Oleh: Justia
“Asal kamu dari mana?”
Ketika menjawab bahwa saya adalah orang Bali, ekspresi yang serius hadir di awal dari si penanya adalah rasa terkagum-kagum.
Namun, percakapan ini tentunya tidak selesai sampai di sana. Seringkali rasa kagum yang diutarakan terhadap pulau dewata atau berujung pada sebuah kritisasi kecil atau semacam kekecewaan atas bagaimana wajah Bali sekarang.
Perubahan karakteristik sebagian orang Bali yang menurut mereka, wisatawan menjadi materialistis, mengubah sifat keterbukaan dan keramahtamahan. Kemacetan di Bali sebagai dampak buruk infrastruktur yang dibangun serta kekecewaan terhadap perkembangan pesat pembangunan di kawasan-kawasan pariwisata menjadi highlight bagaimana mereka, wisatawan sebagai wajah Bali sekarang.
Pembangunan yang sifatnya progresif pasca pandemi menjadi satu konsiderasi tidak hanya bagi warga Bali, namun bagi para wisatawan yang sudah beberapa kali mengunjungi Bali. Ketidakpekaan pemerintah terhadap perencanaan tata ruang yang baik, ambisi pemilik tanah di kawasan pariwisata yang menciptakan stigma betapa materialistisnya masyarakat Bali saat ini serta ketidaksiapan infrastruktur yang dapat mengakomodasikan pertumbuhan pembangunan yang progresif ini.
Lain lagi dengan Putri yang datang ke Bali awalnya sebagai wisatawan lokal yang menikmati Bali sebelumnya dengan kacamata wisatawan. Mengungsi lokasi-lokasi dengan bangunan gaya Bali dan pantai-pantai yang bersih dan mengakomodasi keperluan wisata tersebut.
Untuknya, dengan tinggal di Bali, membuatnya sadar bahwa dengan kacamata yang dipakai sebelumnya menjadikannya berpandangan pesimis terutama bagaimana berita-berita yang muncul terhadap tidak bersinerginya pembangunan dengan pelestarian lingkungan menjadikannya tersadar, bahwa apa yang dinikmatinya sebagai wisatawan datang dengan biaya yang tinggi terhadap kelestarian lingkungan.
Melihat hal tersebut, saya mewawancarai dua warga, di mana satu warga merupakan seorang mahasiswi yang berasal dari Bali dan satu warga yang merupakan seorang pekerja lepasan yang telah tinggal di Bali selama lebih dari dua tahun.
Lily, yang merupakan seorang mahasiswa Bali merasa pesimis terhadap bagaimana wajah Bali di sepuluh dua puluh tahun mendatang. Berdirinya mall-mall besar di rasanya tidak memenuhi standar regulasi PUPR yang memiliki dampak infrastruktur terhadap kemacetan juga menjadikan Bali yang dulunya pulau budaya, merupakan modernisasi kapitalisme sebuah kota.
Pernyataan keduanya menjadikan saya bertanya, wajah Bali yang saya dahulu banggakan, apakah akan berubah menuju arah yang tidak baik?
Mengapa pernyataan dua warga daru profil yang berbeda mengaku pesimis atas tampak sosial pembangunan yang terasa ambisius tanpa adanya nahkoda yang baik dari pemerintah, baik pemerintah daerah sendiri maupun pengawasan pemerintah pusat.