Petani membutuhkan advokasi, bukan sekadar mediasi.
Sejak beberapa minggu lalu, laman Facebook saya dihiasi gambar-gambar dari Banjar Selasih, Desa, Puhu, Kecamatan Payangan, Gianyar. Bukan gambar-gambar yang menyenangkan. Yang terlihat adalah gerombolan polisi menghadapi para pemrotes. Beberapa di antaranya perempuan hanya mengenakan beha. Buldoser dan alat-alat berat berat merangsek masuk wilayah Selasih. Aparat keamanan mengawalnya.
Ternyata protes tersebut berkaitan dengan pembersihan lahan oleh PT Ubud Duta Resort Development (UDRD). Perusahan ini kabarnya telah menguasai 200 hektar tanah di banjar itu sejak tahun 1990an. Rencananya tanah sebesar itu akan diubah menjadi resor mewah dengan lapangan golf.
Yang mengejutkan untuk saya adalah reaksi masyarakat Bali terhadap penggusuran tersebut. Sebagian masyarakat menentang. Sebagian juga membenarkan. Sebagian besar, tentu saja, diam.
Mereka yang menentang berpendapat bahwa masyarakat sudah mendiami tanah itu sejak lama. Tidak adil rasanya mengusir mereka begitu saja. Sementara mereka yang mendukung mengatakan bahwa PT UDRD adalah penguasa tanah yang sah. Investor ini memiliki sertifikat.
Mereka yang mendukung punya argumen lebih panjang. Daripada menjadi penyerobot tanah, demikian kata mereka, lebih baik membiarkan perusahan membangun resort dan lapangan golf. Penduduk desa bisa bekerja di sana. Pembangunan ini baik untuk pertumbuhan industri pariwisata di Bali.
Sebuah posting di Facebook yang beredar secara viral secara gamblang menuduh para petani sebagai pihak yang sudah menerima duit. Dia juga mengklaim bahwa tanah itu sudah dijual pihak Puri Payangan kepada investor.
Dengan gagah penulisnya membela investor. “Selama tanah belum dimanfaatkan oleh investor, masyarakat diijinkan untuk menanaminya, bahkan sdh 30 th diberi ijin dan investor tidak minta bagi hasil semua diambil warga hasilnya,” demikian tulisnya.
Posting semacam itu tidak sedikit. Sebagai orang yang cukup lama berada di media sosial, saya membaui ada semacam serangan terkoordinasi terhadap para petani yang memperjuangkan hak hidupnya. Apakah investor juga sudah memakai buzzer untuk membentuk opini masyarakat, sama seperti para politisi yang telah lebih dulu melakukannya? Saya tidak tahu.
Namun, itu soal lain.
Protes dan demonstrasi seperti di Selasih ini memang sedang marak di mana-mana. Pemerintah yang sekarang berkuasa sudah mencanangkan untuk menggenjot investasi. Kebijakan itu memberikan suntikan darah kepada para pemodal untuk kembali mengerjakan proyek-proyek yang dulu dianggap bermasalah. Dengan orientasi penanaman modal, para pengusaha merasa memperoleh beking dari penguasa. Tidak aneh bila polisi dan tentara juga dikerahkan untuk mengamankan investasi ini. Seperti yang kita lihat di Selasih dengan PT UDRD ini.
Untuk saya ada sesuatu yang khusus tentang Selasih. Entah mengapa ketika mendengar nama Selasih, ingatan saya samar-samar kembali kepada beragam masalah perampasan tanah untuk investasi pariwisata yang mencuat di Bali pada akhir 1980 hingga akhir 1990an. Dalam periode itu terjadi kasus-kasus besar perampasan tanah (land-grabbing) seperti di Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali Nirwana Resort (BNR), Pecatu Graha, reklamasi Pulau Serangan, reklamasi Padang Galak, dan lain-lain.
Kebetulah itu semua terjadi pada jaman Orde Baru. Secara khusus, kasus-kasus pertanahan ini marak terjadi ketika Bali diperintah oleh Gubernur Prof. dr. Ida Bagus Oka (1988-1998).
Akhirnya saya memutuskan untuk menelusuri kembali peristiwa Banjar Selasih ini. Saya bisa memastikan bahwa ini adalah salah satu kasus perampasan tanah oleh penguasa lokal yang bekerja sama dengan elite politik nasional. Kasus ini bukan barang baru. Ia sudah dimulai sejak tahun 1992.
Narasi Ketidakadilan
Ketika menelusuri kasus Selasih, saya menemukan paling tidak dua buku yang membahasnya. Pertama, buku “Penghancuran Hak Masyarakat Adat Atas Tanah.” terbitan Konsorsium Pembaruan Agrariai. Kedua, buku terbitan Penerbit Bali Post. Judulnya “Baliku Tersayang, Baliku Malang.”
Dalam setiap kasus perampasan tanah, selalu ada narasi (cerita). Orang boleh berargumen bahwa tanah-tanah tersebut adalah milik Puri (kerajaan-kerajaan kecil di Bali). Pihak Puri mensertifikatkan miliknya. Kemudian sertifikat itulah yang dijual kepada pihak investor. Perkara selesai karena upaya penerbitan sertifikat itu berarti secara legal-formal pihak negara – yang sekarang menjadi penguasa tunggal berdaulat bahkan atas Puri – mengakui kepemilikan tanah oleh Puri itu.
Upaya menerbitkan sertifikat itu menguburkan asal usul tanah. Para petani yang mengerjakan tanah itu secara turun temurun tidak dianggap sebagai pihak yang perlu diperhitungkan. Di Republik yang merdeka ini, para petani tersebut seharusnya adalah warga negara. Namun, kedudukan mereka di depan hukum masih sama seperti sebelum kemerdekaan. Mereka hanyalah orang-orang taklukan – lahir takluk pada satu kekuasaan dan tidak pernah bisa lepas dari takdir bahwa mereka hanya mahluk taklukan. Mereka tetap hidup dalam sistem feodal di Republik yang seharusnya mengakui mereka sebagai warga negara. Bukan manusia taklukan.
Itulah sebabnya, setiap argumen yang menyodorkan sertifikat sebagai barang bukti, sesungguhnya mengabadikan status para petani ini sebagai manusia taklukan. Oleh karena itu, dalam kasus-kasus perampasan tanah, sangat penting bagi kita melihat narasi-narasi bagaimana status tanah itu dan menyesuaikannya dengan status petani sebagai warga berdaulat atas tanah yang dikerjakannya sebagai sumber penghidupannya itu.
Sertifikasi yang melegalkan perampasan tanah adalah bentuk ketidakadilan. Sertifikasi itu hadir karena ketimpangan kekuasaan. Pihak petani, sebagai orang taklukan, jelas tidak akan pernah memiliki tanah yang dikerjakannya secara turun temurun dan sudah menghidupinya dari generasi ke generasi. Sertifikasi adalah sebuah bentuk ketidakadilan yang terlembaga secara kokoh dan anehnya didukung di Republik ini, sekalipun memiliki undang-undang agraria yang mengatur pembatasan kepemilikan tanah.
Selasih, dari Narasi Para Petani
Narasi tentang petani-petani Selasih adalah salah satu kasus dari banyak kasus yang dibahas dalam buku terbitan Komisi Pembaruan Agraria. Buku ini menelusuri kasus-kasus perampasan tanah yang menimpa beberapa masyarakat adat di Indonesia. Untuk kasus Bali, desa-desa adat yang dibahas adalah Tenganan Pegeringsingan, Pecatu, dan Selasih. Bagian Bali ditulis oleh Tim Peneliti KPA wilayah Bali. Para penelitinya mendokumentasikan sejarah sosial terjadinya setiap masyarakat adat, merangkai struktur sosialnya, penguasaan dan distribusi tanah (sumber-sumber agrarian), serta konflik agraria yang muncul.
Ada sedikit latar belakang konflik agraria di Desa Adat Selasih. Buku ini mengatakan bahwa pada tahun 1993 ada upaya melakukan pembebasan lahan seluas 200 Ha (65 persen dari luas Selasih) untuk pembangunan lapangan golf dan resor mewah. “Upaya pembebasan tersebut disertai serangkaian penekanan dan intimidasi yang menimbulkan berbagai keresahan. Aksi penolakan dilakukan dengan cara berdemonstrasi ke kantor camat Ubud pada tanggal 21 Juni 1993 karena mereka (petani, red.) menolak menjual tanah-tanah mereka,” demikian tulis Tim Peneliti buku ini.
Berbagai upaya dilakukan untuk mematahkan perlawanan para petani ini. Pihak-pihak yang berkepentingan agar proyek ini berjalan menempuh berbagai macam taktik. Misalnya menutup saluran air, memberikan bantuan sepeda motor, dan membentuk Yayasan Desa Selasih yang menyatakan setuju akan pembangunan resor dan lapangan golf tersebut. Persetujuan Yayasan itulah yang dijadikan dasar oleh Kepala Kanwil Departemen Pertanahan Kabupaten Gianyar untuk memberikan persetujuan lokasi pembangunan resort PT Ubud Resort Duta Development.
Narasi lebih lengkap diberikan oleh buku “Baliku Tersayang, Baliku Malang.” Sebuah tulisan berjudul “Proyek Golf, Nasib Petani dan Mengapa Sundria Menolak” diabdikan khusus untuk kasus Selasih. Tulisan tersebut adalah laporan jurnalistik Tim Wartawan Bali Post. Karenanya narasi dari para petani penggarap sempat terekam dengan baik.
Saya sengaja mengulang narasi yang ditulis Tim Wartawan Bali Post tersebut di sini untuk memberikan konteks terhadap perlawanan petani kecil di Selasih.
Tim wartawan Bali Post memulai liputannya dengan menggambarkan kecemasan di wajah petani-petani Selasih. Terutama petani penyakap (penggarap) yang tidak jelas nasibnya. Proyek lapangan golf dan resor dari PT URDD ini sudah mulai sejak 1992. Namun, baru pada saat laporan itu ditulis (1998) rencananya akan mulai dikerjakan lagi.
Diberikan juga sedikit cerita tentang bagaimana Selasih pada zaman dulu. Selasih adalah dusun yang kurang beruntung. Penduduk dililit kemiskinan. Mereka sering hanya makan nasi campur ketela, simbol kemiskinan saat itu. Itulah yang digambarkan oleh Wayan Comot, Pekaseh Subak Dusun Selasih. “Tapi itu dulu. Sebelum ada swadaya menaikkan air pada awal tahun 1970an,” katanya dikutip Bali Post.
Setelah air berhasil dinaikkan, masyarakat mulai bertanam padi yang hasilnya sangat baik, 4 ton per hektar. “Bapak lihat sendiri, apakah tanah kami subur atau tidak,” tanya Wayan Comot kepada wartawan Bali Post yang berkunjung kesana pada 29 Oktober 1997. Saat itu Selasih yang luasnya 300 ha itu memang tampak hijau. Apalagi dengan adanya Tukad Ayung (Sungai Ayung) di sisi sebelah timur Selasih.
PT URDD mulai membebaskan tanah sejak tahun 1992. Sekalipun Direktur PT URDD ketika itu, AA Bagus T. Boewana mengatakan bahwa mereka tidak menggunakan calo untuk membebasakan tanah, kenyataan di lapangan menunjukkan lain. Wartawan Bali Post mewawancarai seorang warga. “Tadinya kami tidak mau melepaskan tanah dan pekarangan kami. Tetapi karena digertak dan dijepit, sebab di sebelah-sebelah kami sudah dijual, terpaksa kami ikut menjual.” Warga ini tidak mau menyebutkan namanya karena takut.
Bali Post juga mencatat kejanggalan lain. Seperti dialami I Mekeh dan I Tambun, yang pengakuannya dimuat di koran Prima, Jumat 31 Oktober 1997. Kedua petani ini menyerahkan surat-surat tanahnya kepada investor. Mereka diberi uang muka Rp 15 juta dari harga Rp 300 juta. Mulanya mereka dijanjikan bahwa tanah mereka akan dihargai Rp 1,5 juta per are (100 m2). Namun, yang mereka terima hanya Rp 1,2 juta per are.
Intimidasi diriingi penyiksaan juga direkam oleh Tim Wartawan Bali Post ini. Mereka mengutip cerita I Lantur (orang Bali dulu biasa menggunakan hanya satu nama seperti ini) salah seorang pemilik tanah. Setelah melakukan transaksi penjualan tanahnya senilai Rp 500 juta, I Lantur malah disiksa oleh anggota militer atas suruhan dua calo tanah Mg dan Mn.
Mata I Lantur agak rabun akibat dipukuli benda tumpul serta dipukul dan ditendang. Tidak itu saja, I Lantur menjadi trauma didatangi orang tidak dikenal. Bahkan ketika ditemui Tim Wartawan Bali Post, dia minta didampingi kepala dusun yang datang dengan diiringi empat Hansip.
“Situasi ini menandakan betapa tercekamnya penduduk sehingga enggan buka mulut. Tidak hanya pemilik tanah yang memilih diam, warga Selasih yang ikut prihatin dengan nasib rekannya pun lebih banyak enggan bicara. Kalaupun berbicara dengan syarat namanya dirahasiakan, sepertinya takut nasibnya “dilanturkan” (diperlakukan seperti Lantur). Calo-calo tanah yang mengaku membantu PT UDRD dalam membebaskan tanah sering mengatasnamakan aparat keamanan sebagai beking,” demikian tulis Tim Wartawan Bali Post.
Sebagian tanah yang dibebaskan PT UDRD memang dengan cara membeli dari pemilik tanah. Namun, ada masalah ebih penting, yakni para petani penggarap (penyakap). Mereka bernasib paling nahas. Petani ini menggarap tanah yang secara administratif adalah “milik” puri.
Di sini persoalan menjadi rumit karena dasar kepemilikan tanah adalah hubungan adat-istiadat antara pihak puri dan parekan (mereka yang mengaku tunduk kepada kekuasaan puri). Pada awalnya, leluhur para petanilah yang membuka hutan. Karena hutan diklaim sebagai milik puri, maka para petani ini meminta izin kepada raja yang berkuasa di sana.
Tim Wartawan Bali Post mewawancarai Pan Sari (bukan nama sebenarnya) untuk mengetahui status tanahnya. Menurut Pan Sari, sebelum Belanda masuk ke Bali (awal abad ke-20), Kumpi atau kakek buyutnya membuka lahan alas (hutan) Sengkulun yang lokasinya berada di Munduk Tengah dan Munduk Sengkulun Kangin. Pembukaan hutan itu atas izin raja setempat di Puri Payangan. Para penyakap menyetor setengah dari hasil dari tanah tersebut kepada pihak puri.
Masalah kemudian muncul, siapakah pemilik tanah itu ketika hendak dibebaskan oleh PT UDRD? Apakah petani penggarap? Ataukah pihak keluarga puri?
Seorang warga penyakap diwawancarai Tim Wartawan Bali Post ketika itu mengatakan, “Selain bagi hasil, keluarga tiang (saya) pernah memberikan uang beberapa ribu ringgit ke puri untuk tanah ini. Tetapi soal sertifikat, tiang tidak ada,” kata seorang petani penggarap.
Ini adalah penyakit akut agraria di Indonesia. Penguasa-penguasa tradisional dulunya berkuasa mutlak atas tanah karena mereka mendudukkan dirinya sebagai negara. Namun, ketika zaman berubah dan kedaulatan ada di tangan rakyat, seringkali kekuasaan mereka terhadap tanah itu tetap. Mereka bebas menguasai seluruh tanah. Sementara para petani yang susah payah membuka hutan, menggarap dan memelihara lahan, tidak memiliki hak atasnya.
Ketika tanah itu dibebaskan, pihak puri ternyata sudah mensertifikatkan tanah itu. Petani penggarap yang sebagian besar buta huruf itu tidak pernah diajak bicara. Bahkan mendapatkan informasi tentang pensertifikatan pun tidak. “Yang tiang tahu, pernah tiang diminta ke puri untuk tanda tangan dan dapat uang Rp 3 juta. Katanya sebagai pengganti rumah dan tanah yang tiang garap. Sebagai panjak (kawula) tiang nurut dan pasrah saja,” kata Pan Sari.
Mereka tidak tahu bahwa tanda tangan itu adalah sebuah surat persetujuan untuk melepas tanah dan rumah. Pan Sari mengaku bahwa kalau proyek ini berjalan dia tidak tahu akan tinggal di mana. Dia mengaku, kalau digurus dia mungkin akan tidur di bale banjar, balai komnitas yang umum terdapat di Bali.
Kontroversi Resor dan Lapangan Golf
Rencana PT Ubud Duta Resort Development untuk membangun resort dan lapangan golf tidak saja dipersoalkan di tingkat petani. Laporan Bali Post juga mengungkap penolakan dari jajaran pemerintahan ketika itu. I Ketut Sundria, Ketua DPRD Bali yang juga ketua PGI (Persatuan Golf Indonesia) Bali ketika itu, juga mengutarakan penolakannya. Dia mengaku bahwa DPRD dan Pemda Provinsi tidak akan memberikan izin.
Sundria mengemukakan tiga alasan untuk menolak proyek itu. Pertama, soal lingkungan. Selasih adalah daerah di dataran tinggi yang menjadi daerah tangkapan air. Lapangan golf hanya akan mengurangi fungsi resapan air.
“Lapangan golf itu kan strukturnya berbeda dengan humus dan tanah pegunungan. Dia tidak mampu meresap air seperti tanah pegunungan. Karena itu, daya serap airnya pun pasti sangat berkurang akibat struktur buatan lapangan golf itu,” demikian jelas Sundria.
Jika konversi ke lapangan golf ini terjadi, dikuatirkan Selasih akan menjadi daerah pengirim banjir di waktu musim hujan karena daerah itu tidak lagi bisa menangkap air. Lagipula, lokasi pembangunan lapangan golf itu terletak di dekat Tukad Buahan, yang merupakan hulu Sungai Ayung, salah satu sungai besar yang mengalir ke Denpasar.
Alasan kedua adalah karena Selasih adalah daerah pertanian. Daerah ini adalah daerah subur dan ekonomi pertanian akan jauh lebih bermanfaat untuk rakyat kebanyakan dan rakyat Bali. Sundria menganjurkan sebaiknya lapangan golf dibangun di daerah pesisir yang lebih landai.
Sedangkan alasan ketiga adalah kebutuhan akan lahan yang sangat luas. 200 ha untuk resor dan lapangan golf itu adalah mega-project untuk ukuran Bali. Sundria tidak setuju pembangunan ini karena akan menggusur banyak sekali orang Bali, yang adalah pendukung utama kebudayaan Bali. “Bali ini kecil. Pembangunan yang dilakukan juga harus berdasarkan pembangunan pulau kecil. Jangan yang besar-besar begitu,” demikian Sundria kala itu.
Siapa di balik investornya?
Jika dihitung sejak awal perencanaannya (1992) hingga sekarang maka 27 tahun sudah rencana pembangunan resort dan lapangan golf ini berlangsung. Orang-orang yang dahulu menjual tanah dan digusur sebagian besar telah meninggal. Namun, keturunan mereka masih ada.
Proyek ini sudah mulai mengambil ancang-ancang akan mulai pada tahun 1998. PT UDRD sudah mengantongi Hak Guna Bangunan (HGB) untuk menguasai tanah pembangunan resort dan lapangan golf itu.
Menurut aturan, HGB hanya memiliki masa berlaku selama 30 tahun. HGB bisa diperpanjang masa berlakunya selama dua puluh tahun lagi. Jika tanah yang bersertifikat HGB luasnya kurang dari 600 meter per segi maka pemilik berhak mengkonversi menjadi hak milik dengan mengajukan permohonan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Dari urutan waktu ini, kita bisa menduga bahwa PT UDRD sudah memegang HGB ini lebih dari 20 tahun. Mereka memiliki waktu yang kurang dari 10 tahun untuk segera memanfaatkan tanah tersebut. Namun mereka tidak melakukan pembangunan hingga akhir-akhir ini.
Siapakah sebenarnya pemilik dari PT UDRD ini?
Dari berita yang beredar Presiden Direktur PT UDRD adalah H. Dudhie Makmun Murod, MBA. Dia adalah mantan anggota DPR-RI periode 2009-2014. Dia berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan menjadi wakil dari Sumatera Selatan. Namun, karier di politik tidak terlalu moncer. Pada tahun 2011, dia berhenti menjadi anggota DPR-RI karena terlibat dalam kasus cek pelawat untuk pencalonan gubernur Bank Indonesia. Untuk itu dia dihukum dua tahun.
Dudhie Makmun Murod adalah anak dari Jendral TNI (Pur.) Makmun Murod, bekas Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) pada 1974-1978. Jendral Makmun Murod adalah tokoh masyarakat Komering di Sumatera Selatan. Selain tokoh militer, Makmun Murod adalah presiden komisaris PT Gajah Tunggal, yang sekarang menjadi salah satu pabrik ban terbesar di dunia. Pemilik Gajah Tunggal adalah Sjamsul Nursalim, salah seorang terkaya Indonesia yang sekarang menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menurut ilmuwan politik Amerika yang menulis politik lokal di Sumatera Selatan, Elizabeth Collins, Dudhie merintis karier politik berkat kedekatannya dengan almarhum Taufik Kiemas, politikus PDIP yang juga suami Megawati Sukarnoputri.
Penelusuan lebih lanjut ternyata memperlihatkan jejaring lebih rumit. PT UDRD ternyata sebuah anak perusahan dari sebuah perusahan properti PT Indonesia Prima Property TBK. Presiden komisaris perusahan ini adalah Husni Ali, keponakan dari Sjamsul Nursalim, pemilik.
Karena telah menjadi perusahan publik, PT Indonesia Prima Property TBK harus membuat laporan tahunan. Dari Laporan Tahunan 2017, kita tahu bahwa presiden direktur perusahan ini adalah orang Singapura bernama Ong Beng Kheong. Yang menarik di sini adalah bahwa banyak sekali pensiunan militer dan polisi duduk dalam jajaran pimpinan perusahan ini.
Posisi wakil presiden direktur diduduki oleh Sriyanto Muntasram. Dia pensiuan mayor jenderal TNI AD. Dia pernah menjabat sebagai mantan Danjen Kopasssus, Pangdam III Siliwangi, dan Gubernur Akmil. Keistimewaan dari Sriyanto adalah karena dia pernah diadili dalam kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Sriyanto yang ketika itu menjadi Komandan Seksi Operasi Kodim Jakarta Utara dianggap ikut terlibat dalam pembantaian di Tanjung Priok itu.
Anggota militer lain yang duduk di jajaran komisaris adalah Ngakan Gede Sugiartha Garjitha, lulusan Akmil kelas 1981. Dia menghabiskan karier militernya di Kopassus dari letnan dua hingga kolonel. Dia pernah menjabat sebagai Komandan Intel Kodam Jaya, Danrem di Solo, Komandan Pusintelstrat, dan Kepala Staf Territorial Panglima TNI. Dia pensiun sebagai Mayor Jendral. Selain itu dia menjadi pejabat Eselon 1 Badan Intelijen Negara (BIN).
Wartawan Radar Bali baru-baru ini meliput ke Selasih. Dia menggambarkan suasana tegang di wilayah itu. Ketika lewat dia direkam video oleh aparat. Namun, yang menarik adalah sebuah papan pengumuman terpampang di lahan yang dibuldoser. Plank papan itu berbunyi, “Tanah Milik PT. Ubud Resort Duta Development dengan dalam pengawasan Mayor Jenderal TNI Purn Gatot Subroto”.
Siapakah Mayjen TNI Purn. Gatot Subroto ini? Dia ternyata adalah perwira TNI AL lulusan AAL tahun 1982. Gatot Subroto berasal dari kesatuan Marinir. Dia pernah menjadi Wakil Gubernur AAL. Gatot Subroto adalah komisaris PT Indonesia Prima Property TBK. Dalam penelusuran lebih lanjut, Gatot Subroto juga bekerja bersama Husni Ali di PT KMI Wire and Cable Tbk.
Selain militer, PT Indonesia Prima Property TBK juga mempekerjakan mantan perwira kepolisian. Luthfi Dahlan adalah salah satunya. Dia adalah mantan Wakil Kepala Polri dan menyandang jendral bintang tiga. Di perusahan ini dia menjadi sebagai wakil presiden komisaris.
PT Indonesia Prima Property TBK memegang 92,8 persen saham PT UDRD. Dalam buku Laporan Tahunan 2017, jenis usaha yang kerjakan oleh PT UDRD adalah “land bank.” Ini berarti bahwa tanah ini dibeli untuk nantinya dibangun atau dijual ketika harga sudah meningkat.
Harga tanah di Selasih memang meningkat gila-gilaan dan pembangunan proyek PT UDRD tidak diragukan lagi akan semakin meningkatkan harga tanah di sana. Pada bulan Pebruari tahun ini, sebuah akun Facebook bernama “Bali land property sale” menawarkan tanah di Selasih seluas 25,000 m2 (250 are). Tanah tersebut dihargai US $65/m2 (US$ 6,538). Seluruh tanah seluas 250 are tersebut berharga US$ 1,634,615.
Mediasi atau Advokasi?
Perlawanan oleh para petani dan masyarakat Selasih telah mendorong beberapa politisi untuk melakukan mediasi dengan PT UDRD. Itu dilakukan akhir November lalu oleh anggota DPR RI I Nyaman Parta, DPD RI Arya Wedakarna, DPRD Provinsi I Made Rai Warsa, dan DPRD Kabupaten Gianyar I Nyoman Kandel dan Nyoman Amertayasa.
Mediasi tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan seperti soal Pura di dalam tanah yang dikuasai PT UDRD. Perusahaan tidak akan menganggu gugat keberadaan pura tersebut; petani tetap boleh menggarap sebelum dibangun; janji untuk mempekerjakan tenaga kerja lokal bila sudah beroperasi; dan soal nasib 30/32 keluarga yang hendak digusur karena secara tidak sah menempati “tanah milik” perusahan.
Persoalan Selasih adalah persoalan para spekulan yang membuat bank-bank tanah. Mereka berusaha untuk menaikkan nilai tanah dengan segala macam cara. Tentu tanah yang dikuasai oleh PT UDRD ini nilainya telah berlipat-lipat dari ketika mereka membelinya.
Melihat semua aspek keadilan dalam kasus agraria ini, tentu kita harus bertanya, apakah para petani ini memerlukan mediasi? Bukankah sesungguhnya mereka lebih butuh advokasi (pembelaan) karena bagaimana pun juga mereka tidak mendapatkan keadilan sejak awal dari pembebasan tanah mereka?
Para politisi di Bali dan para pembuat kebijakan harus memikirkan secara serius soal seperti Selasih ini. Kasus-kasus struktural seperti ini tidak seharusnya dipakai untuk mencari panggung politik. Kasus-kasus seperti ini harus dipakai untuk membela rakyat yang tidak berdaya.
Melihat kasus Selasih ini, saya justru tertarik dengan pernyataan I Ketut Sundria, mantan Ketua DPRD Bali dan sekaligus Ketua Persatuan Golf Indonesia (PGI) Cabang Bali. Dia tidak setuju pembangunan ini karena melihat rakyat Bali. Dia tidak melakukan mediasi dengan investor. Dia menolak mentah-mentah dengan alasan yang sangat masuk akal.
Pendirian I Ketut Sundria ini ada benarnya. Apa jadinya kalau orang Bali sudah tergusur di tanahnya sendiri? Masih adakah Bali tanpa orang Bali? Masih adakah orang Bali tanpa tanah milik orang Bali sendiri? [b]
Comments 1