mereka malah pre order. Padahal belum punya izin PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga) saat itu,”senyum bahagia Roni.
Produksi Made Tea
Berhasil memasok teh herbal buatan awalnya ke toko organik populer di Bali itu, Roni pun mencari pasokan bahan baku. Ia ingin bahan bakunya dari warga sekitar kebun dan tempat produksinya.
“Saya hanya berusaha mencari bahan baku dari para petani di Bali atau bahkan dari luar Bali,”jelas Roni.
Tak cukup satu ramuan teh herbal saja yang diproduksi Roni.
Teh herbal “Calming Blue” yang warna air tehnya biru keunguan, hasil ramuan berbahan baku Sereh, Bunga Telang, Pandan dan Jahe, ternyata mendapatkan penjualan terlaris atau best seller di Bali, ketimbang teh herbal buatan awalnya.
Merk dagang “Made Tea” pun tercipta di tahun 2017. Sebab sudah siap ekspor ke mancanegara.
“Saya bisa mengekspor teh herbal Calming Blue ini ke Negara Slovekia dan dalam proses ke Amerika Serikat,”jelas Roni.
Bahkan lahir pula dari tangan Roni, ramuan “Brain Booster” dari pegagan, daun mint, marigold. Teh ini berwarna air kuning kehijuan. Ia bersyukur bisa men dapatkan omzet 3 Miliar Rupiah.
Model kerja sama dengan komunitas sekaligus memberdayakan perempuan ini lahir dari energi Made Roni yang tak kenal menyerah. Ia merintis Made Tea nyaris seorang diri, mulai dari buruh pariwisata.
Roni muda adalah pekerja cuci piring di sebuah rumah makan, pernah jadi resepsionis hotel, juga pelayan di sebuah restoran. Ia mencoba berbagai jenis pekerjaan untuk menambah pengalaman. Sampai akhirnya ia menerima tawaran bekerja di luar negeri, di Dublin, Irlandia pada 2001. Dalam program petukaran karyawan ini, motivasiya adalah mengasah bahasa Inggris dan menambah jam terbang di dunia hospitality. Ia mengawali sebagai house keeping, spa attendance, sampai membersihkan kolam renang.
Setelah punya cukup tabungan, ia kuliah sambil kerja mengambil jurusan bisnis dan keuangan di Dublin sekitar 2007. Ia juga menambah jam kerja dengan menjadi bookeeping di sebuah perusahaan komunikasi pada siang hari kemudian lanjut bekerja di hotel pada malam harinya.
Pada 2015 ia jalan-jalan ke India menghadiri teman yang menikah. Di sana ia menyempatkan belajar pengobatan Ayurveda. Pada suatu kali ia masuk ke sebuah kuil di New Delhi dan merefleksikan jalan hidupnya. Ia berdoa dan mengeluarkan unek-uneknya mengenai kesulitan hidup selama ini. “Saat itu saya sudah ada rencana membuat teh, saya menguatkan diri,” katanya. Dari sinilah Made Tea lahir.
Pemberdayaan Perempuan dan Melestarikan Lingkungan
Sekitar 80 persen pekerja di pabrik “Made Tea” adalah perempuan. 12 orang perempuan dan 3 orang lelaki.
Tidak ada persyaratan khusus untuk para pekerjanya ini. Bahkan waktu bekerjanya pun fleksibel.
Para pemasok bahan baku adalah perempuan komunitas adat yang telah diajak sejak pandemi Covid 19. Saat itu banyak yang diberhentikan sementara atau usahanya menurun karena bisnis pariwisata Bali anjlok.
Sementara staf pegawainya di tempat poduksi ada yang berlatar belakang sebagai perempuan kepala keluarga dan penyintas kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut ibu Punduh, salah seorang perempuan petani, pemasok tanaman herbal ke ‘Made Tea’ kerja sama ini tak hanya meningkatkan pendapatan mereka, juga mebantu perekonomian keluarga ketika pandemi, bahkan menghijaukan rumahnya.
Halaman belakang rumahnya yang sebelumnya tidak terawat, kini menghijau dengan hamparan tanaman kumis kucing. Bahkan ia bisa mmebuat bibit sendiri dari menanam kembali batang tanaman.
Made Roni membekali para perempuan desa yang ikut kerja sama di Desa Peliatan ini dengan teknik membuat bibit sendiri dan cara memanen yang benar. Misalnya saat panen, harus dijual secar akolektif dan daunnya dalam keadaan segar. Konsistensi produksi bahan baku ini menurut Roni menjadi tantangan bekerja bersama perempuan adat.
“Saya menyadari sebagai perempuan Bali yang bekerja itu berat karena ada kewajiban adat. Tidak semua perusahaan bisa fleksibel. Kalau saya fleksibel, bahkan ada yang minta potong gaji karena banyak libur,” tutur Roni. Ia mengaku kerap memberikan izin jika sedang ada keperluan untuk upacara adat. Tak hanya waktu kerja fleksibel, ia juga tidak mensyaratkan pendidikan khusus saat merekrut pekerja, syaratnya hanya perilaku dan kemauan belajar. Tamat SD pun diterima, termasuk korban kekerasan rumah tangga, Perempuan kepala keluarga, dan kekerasan lainnya.
Terkait kesibukan upacara agama dan adat, ia merasa inilah salah satu penghambat kerja sama dengan perempuan di komunitas adat. Ketika memerlukan permintaan tinggi bahan baku tanaman herbal, tapi mereka sedang sibuk melaksanakan upacara agama sampai berminggu-minggu, maka sulit dipenuhi. Konsistensi volume dan kualitas yang menurutnya kadang bermasalah. “Kalau ada lomba baru semangat,” lanjutnya.
Made Roni mengaku tak menyerah, ia meluaskan kerja sama ke desa lain selain Peliatan, yakni Desa Pejeng. Tak jauh dari lokasi kebunnya.
Made Tea dan Perubahan Iklim
Made Tea tak hanya merk, juga nilai-nilai pemberdayaan, pelestarian lingkungan, dan pengalaman (experince). Secara kualitas ia juga bertaruh karena segala jenis standarisasi produk dan kesehatan dipenuhi dengan berbagai izin. Selain itu ada pemeriksaan sampel rutin di laboratorium untuk mengecek kontaminasi pestisida dan jamur. Dua hal penting yang harus steril dari ramuannya.
Untuk memastikan pasokan bahan baku berkualitas, ia menggunakan sistem ketelusuran produk (traceability) sehingga diketahui kapan dipanen dan siapa petaninya. “Tidak ada kasus khusus hanya kadang harga dinaikkan sepihak oleh pemasok,” keluh Roni.
Praktik pertanian berkelanjutan ditunjukkan di kebunnya yang juga jadi tempat produksi di Desa Peliatan, Ubud. Ia berkebun dengan desain permakultur, berusaha tidak tergantung pada input pertanian sintetik dan menghasilkan bibit sendiri.
Berbagai tanaman ini juga bisa dilihat di kebun milik Made Tea yang satu kawasan dengan tempat produksi dan cafe mungil. Pengunjung bisa memesan paket workshop, menikmati jamuan makan dan minum sambil belajar tanaman herbal di paket garden tour seharga Rp 400-an ribu per orang, atau paket afternoon tea sekitar Rp 200 ribuan per orang. Tak hanya berbagai jenis tanaman, juga ada model kebun permakultur terintegrasi antara ternak ayam, pengolahan kompos, dan limbah.
Jika beruntung, dalam momen tertentu Made Tea juga mempersilakan melihat pabrik yang dirancang dengan standar sanitasi khusus, karena itu tidak untuk publik. Dibagi menjadi berbagai area seperti penerimaan bahan baku, area oven, pengemasan, ruang sortasi dan pemajangan. Ada juga ruang pengembangan, distribusi, dan bahan baku.
Made Roni berharap model usahanya bisa menjangau lebih banyak komunitas terutama perempuan ibu rumah tangga atau petani. Ia ingin memastikan warga sekitar bisa memasok bahan baku sepenuhnya sehingga mendorong ekosistem lingkungan lebih baik.
Seperti dampak kecil di Desa Peliatan, dengan menanam atau menghidupkan sepetak lahan, lingkungan bisa lebih hijau, telanjakan (halaman depan rumah) bisa hijau dengan tanaman obat, bahkan mendukung pelestarian sungai. Seiring menggeliatnya industri pariwisata, warga memang tidak lagi fokus menanam untuk menambah penghasilan. Setidaknya menanam untuk konsumsi diri sendiri.
Pengurus PKK Banjar Teges Kanginan Luh Buliasih dan Desa Parwati saat dikunjungi pada 9 Mei 2024 menunjukkan hamparan polybag berisi kumis kucing yang berhasil dibudidayakan. Bibit ini diberikan gratis ke warga yang ingin menanam. Keduanya mengakui ada penurunan minat menanam dan menjual hasil budidaya pasca pandemi karena warga sudah kembali bekerja di sektor pariwisata.
“Saya kan sudah kerja lagi sebagai terapi spa, sekarang menanam sebagai hobi,” lanjut Buliasih. Ia menanam berbagai tanaman obat seperti jahe, pegagan, dan lainnya.
Selain sudah kembali bekerja ke sektor pariwisata, menurut Buliasih, Made Tea sudah kelebihan pasokan. Ia bertanya apakah ada usaha herbal lain yang memerlukan tanaman herbal, ia dan kelompok PKK berniat mencari celah pasar lain.
Kerja sama dengan PKK dalam menanam bahan baku tanaman obat ini juga seiring dengan misi penghijauan desa dan program 1000 biopori. Bahkan tim PKK membuat kebun tanaman herbal khusus dengan ciri khas masing-masing banjar.
Sebuah sudut taman kini nampak terawat di tepi sungai yang membelah Desa Peliatan. Namanya Puspa Aman. Awalnya kawasan ini kumuh sebagai tempat penimbunan sampah. Kemudian disulap jadi taman dengan aneka tanaman herbal beserta lokasi pembibitan. Tiap banjar rmemiliki brand tanaman obat sendiri di Taman Aman ini.
Banjar Teges dengan kumis kucing, Banjar Teges Kawan menamam serai, Banjar Ambengan tanaman mint, dan Banjar Teruna budidaya tanaman pegagan. Berikutnya, Banjar Pande menanam lidah buaya, Banjar Tebesaya merawat sambiloto, Banjar Kalah dengan jahe merah, dan Banjar Tengah menanam tulsi. Namun, tidak semua banjar aktif membudidayakan hingga kini. Hanya dua banjar yang diakui masih mempertahankan ide ini misalnya Banjar Teges Kanginan dengan tanaman kumis kucing dan Banjar Teges Kawan dengan tanaman sereh.
Dari kunjungan ke kedua banjar, Banjar Teges Kanginan terlihat masih banyak membudidayakan di halaman rumah atau halaman ruang publik seperti banjar. Sementara di Teges Kawan, serai sudah tidak dijual tapi ditanam untuk dikonsumsi sendiri. “Sudah banyak yang tidak aktif,” sebut Tirtawati, salah seorang ibu di depan rumahnya. Di sekitarnya tanaman serai masih menghiasi halaman depan sejumlah rumah.
Lahirnya taman Puspa Aman di samping sungai dan penghijauan teba juga berdampak pada menguatnya tradisi unik desa yang makin menghilang karena tak lagi dilakukan, yakni mangayud-ayudan. Tradisi ini, terkait pemanfaatan sungai dalam tradisi pernikahan. Ia bermakna membuang bala, karena sebelum pasangan menikah mereka ke sungai desa untuk mandi. Si laki-laki akan menghanyutkan baju dan selendang, lalu diambil calon istri. Tradisi ini diakui makin hilang karena kondisi sungai kotor dan jorok. Akses ke sungai juga makin susah.
I Gusti Ayu Komang Sri Mahayuni, pegiat bisnis berkelanjutan Organic Farm Market dan pemulia bibit lokal melalui komunitas Bibit Pusaka menilai apa yang dilakukan Made Tea adalah perwujudan usaha yang ekologis. Dalam filosofi permakultur, bentuk usaha ini menurutnya sudah mencerminkan zona 1, 2, dan 3 di mana terjadi hubungan yang selaras dengan alam, manusia, dan komunitas/desa.
Zona 1 adalah memahami dan menanamkan prinsip-prinsip permakultur atau etika pada dirinya sendiri, tingkat rumah, atau tempat kerja. Zona 2 adalah penerapannya pada skala komunitas atau desa dalam konteks ini penyedia bahan baku, dan zona 3 adalah level produsen dalam penerapan bisnis yang berkelanjutan dan beretika. Berikutnya pada zona 4 adalah tanggung jawab pada masyarakat lebih luas atau desa, dan zona 5 memastikan atau merawat area konservasi/perlindungan.
Salah satu tanggung jawab yang hendak dijawab permakultur adalah perubahan iklim. Bagaimana sebuah usaha mampu menjadi solusi dari masalah lingkungan saat ini ketika emisi makin meninggi dan cuaca makin tak bisa diprediksi.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil (PPH) Perkebunan Kementerian Pertanian Prayudi Syamsuri, menyatakan perkebunan teh berpotensial menyerap karbon. Indonesia melalui Nationally Determined Contribution (NDC) berkomitmen untuk mengurangi emisi di lima sektor prioritas, salah satunya di sektor pertanian.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menyebutkan teh sebagai komoditas yang cocok untuk bertransformasi menuju produksi rendah karbon.
Berkat pengembangan teh herbal inilah, kegiatan bisnis Roni berbuah berkah.
Nominasi penghargaan IB-ASEAN diraih Ni Made Roni atas dedikasi dunia usahanya yang dinilai inovatif, berdampak sosial dan berkelanjutan. Bahkan, produk “Made Tea” turut meraih “Singapore Taste Awards” tahun 2019 dan AVPA Paris “Teh Dunia Internasional” ke-3 tahun 2020 serta finalis “Indonesian Food Innovation” dari Kementerian Perindustrian ditahun yang sama.
Sejumlah penghargaan diatas membuktikan bahwa langkah kecil yang dilakukan Ni Made Roni adalah sebuah ‘aksi local yang berdampak global’ karena mampu berkontribusi bagi tantangan global dalam mengatasi perubahan iklim. Upaya-upaya yang dilakukan Roni dalam pemberdayaan perempuan dan bisnis berkelanjutan perlu mendapat dukungan dari pemerintah, dunia usaha, asosiasi bisnis, lembaga keuangan yang berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, yang lebih berkeadilan bagi semua.
Dukungan pemerintah yang membantu pengembangan bisnisnya menurut Made Roni di antaranya mentoring, pameran produk, bussiness matching, dan networking. Ada juga dukungan dari organisasi luar dalam bentuk undangan pembicara atau penghargaan. Inilah yang makin membuatnya bersemangat walau makin banyak kompetitor dengan produk sejenis.
(Liputan ini merupakan fellowship Perempuan, Bisnis Berkelanjutan dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan ASPPUK, AJI Indonesia dan Konde.co)