Oleh: Kadek Agus Mahadipa dan I Wayan Sweca
Suka duka menjadi petani di tanah yang masih belum jelas legalitasnya. Secercah berita dari tanah tertinggal, Bukit Sari, Sumberklampok
Perjuangan Reforma Agraria dari komunitas Pengungsi Eks Transmigrasi Tim-Tim di Banjar Adat Bukit Sari, Desa Sumberklampok, Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng, Porinvi Bali, sejak tahun 2000 berlangsung sampai sekarang. Mereka masih terus memperjuangkan hak atas tanah mereka.
Salah satu tokoh pejuang Reforma Agraria yang konsisten dalam gerakan-gerakan perjuangan hak atas tanah di Bukit Sari. Ialah Nengah Kisid. Ia adalah seorang laki-laki paruh baya yang sudah berumur 57 tahun kelahiran Singaraja, 31-12-1963. Meskipun sudah berumur tetapi masih konsisten dan sangat berkomitmen dalam gerakan-gerakan Reforma Agraria di Banjar Adat Bukit Sari, Desa Sumberklampok.
Ia adalah pelaku sejarah atas terbentuknya gerakan dalam memperjuangkan hak-hak dari komunitas Pengungsi Eks. Transmigrasi Tim-Tim di Bukit Sari sejak tahun 2000 sampai sekarang yang sudah berumur 22 tahun. Ia selalu memberi semangat kepada semua warga agar dapat selalu bergerak pada jalur-jalur yang benar. Sehingga apa yang menjadi tujuan bersama dapat tercapai dengan tuntas. Terutama pada generasi muda yang ada di lingkungan Bukit Sari.
Nengah Kisid memiliki istri bernama Luh Sumantri dan 5 orang anak. Tiga di antaranya sudah memilih berkeluarga. Dua orang anak laki-lakinya ia tuntun untuk terus melanjutkan perjuangannya agar tidak terhenti pada dirinya. “Bapak mempunyai 5 orang anak, di antaranya 3 orang sudah berkeluarga dan 1 orang sudah pisah KK dan masih tinggal 1 anak lagi,” ujarnya.
Dalam keseharianya Nengah Kisid berkegiatan di lahan garapan yang sedang diperjuangkannya. Ia juga memelihara ternak. Nengah Kisid menggarap lahan seluas 50 are. “Luas garapan yang bapak garap saat ini yaitu setengah hektar atau 5000 meter persegi,” ucapnya.
Dengan komoditas utamanya adalah cabai, tapi saat ini sedang menanam Jagung dan Bunga Pacah Air. Sebab cuaca saat ini tidak cocok untuk menanam cabai.
Hasil pertanian dari lahan garapan Nengah Kisid dijual ke tengkulak yang langsung menghampiri ke rumahnya. Ia memilih menjual ke tengkulak langsung meski dengan harga dibawah harga di pasaran tapi ia tak perlu mengeluarkan biaya untuk berangkat ke pasar. “Kalau jualnya itu memang tengkulak sendiri yang ke rumah, kalaupun misalkan ada tanaman bunga dan jagung itu memanng mereka datang untuk menawar hasil tani kami. Meski kadang-kadang ada selisih harga, tapi tidak terlalu tinggi, karena kalau bawa ke pasar pertimbanganya juga biaya,” ujarnya
Sedangkan dari sektor peternakan, Nengah Kisid memaparkan bahwa dirinya saat ini berternak sapi dan babi. Dengan bantuan istrinya, ia untuk merawat babi-babi yang saat ini diternakan. “Jadi ternak yang bapak pelihara untuk saat ini ada ternak sapi, tapi saat ini masih ada 3 indukan, juga ada 2 anakan, jadi jumlahnya 5 ekor. Di samping itu istri juga memelihara 2 babi indukan, 1 dara dan 5 yang kecil,” lanjutnya.
Nengah Kisid menceritakan secara singkat bagaimana dia bisa sampai menggarap tanah garapannya saat ini. Ia mulai menggarap lahannya dari tahun 2000 sampai sekarang.
“Secara singkat memang pertama bapak diantar ke sini oleh pemerintah kabupaten dengan rekomendasi untuk menggarap lahan di sini. Mereka hanya nunjukin saja, untuk selanjutnya kita yang menggarap sendiri,” ujarnya.
Kisid menjelaskan beberapa halangan yang dihadapi saat melakukan gerakan dalam memperjuangkan hak atas tanahnya. Hambatan-hambatan perjuangan agar tanah ini menjadi hak atau legal itu. “Kita selalu dihadapkan dengan peraturan-peraturan dari pemerintah yang tidak memungkinkan bisa kita terima,” jelasnya.
Melihat dari sudut pandang lain, anak dari Nengah Kisid yang bernama Gede Puja memaparkan keseharianya. “Kalau pulang sekolah saya langsung membantu bapak untuk nyabit dan kegiatan lainya,” jawabnya. Dia juga memberi tanggapan tentang bapaknya yg berjuang hak atas tanah dengan sangat konsisten. “Kalau berjuang bapak kadang-kadang tidak ada di rumah, kalau bertani bapak pulanya itu pasti sore-sore sekali,” tambah Puja.
Istri dari Nengah Kisid yang bernama Luh Sumantri juga memaparkan keseharianya dalam membantu kerja-kerja Nengah Kisid di lahan garapan maupun di perternakanya. “Habis masak saya baru berangkat ke lahan garapan, memberi makan babi dan menanam sayur dan bunga,” ceritanya.
Ia mendukung suami tercinta agar tetap semangat dalam memperjuangkan hak-hak Petani di Bukit Sari. “Saya tidak mempermasalahkan itu, yang penting semangat, kerja semangat, berjuang semangat, harus berhasil,” ujar Luh Sumantri.