Seorang anak menatap hamparan kursi penonton kosong dengan suasana pagi hari di antara kesepian panggung barong ini. Foto Angga Prasetya.
Batubulan hanya salah satu desa yang bergantung kepada pariwisata.
Ketika pariwisata masih berjaya, sebelum pandemi COVID-19 menyerang dunia, warga menggantungkan hidupnya dari pariwisata. Warga banyak bekerja sebagai sopir paket wisata, buruh hotel, ataupun pengusaha oleh-oleh khas Bali yang berjejeran sepanjang jalan ataupun pasar.
Sebagian warga bekerja sebagai penari kecak dan barong. Saya sendiri termasuk salah satu yang ikut menari ketika itu.
Namun, kini tak ada lagi tepuk tangan turis di panggung pertunjukan. Tak ada lagi gelak tawa para penari ketika beraksi. Tak ada lagi pula dolar mengalir ke tangan warga yang dulu hidup dari pariwisata.
Pusat oleh-oleh yang dulu trendi kini gedung kosong. Berkebalikan dengan warung mie di sebelahnya.
Made Gandhi meratapi karya seni yang di buat dengan susah payah kini mulai hacur dan tidak terawat.
Adik saya duduk di antara kursi penonton yang berantakan. Biasanya tempat duduk bule, dan kami para warga lokal duduknya di belakang.
Seorang anak sedang duduk di kursi kusam nan berantakan, dan bernostalgia bagaimana senangnya dia saat menonton tari barong di tempat ini dulu.
Foto candi dihiasi dengan dua pohon kamboja yang sudah tua di salah satu stage barong di Batubulan.
Terlihat puluhan kursi penonton yang tidak tertata rapi dan kain yang terlilit di tiang penyangga mulai koyak dan berdebu dengan di tambah dengan mirror effect.
Barong dilambangkan sebagai macan, salah satu binatang yang sangat angkuh, apa daya barong satu ini terdiam oleh pandemi dan mulai terlihat berdebu tidak terawat.
Bangku kusam nan rapuh yang terbengkalai, dan rayap mulai menembus kursi bambu ini.
Tempat di mana penabuh atau orang yang memainkan gambelan untuk mengiringi tarian (Bale Gong), kini sudah dipagari. Gambelannya pun sudah tidak ada di Bale Gong.
Bak pasangan romantis yang setia menemani sampai waktu melapukannya. Itulah kesan pertama yang saya rasakan saat melihat dua kursi ini. Mulai ditumbuhi rumput liar dan alang-alang di salah satu stage barong di Batubulan ini.
Gemuruh pertunjukan kini berganti kesepian. Deretan kursi bambu yang dulu penuh turis, kini menyisakan debu. Kusam. Sepi. Ekonomi di desa yang berbatasan dengan sisi timur Kota Denpasar itu terasa mati suri.
Begitu pula dengan toko oleh-oleh yang dulu ramai dengan transaksi. Kini tokonya sudah tutup. Terasa kontras dengan warung mie cepat saji yang kini berdiri di sebelahnya.
Semoga saja pandemi COVID-19 segera berlalu. Agar saya dan warga Batubulan lainnya bisa kembali tersenyum tidak hanya kepada turis, tetapi juga dolar yang mengalir lancar. [b]
Pemuda Batubulan, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Pernah menjadi penari kecak di Singapadu. Masih belajar di SMKN 1 Sukawati dan sedang magang di BaleBengong.
Comments 1