• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Wednesday, June 18, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Berita Utama

Ketika Pisang Terakhir Ditebang

Oktaria Asmarani by Oktaria Asmarani
16 December 2019
in Berita Utama, Kabar Baru, Sosial
0 0
0

“Pedalem tiang nepukin punyan biu kénéanga (saya kasihan melihat pohon pisang dibeginikan).”

Kalimat itu spontan meluncur dari mulut Wayan Kariasa, salah satu pekebun sekaligus pengepul pisang di Banjar Selasih, Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Gianyar. Di siang yang terik itu, ia berdiri di atas tanah yang selama empat generasi digarap oleh keluarga Wayan Sarna.

Matanya mengedar ke sekeliling, memperhatikan pohon-pohon pisang yang sudah tumbang karena ditebang. Beberapa di antaranya memiliki batang yang masih bisa dibilang begitu pendek. Pohon-pohon pisang tersebut mati muda.

Saya hanya bisa menimpali dengan getir, “Nggih, Pak…”

Saya datang ke Selasih akhir pekan lalu. Dua pekan sebelumnya ibu-ibu di sana membuka baju mereka untuk menghadang alat berat yang masuk ke daerahnya. Mengingat apa yang mereka lakukan, hati saya patah melihat dua alat berat dengan warna merah masih bisa memarkirkan diri jauh di seberang tempat saya berpijak.

“Ini hari Minggu, alatnya enggak kerja,” ujar Gede Nova, seorang pemuda yang juga berdiri di sebelah Wayan Kariasa.

“Tapi, alatnya masih bisa masuk, ya?” tanya saya pada mereka. Mereka mengangguk. “Pas rapat waktu itu, kami sudah sepakat untuk memulangkan alat beratnya. Namun, beberapa jam kemudian, alatnya tetap ada di sana dan sampai sekarang tidak penah pergi.”

Alat-alat berat itu hendak meratakan tanah-tanah di Selasih, kira-kira separuh dari keseluruhannya. PT. Ubud Resort Duta Development (URDD) yang melakukannya, sebab tanah-tanah tersebut hendak disulap menjadi lapongan golf, resor, dan fasilitas wisata lainnya.

Beberpa petani menyebut perusahaan memasuki Selasih pada medio 1990an dengan klaim bahwa 85 persen tanah di sana tidak produktif. Dengan begitu, lahan tersebut lebih baik dimanfaatkan untuk sektor di luar pertanian atau perkebunan. Sejak saat itu, pembebasan lahan pun mulai dilakukan.

“Padahal, sebelum krisis air, dulu kami biasa menanam padi, jeruk, salak, durian, dan mayoritasnya cengkeh,” kata I Made Sudiantara, salah satu warga Selasih.

Penghasil Pisang

Berbeda dengan dulu, kini Selasih memang dikenal sebagai salah satu daerah pemasok daun pisang di Bali. Kita bisa menemukan hamparan pohon pisang batu di sana. Sekiranya pengalihan sebagian besar lahan menjadi kebun pisang terjadi pada masa-masa krisis moneter tahun 1997-1998, ditambah dengan adanya krisis air.

Sejumlah warga menulis konflik agraria Selasih dan konflik tanah lainnya di Bali di web ini sebelumnya seperti Made Supriatma dan Roberto Hutabarat.

Pisang kemudian semakin diminati warga. Sebab, selain mampu memberikan penghasilan lebih baik daripada padi, tanaman pisang dapat dipelihara dengan mudah. Hal ini bisa dibuktikan sebab pisang begitu mudah saya temui di lahan-lahan kosong Selasih. Berjalan beberapa langkah di lahan-lahan tersebut, saya seringkali menemui anakan pohon pisang yang masih muda tumbuh dengan subur.

Pada tahun-tahun tersebut pulalah konflik terkait lahan mencuat. Pertemuan warga dengan pihak PT URDD sempat dilakukan. Hasilnya berupa kesepakatan tertulis dan tidak tertulis antara kedua belah pihak. Kesepakatan itu di antaranya sebelum tanah benar-benar digunakan pihak PT, warga dapat menggarap dan menikmati hasilnya. Selain itu, warga juga dijanjikan oleh pihak PT perihal relokasi rumah.

“Tapi, saya tidak pernah merasa menjual tanah saya,” Kariasa berujar, menoleh ke arah Nova yang menimpalinya dengan sebuah anggukan.

Beberapa warga yang merasa bahwa lahan mereka layak untuk diperjuangkan kemudian membentuk Serikat Petani Selasih (SPS). Tercatat sebanyak 52 kepala keluarga terdaftar sebagai anggota SPS dan 32 di antaranya bermukim di lahan yang diklaim pihak PT URDD. “Saya cuma mau apa yang dimiliki leluhur saya tetap di sini dan seperti ini,” tegas Nova.

Warga Selasih mengaku masih berharap pada pemerintah untuk membantu meredakan konflik ini. “Kalau kita nggak berharap sama pemerintah, mau berharap sama siapa?” ujar Kariasa. Saya tersenyum, kecut sekali.

Setelah semua yang terjadi, warga Selasih masih berpikir pemerintah akan melakukan sesuatu untuk rakyat seperti mereka. Harapannya, pemerintah mampu menjalankan dan menguatkan PP Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, serta Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Dengan begitu, warga Selasih tidak terinjak di tanah mereka sendiri.

Tiba-tiba Datang Kembali

“Waktu (lahan) dibabat, tiang dadi penonton gen. Kan sing runguanga munyin tiangé (saya jadi penonton saja, kan ucapan saya tidak didengarkan).”

Saya termenung mendengar ucapan Wayan Liu, seorang ibu yang sehari-hari menggarap lahan yang waktu itu sedang saya pijak. Ia merasa bahwa suara para perempuan di Selasih tidak akan didengarkan.

Padahal, perempuan-perempuan tersebut berperan begitu banyak dalam usaha perkebunan pisang di Selasih. Mereka turut bekerja di kebun, menanam dan merawat pohon-pohon, mengambil daun-daun, serta mengantarkannya ke Denpasar dan Badung untuk dijual.

Sementara itu, wajah-wajah perempuanlah yang memperkenalkan saya dengan Selasih dan konfliknya. Dua pekan lalu, foto-foto mereka yang hanya menggunakan kutang dengan raut marah menghiasi linimasa media sosial saya. Mereka menghadang alat berat yang muncul kembali setelah dua puluh tahun tidak berkabar.

Ketika perempuan yang merasa kurang didengarkan justru menjadi garda depan dalam perlawanan, saya pikir, ini adalah suatu alarm tanda bahaya. Apa yang terjadi di Selasih adalah suatu kegentingan.

“Biune ampun telah. Ten wenten penghasilan napi mangkin. Nol. Mati raga pelan-pelan (pisangnya sudah habis, tidak ada penghasilan apa-apa sekarang. Nol. Kami mati pelan-pelan),” tegas Liu. Ia yang biasanya menjual 60-70 ikat daun pisang satu kali dalam dua hari, kini harus melakukannya dalam waktu lima belas hari sekali.

Walaupun dihimpit ketidakpastian dan semakin menipisnya penghasilan, warga Selasih tetap bisa tersenyum dan berbagi. Saya dan lima orang kawan yang datang ke Selasih disuguhkan berbagai macam hasil bumi. Kariasa memetikkan kelapa muda dan kami minum bersama-sama di siang yang terik di tepi lahan bersengketa.

Kami sempat diajak Liu mencoba memetik dan memotong daun pisang dengan teknik yang biasa mereka gunakan. Di perjalanan pulang, kami harus menepi kembali sebab Nova memetikkan sebungkus leci dan sebuah durian. Segar sekali, walaupun seorang polisi tetap mengikuti kami kemanapun kami pergi.

“Kita selalu minta dan diberi oleh warga desa, tapi mereka enggak pernah minta sama kita yang di kota,” kata Luh De, kawan yang mengajak saya ke Selasih, sambil tertawa.

“Kalau begitu, sekarang tiang minta tolong untuk dibantu memperjuangkan biar kami dapat yang sepantasnya,” jawab Liu.

Lalu kami tertawa bersama. Perihal isi hati, siapalah yang tahu. Mungkin di balik tawa yang mereka bagi di hari itu, warga Selasih meringis dalam hati. Sama seperti batang pohon leci milik keluarga Nova yang akhir-akhir ini terus menerus mengeluarkan air.

“Mungkin dia juga ikut menangis,” ujarnya sambil tersenyum. [b]

Tags: Gianyarkonflik selasih
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Oktaria Asmarani

Oktaria Asmarani

Sehari-hari membersamai masyarakat desa untuk mengelola sampah. Senang belajar sebab merasa tak pernah memahami apa-apa. Bercita-cita jadi bestari dan bermanfaat untuk sekitar.

Related Posts

Gianyar dan Kekosongan Ruang Kolaborasi Kreatif

Kota Seni Gianyar dan Minimnya Ruang Kolaborasi Kreatif

5 June 2025
Batubulan Kini, Setahun Setelah Pandemi

Batubulan Kini, Setahun Setelah Pandemi

24 March 2021
UWRF 2020 Ditunda Hingga Pemberitahuan Lebih Lanjut

UWRF 2020 Ditunda Hingga Pemberitahuan Lebih Lanjut

27 July 2020
Gelar Yoga Massal, Pemilik Rumah Yoga Om Dideportasi

Gelar Yoga Massal, Pemilik Rumah Yoga Om Dideportasi

24 June 2020
Pejuang Lingkungan Beralih Belajar di Rumah

Pejuang Lingkungan Beralih Belajar di Rumah

12 June 2020
Perabasan kebun di Payangan, Gianyar termasuk salah satu konflik agraria di Bali. Foto KPA Bali.

Berikut Ini Sejumlah Konflik Agraria di Pulau Dewata

18 September 2019
Next Post
Checkin Citilink Traveloka Bikin Perjalanan Lebih Menyenangkan

Checkin Citilink Traveloka Bikin Perjalanan Lebih Menyenangkan

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Rata-Rata Sekolah Dasar Negeri di Bali Memiliki Ruang Kelas Rusak

Rata-Rata Sekolah Dasar Negeri di Bali Memiliki Ruang Kelas Rusak

18 June 2025
Perjalanan Penyanyi Bali Legendaris Dealot

Perjalanan Penyanyi Bali Legendaris Dealot

17 June 2025
Pariwisata Bergeliat, Konflik Tanah pun Menguat

Pariwisata Bergeliat, Konflik Tanah pun Menguat

16 June 2025
Tiga Film di Balinale Soroti Isu Sosial

Tiga Film di Balinale Soroti Isu Sosial

15 June 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia