Hasil Pilkada Bali 2024 telah ditetapkan melalui Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Bali Nomor 178 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali. Dalam SK tersebut tercatat bahwa paslon nomor urut 2 Koster – Giri unggul dengan 1.413.604 suara, sedangkan Mulia – PAS memperoleh 886.251 suara.
Perolehan tersebut menandakan bahwa Koster – Giri akan menduduki jabatan sebagai gubernur dan wakil gubernur Bali periode 2025 – 2030. Dalam paparan program dan visi misi di debat perdana, Koster mengungkapkan bahwa ia akan membangun beberapa ruas jalan baru di Bali. BaleBengong mencoba merangkum jumlah ruas jalan baru dan lokasi pembangunannya dari akun Instagram tim sukses Koster – Giri. Setidaknya kami menemukan rencana pembangunan 10 jalan baru.
Urgensi pembangunan ruas jalan baru
Jalan baru tidak hanya dibangun di kawasan Bali Selatan, tetapi juga di beberapa kawasan lain, mulai dari Karangasem, Buleleng, Tabanan, hingga Klungkung. Pembangunan jalan baru ini termasuk program Koster – Giri dalam menciptakan jalan lingkar Bali untuk mobilisasi masyarakat.
Gede Kamajaya, Sosiolog Universitas Udayana menyebutkan infrastruktur jalan di Bali memiliki urgensi di beberapa titik. “Untuk mobilisasi barang dan jasa, sehingga bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi atau di beberapa titik untuk mengurangi kemacetan parah,” ungkap Kamajaya ketika dihubungi melalui pesan WhatsApp pada 10 Desember 2024.
Pembangunan ruas jalan baru artinya memangkas sejumlah lahan yang melewati jalan tersebut, termasuk lahan warga. Konflik pemerintah dengan warga terdampak sempat terjadi dalam proyek strategis nasional Jalan Tol Gilimanuk – Mengwi. Dilansir dari DetikBali, pada Januari 2024 lalu, masyarakat terdampak mendesak Presiden Jokowi untuk segera memutuskan pembayaran uang pengganti atas lahan warga yang terdampak. Terlebih lagi proyek tersebut sudah mangkrak berbulan-bulan.
Hal ini juga diungkapkan oleh I Nyoman Gede Mahaputra atau yang kerap disapa Mang De, akademisi Universitas Warmadewa. Pembukaan lahan baru sering dilihat sebagai peluang hadirnya aktivitas ekonomi yang membawa kesejahteraan baru. “Banyak masyarakat yang menunggu itu juga, kapan ya kampung saya dilewatin turis, tanpa mereka pernah tahu ada bahaya itu,” ujar Mang De ketika diwawancarai melalui Zoom pada 11 Desember 2024.
Maka dari itu, pembangunan jalan baru ini tentu harus dibarengi dengan pemetaan persoalan, misalnya melakukan rekayasa lalu lintas yang tepat jika tujuannya adalah mengurangi kemacetan. “Juga harus dilakukan AMDAL, pembangunan berkelanjutan dan keadilan bagi warga terdampak,” imbuh Kamajaya.
Ilusi pemerataan
Sudah sejak lama pemerintah berkoar-koar ingin melakukan pemerataan di Bali. Dalam situs berita Antara, Sandiaga Uno menyebutkan bahwa Bali perlu pemerataan pariwisata. Ia mendorong Bali Barat dan Bali Utara menjadi opsi utama, termasuk daerah yang kurang didengar, seperti Karangasem, Klungkung, Tabanan, dan Bangli.
Konsep pemerataan sebenarnya hanya ilusi. Bali Selatan tidak semata-mata akan longgar ketika pariwisata menggandrungi Bali Barat atau Bali Utara. “Yang akan terjadi semua wilayah akan padat. Yang selatan akan tetap seperti ini, tetapi yang barat akan padat, yang utara padat, yang timur padat, semua akan padat,” ungkap Mang De.
Hal ini disebabkan karena pengusaha atau investor di selatan akan tetap memasarkan properti miliknya. Begitu pula dengan pengusaha atau investor di timur, utara, dan barat akan melakukan hal yang sama. Akibatnya bukan lagi pemerataan ekonomi, tetapi pemerataan overtourism.
Kajian tata ruang perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya hal ini, ditambah lagi Bali kini menjadi incaran investor di seluruh dunia. “Ada mungkin ratusan agen properti yang sekarang sangat aktif menjual tanah Bali. Dengan adanya jalan-jalan ini mereka akan semakin aktif lagi untuk melakukan marketing atas lahan-lahan karena mereka mendapat keuntungan dari jalan-jalan baru,” jelas Mang De.
Akankah macet berkurang?
Tujuan utama pembukaan ruas jalan baru adalah mengurangi kemacetan yang tak kunjung usai di Bali. Titik-titik kemacetan menjadi sasarannya, seperti Jl. Ahmad Yani, Jimbaran, Simpang Tohpati, Canggu, Simpang Akasia, Jl. Sunset Road, Pelabuhan Sanur, hingga Jalan Pura Ulun Danu Batur – Pura Besakih.
Pembangunan jalan ini tidak dibarengi dengan pengembangan transportasi publik yang terintegrasi. Memang saat ini pemerintah tengah menjalankan pembangunan MRT yang kabarnya menghubungkan titik-titik padat wisatawan di Bali. Namun, pasar dari MRT sendiri adalah wisatawan, mengingat mobilitas masyarakat Bali terletak di titik-titik kecil, seperti Pura, banjar, pasar, atau rumah tetangga.
“Ini menunjukkan kegagalan kita dalam menata ruang. Kita membiarkan semuanya berjalan dalam mekanisme pasar. Jadi intervensi pemerintah terhadap penataan ruang sangat minim, misalnya ruang mana yang harus dikembangkan dan ruang mana yang harus dikonversi,” ungkap Mang De. Ia menambahkan, apabila hal tersebut ada, maka masyarakat dapat menjalin konektivitas dengan transportasi publik yang lebih baik.
Mengatasi kemacetan dengan membangun jalan baru menunjukkan kegagalan dalam membangun sistem transportasi publik yang baik. Menambah jumlah jalan dengan mengkonversi banyak lahan artinya mengizinkan lebih banyak kendaraan masuk ke ruang hidup masyarakat. Akhirnya, pejalan kaki pun semakin tersisihkan, tidak lagi mendapat tempat karena ruang kendaraan bermotor lebih diperhatikan.