Bagi yang pernah berkunjung ke Ubud pasti sudah tidak asing lagi dengan segala keunikannya. Nama Ubud sendiri yang berasal dari kata ‘Ubad” yang berarti obat. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dari zaman dahulu Ubud sudah menjadi tempat ‘healing’ yang menenangkan. Namun, dewasa ini bisa dilihat bahwa Ubud yang awalnya hanya desa biasa menjadi salah satu tempat destinasi utama yang harus dikunjungi saat ke Bali.
Jalan desa yang mempunyai lebar tidak seberapa itu akhirnya tidak mampu mengakomodir padatnya deras arus pariwisata dengan berbagai kendaraan yang berkunjung ke Ubud. Perkembangan pariwisata Ubud yang lambat laun semakin membawa Ubud entah ke arah yang lebih baik atau malah membuat pening, bukannya healing, mengobati.
Melihat bagaimana pariwisata sebagai tumpuan perekonomian warga Bali tidak terkecuali Ubud yang selalu ‘Sexy” untuk dikunjungi dengan segala penawaran ‘ketenangan alam’, kuliner ramah vegan, wellness club yang bertebaran. Tidak menampik kemungkinan perlu adanya solusi jangka panjang dan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil lainnya, sehingga kebijakan yang diambil oleh pemerintah bersifat bottom up dan bukan top down. Aspirasi dari masyarakat melalui jejak pendapat yang bisa diwadahi oleh pemerintah setempat. Sehingga banjar dalam acara/kegiatan sangkep/paruman. Masyarakat Bali yang biasanya dianggap ‘koh ngomong’ atau malas bicara karena mempunyai jawaban andalan nak mule keto dengan segala fenomena sosial yang ada.
“Penghuni asli” merasa gusar berada di rumahnya sendiri, karena setiap hari menyaksikan kepadatan lalu lintas yang semakin menggelora. Jalan kecil atau gang pun akhirnya menjadi alternatif yang dipilih. Tak jarang menimbulkan kegusaran warga yang memiliki rumah di dalam gang. Beberapa solusi yang sudah terlihat dilakukan oleh pemerintah selama ini untuk menangani kesemrawutan lalu lintas Ubud dan sekitarnya, yaitu dengan membuat sentral parkir bagi mobil-mobil yang membawa para wisatawan, lalu badan jalan di seputaran Lapangan Ubud yang sebelumnya difungsikan sebagai parkir bagi pengunjung dan pegawai outlet atau restoran dipindahkan ke lapangan Ubud. Lalu pertanyaan muncul, apakah hal tersebut sudah mampu mengurangi kesemrawutan lalu lintas Ubud untuk solusi jangka panjang? Lapangan olahraga untuk kesehatan warga pun berubah fungsi menampung sumber polusi.
Menormalisasi segala masalah atau kemacetan dianggap baik, turis rame, tidak perlu dibesar-besarkan. Jika hal tersebut selalu dilakukan oleh masyarakat, upaya kolaborasi tersebut akan menjadi ajang ‘suryak siu” semata tanpa mengubah apapun dan mengglorifikan pariwisata sebagai wajah Bali.
Terima kasih banyak BaleBengong sudah memuat tulisan saya yg masih banyak kurangnya ini dengan memberikan editan yg membuat tulisan saya lebih ciamik hehehe. Semoga kedepannya BaleBengong memberikan tetap memberikan wadah bagi kalangan akar rumput untuk menyuarakan uneg-uneg mereka. Terima kasih