![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2021/04/Permainan-ceki-scaled.jpg)
Bisa jadi, pemain ceki adalah pemilik kasta tertinggi di Bali.
Dari banyak cerita yang saya dengar, pada dekade 1980 – 1990 ialah masa industri pariwisata massal mulai menemukan bentuknya di Bali. Ia sebagaimana kebanyakan manusia awal-awal pacaran semua berjalan penuh antusias. Semua nampak sejati dan tulus.
Bisa dikatakan itu ialah masa masa gemilang yang dirasakan oleh banyak warga Bali. Seperti janji-janji awal pacaran jua, alih fungsi ruang di Bali, segala nilai tawar bumi manusia Bali dan pariwisata budaya berkelanjutan, pariwisata untuk Bali, bukan Bali untuk pariwisata, sepertinya masih terdengar jujur kala itu.
Akomodasi pariwisata yang dipusatkan di selatan pun pelan-pelan membentuk orientasi hidup di selatan bagi sebagaian besar warga Bali mulai saat itu. Jika orang Bali ialah laron, gemerlap industri pariwisata cahaya-cahaya lampu ialah selatan. Desa-desa yang sebelumnya tak mengenal pariwisata pun mulai memiliki pilihan alternatif ketika wilayah mereka menjadi jalur atau daerah kunjungan wisata dan perlu membangun akomodasi pariwisata penunjang. Hasil alam dan tenaga manusia pun diserap untuk sama-sama menikmati keuntungan industri pariwisata.
Orientasi itu kemudian membawa banyak manusia Bali mulai terseret arus atau memilih untuk hidup dan bertarung nasib di selatan. Masa-masa itu rasanya ialah masa banyak yang berhasil secara ekonomi. Dengan nilai tawar masih tinggi dan pondasi cukup kuat, mereka pun pelan-pelan menjadi warga selatan dengan cara hidup keseharian lebih urban. Berjarak dari masyarakat adatnya.
Selain melepas rindu dan kepentingan domestik, sesekali mereka pulang kampung untuk tanggung jawab adat. Sebagai manusia Bali yang dominan memeluk Hindu Bali, mereka juga terikat dengan hak dan kewajiban adat. Untungnya, bagi banyak orang, tanggung jawab kehadiran kehadiran itu sering kali bisa digantikan dengan uang (pepeson). Maka, stabilitas putaran roda kehidupan sebagai manusia selatan pun bisa terjaga.
Tidak sedikit dari mereka kemudian membawa anak-anaknya ke selatan. Bahkan, ada pula yang melahirkan anak-anaknya di selatan. Anak-anak yang tumbuh jauh dari cara cara orang tuanya dibesarkan di kampung adatnya. Anak-anak yang tumbuh tanpa banyak sentuhan kampung leluhurnya. Benih dan identitas yang melekat ialah daerah asal orang tuanya. Namun, sejatinya akar mereka menancap di selatan. Tempat di mana mereka menyerap segala nutrisi, limbah dan pengetahuan untuk hidup sebagai manusia.
Hari ini anak anak itu sudah tumbuh menjadi dewasa. Tidak sedikit yang sudah menjadi orang tua dari anak-anaknya dan harus menggantikan peran orang tuanya sebagai warga adat. Walau sudah mengenal kampungnya, bukan berarti dengan segampang itu mereka menjadi bagian yang meresap di sana. Apalagi kampung mereka yang dominan masyarakatnya masih hidup dengan monokultur.
Karena adat dan menjadi masyarakat adat ialah tentang keseharian dan hubungan rumit dengan ruang manusia di dalamnya. Jika industri pariwisata sering menggambarkan masyarakat adat Bali seperti tampilan situs web yang indah dan eksotis, maka hidup dan menjadi bagian daripadanya tidak kalah menjlimetnya dengan coding-coding di balik website yang indah-indah itu.
Jika industri pariwisata sering menggambarkan masyarakat adat Bali seperti tampilan situs web yang indah dan eksotis, maka hidup dan menjadi bagian daripadanya tidak kalah menjlimetnya dengan coding-coding di balik website yang indah-indah itu.
Wayan Kaung Williyana
Menara Pasir
Hari ini setahun sudah kita mengahadapi pandemi COVID-19. Bali yang sebagian besar pondasi masyarakatnya bertumbu pada industri pariwisata seperti berubah menjadi menara pasir yang rapuh. Banyak sudah yang sudah atau hampir roboh.
Tahun lalu ketika pandemi COVID-19 hadir dengan dampak nyata pada kehidupan banyak manusia di Bali, saya ingat pada tulisan Puthut EA tentang krisis moneter di akhir tahun 1990an yang dialami Indonesia. Inti tulisan itu seingat saya menjelaskan bagaimana bangsa kita bias lekas nampak keluar dari masa krisis itu. Salah satunya karena kekuatan daya topang dari desa.
Kultur ekonomi kita yang kapital dan perputaran uangnya terpusat di kota mendorong arus urbanisasi yang kencang untuk menjadi skrup-skrup perputaran tersebut. Lalu, ketika krisis melanda, perputaran pun menjadi sangat lemah. Bahkan banyak yang terhenti. Banyak skrup kemudian menjadi tidak diperlukan, tidak berdaya dan menjadi beban kota.
Maka, banyak dari mereka yang tidak berdaya itu masih memiliki pilihan kembali ke desa. Atau bantuan-bantuan dikirim dari desa sehingga desa mampu menampung beban dari kota tersebut untuk tetap hidup dan menjalankan roda ekonomi.
Tahu lalu di awal pandemi melanda keseharian kita juga, bacaan saya dibuka dengan tulisan Made Supriatma. Sedikit saya ingat juga kurang lebih mengatakan, di saat ancaman krisis ini, desa bisa menjadi katup pertahanan manusia urban di Indonesia. Bli Made mengambil perbandingan apa yang terjadi di Amerika sebagai masyarakat industri. Ketika awal pandemi dan ancaman krisis menjadi nyata, panic buying terjadi. Foodbank, organisasi non-pemerintah yang mengumpulkan makanan kemasan hampir kedaluwarsa di pusat-pusat perbelanjaan untuk kemudian dibagikan pada homeless, mengalami peningkatan antrian yang begitu dahsyat daripada sebelum pandemic.
Dalam kasus itu kita bisa melihat keuntungan sebagai manusia Indonesia, yang masih memiliki desa. Selain sebagai tempat pulang sementara, desa juga menawarkan alternatif makanan dan solidaritas untuk bertahan hidup.
Ketika beberapa bulan pandemi dan angka-angka kasusnya yang berbanding terbalik dengan keadaan ekonomi masyarakat Bali, inti dua tulisan itu memang bukan omong kosong. Ketika pariwisata lumpuh dan juga dengan sangat baik menghatam sektor lain, banyak wrga Bali yang kemudian harus bersyukur masih memiliki desa. “Bersyukur” atau kata lain dari tanpa pilihan membuat mereka harus pulang dan mempertahankan hidup di desa.
Kembali ke desa dalam keadaan kalah tentu tidaklah seindah pulang kampung sebagai pemenang di selatan. Dan, jauh dari suasana ketika melihat desa sekadar sebagai objek wisata pelepas penat.
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2020/09/Sejumlah-warga-Desa-Tembok-yang-terkena-dampak-pandemi-menyiram-sayur-di-kebun-yang-dikelola-bersama.-Foto-Anton-Muhajir.jpeg)
Tantangan Komunikasi
Kembali ke desa untuk bertahan hidup dalam rentan waktu lama dan tak pasti tentu menjadi tantangan bagi mereka yang selama ini hidup dengan perspektif selatan. Tidak hanya harus berpikir tentang ide apa yang bisa dikembangkan di desa atau apa yang bisa digarap untuk menghasilkan uang. Tantangan paling nyata ialah bagaimana beradaptasi dan agar bisa diterima oleh masyarakat adat dan keluarga besar di desa sebagai bagian dari mereka secara tulus jernih dan mengalir.
Memiliki ide bagaimana mengembangkan potensi desa atau memiliki kemampuan dalam praktik kegiatan adat, selain susah juga bukan jalan yang strategis menurut saya. Sekalipun khatam dalam kegiatan adat, itu tidak menjamin akan diakui dan mudah diterima. Perlu ditunjang kemampuan komunikasi dan pemahaman politik keseharian akar rumput yang sering tidak nampak di permukaan.
Apalagi, sepengetahuan saya, pandangan masyarakat adat di Bali masih kental dengan filosofi “bise sing karuan dadi”. Bisa belum tentu boleh. Sederhanya sekalipun mahir dalam kemampuan tertentu, seseorang belum tentu boleh mengerjakan sesuai kemahirannya dalam kegiatan kolektif adat. Misalnya, bukan hal membingungkan bagi seorang chef hebat di hotel bintang lima di selatan, ketika kegiatan masak bersama dalam urusan adat hanya akan bercokol di kasta mengupas bawang.
Lalu apa jalan yang strategis itu?
Di masa pandemi ini saya mendapatkan inspirasi ketika saya mengobrol dengan dua teman di tempat berbeda. Kebetulan kedua teman ini memiliki pijakan sama. Sama-sama orang tua (kampungnya) di Tabanan dan sama-sama tumbuh dengan orientasi selatan.
Teman pertama bernama Gus Tulang. Selama pandemi ini ketika harus lebih sering berada di kampung, dia merasa cukup enjoy sekalipun sebelumnya tidak terlalu sering ada di kampung. Dia merasa cukup bisa berbaur dan diterima. Juga bisa meresap dengan ukuran dia diundang untuk masuk ke WhatsApp group keluarga besar di kampung dan WhatsApp group komunitas adat.
Cerita cukup berbeda saya dengar dari Adi, teman kedua yang saya ajak mengobrol. Tidak seperti Gus Tulang, cerita Adi lebih terdengar seperti keluhan ketika harus ada di kampung dan berbaur di sana. Saya bisa yakini dia belum mampu meresap, ketika dia mengatakan tidak ada diundang di group WhatsApp group komunitas adatnya.
Adi dan Gus Tulang saya rasa bukanlah manusia yang jauh berbeda. Sekalipun mereka tumbuh di selatan, tetapi mereka cukup mengenal dasar-dasar sederhana sebagai manusia adat Hindu Bali. Lalu, apa yang membuat mereka memiliki daya resap yang berbeda? Terang benderang saya simpulkan pembedanya ialah Gus Tulang bisa bermain kartu ceki alias meceki dan Adi tidak. Jadi, kemampuan meceki saya rasa bisa menjadi kendaraan strategis untuk kembali ke kampung.
Pendobrak Matematika
Lalu kenapa ceki bisa begitu strategis?
Akar dari kultur masyarakat Bali memang tidak lepas dari permainan judi. Selain judi tajen yang memiliki kaitan kuat dengan upacara tabuh rah di Bali, kalau kita perhatikan banyak upacara atau kegiatan adat di Bali mengharuskan kita untuk berkumpul dan bertemu dengan rentan waktu cukup lama. Mungkin berhari-hari.
Di Bali, yang sangat kental dengan nilai patriarkinya, saya perhatikan kegiatan untuk laki-lakinya memiliki lebih banyak sela-sela jeda. Namun, mereka seolah diharuskan untuk tetap ada di tempat itu. Untuk menunggu rentetan kerjaan lain atau menunggu rangkaian inti upacara.
Untuk mengisi kekosongan jeda itu bermain judi kartu sering kali menjadi pilihan bersama. Karena judi kartu tidak perlu sarana yang ribet. Bisa dilakukan sepanjang hari. Tempat bermain juga sangat ditopang dari arsitektur bangunan Bali yang terbuka dan ramah untuk berkumpul.
Di masa pandemi ini ketika ekonomi banyak dari kita mengalami penurunan, meceki saya rasa menjadi permainan paling relevan dengan situasi kebanyakan manusia Bali. Ceki ialah permainan kartu yang memiliki ritme waktu cukup bisa bertahan lama. Dibanding judi kartu lain yang juga populer di kalangan masayarakat Bali, misalnya blok kiu atau spirit, ceki mampu menciptakan emosi pemainnya lebih stabil dalam permainan.
Perputaran uang dalam judi kartu spirit atau blok kiu begitu dahsyat. Dibanding meceki, dua permainan itu jauh lebih bergantung pada keberuntungan dan keberanian daripada keterampilan (skill). Mereka cenderung membuat emosi pemainnya kacau dan mengeluarkan dana taruhan tanpa takaran yang baik. Ini membuka peluang pemainnya cepat hangus dan merana. Dengan kata lain memerlukan modal yang lebih banyak.
Berbeda dengan meceki. Besar taruhan, aturan terusan dan ritmenya bisa diatur di antara sesama pemainnya sebelum dimainkan. Kesepakatan-kesepakatannya juga cukup demokratis.
Tidak seperti judi lain di Bali yang dengan sistem nebeng bisa dimainkan oleh belasan atau puluhan orang, meceki ialah permainan kartu di akar rumput masyarakat Bali yang paling eksklusif. Karena ukuran idealnya dalam satu pacek (meja) meceki hanya baik dan bisa dimainkan oleh minimal empat orang. Maksimal lima orang. Mereka orang yang benar-benar memahami aturan permainan, kemampuan yang tidak bisa diajarkan dalam waktu sekali pertemuan.
Ceki tidak mengizinkan orang lain nebeng atau bertaruh dari luar arena. Jika baru bertiga biasanya akan enggan memulai. Jadi, orang keempat akan sering dianggap pahlawan untuk bisa menjadi cukup. Dan, jika sudah berempat, peserta ke ima akan dianggap begitu berguna untuk membuat permainan menjadi genap.
Di kasus ini, ceki ialah pendobrak kesepakatan matematika umum. Di mana dalam ceki, empat orang dianggap ganjil dan lima orang baru bisa dibilang genap. Saya yakin di posisi untuk menjadi cukup dan genap inilah Gus Tulang sering hadir. Dan dari itu juga ceki ialah judi yang paling memungkinkan untuk tetap bermain dengan protokol kesehatan untuk memutus rantai COVID-19.
Kasta Tertinggi
Dan daripada keterampilan adat yang lain, saya rasa kemampuan ceki akan sering menempatkan manusia di kasta tertinggi dalam pergaulan masyarakat adat di Bali. Misalnya ketika dalam rangkaian upacara, arahan bersama sudah tertuju untuk jeda dan menunggu. Sering kali ada saja pekerjaan tercecer yang memerlukan tenaga orang ketika jeda. Saya sering mengalami dan ada di situasi itu.
Tidak peduli kasta Brahmana atau direktur, ketika pekerjaan tercecer itu memerlukan tenaga yang segera, siapapun sepertinya akan layak ditunjuk. Namun, hanya orang yang bermain ceki akan sering memiliki kekebalan dari sasaran tunjuk dan perintah. Lalu ketika suguhan kopi atau teh datang, biasanya pemain cekilah yang paling diutamakan.
Selain kasta, meceki juga sangat dekat dengan ilmu politik, bahasa dan statistik.
Dari semua judi yang saya pahami, cekilah yang memberi kuasa setiap pemainnya untuk berpolitik aktif demi tujuan permainan yang diinginkan. Misalnya ketika kartu yang diterima di awal dirasa cukup hancur, banyak orang sering memilih untuk menjaga kehancuran tersebut. Tujuanna agar prediksi dan kemungkinan lawan bisa hancur lebur juga sehingga kemungkinan berakhir seri cukup besar.
Dalam ceki ada sistem memungut kartu dari lawan di hulu kita. Syaratnya kartu itu harus ditaruh di bawah dan terlihat. Dominannya, kartu yang dipungut adalah kartu yang memang diperlukan. Namun, tidak sedikit yang mengambil risiko memungut kartu yang tak berkaitan dengan kartu yang dipegangnya hanya untuk mengecoh lawan.
Risikonya, kartu yang dipungut hanya akan dibuang ke hilir dengan kesepakatan bahwa lawan di hilir tidak memerlukannya. Jadi, bisa saja strategi kita akan dibabat oleh lawan di hilir ketika kartu kita sudah mendekati lengkap dan harus membuang kartu pungutan yang tak berguna itu. Langkah itu akan terhambat ketika lawan di hilir bilang dia memerlukan, padahal mungkin saja sebenarnya tidak. Jadi kita harus mengorbankan kartu yang lain dan membuat kartu kita porak poranda.
Dari nama-nama kartu dan gambaran simbol pada kartunya, besar kemungkinan permainan ini berasal dari kebudayaan Tionghoa. Melihat situasi hari ini menarik saya mengetahui satu satunya kartu berwarna hitam bisa dipasangkan atau memiliki kuasa sejajar dengan raja dan kunci (kartu merah) ialah kartu yang bernama Cina.
Dan juga menariknya dalam permainan meceki, dalam kasus menduga kartu lawan untuk menjadi konsumsi bersama kita, tidak etis mengatakan kartu itu sesuai nama aslinya. Makanya, ceki melahirkan banyak permainan bahasa “syair” yang bagi saya sungguh mengasyikkan. Misalnya, kita mau menebak kartu vital lawan yang dari perhitungan kita duga itu ialah kartu yang bernama “kulu”. Maka untuk konsumsi bersama kita tidak etis mengatakan itu kulu. Itu bisa diganti dengan kalimat syair “sesuatu yang sering di bawah meja”. Maksudnya ialah anak anjing, yang dalam bahasa Balinya ialah kuluk.
Untuk menjaga asa kemenangan atau mematahkan peluang kemenangan lawan, sangat penting dalam meceki bisa menghitung statistik kecil-kecilan. Dari acuan kartu apa yang dipungut dan tidak dipungut lawan. Kartu yang dibuang dan klan kartu apa saja yang tidak dibuang. Setelah setengah perjalanan dalam satu permainan sangat memungkinkan kita bisa mengetahui kartu lawan di hilir. Atau minimal bisa mengetahui kartu yang dia perlukan untuk dijerat mati agar tidak sampai padanya. Banyak lagi termasuk memancing agar lawan di hulu mau membuang kartu yang kita perlukan.
Menggembosi Patriarki
Terakhir, dalam pandangan saya tentang ceki dan ini rasanya cukup visioner, di mana ceki saya rasa bisa menjadi simbol dan jalan strategis juga dalam usaha menggembosi kultur patriarki yang begitu kental dalam masyarakat Bali. Karena sejauh ini saya perhatikan cekilah judi yang paling berpihak untuk kaum perempuan di Bali. Jika kalian pernah ke arena tajen sangat terang benderang kita lihat bagaimana dominasi kaum laki-laki.
Akan sangat langka, janggal dan mungkin rentan menjadi objek viral media sosial kalau ada perempuan terlibat dalam pertaruhan tajen. Memang ada, tapi peluang itu sangat tipis. Perempuan di arena tajen kebanyakan bekerja sebagai penjual jasa, pedagang dan penjual tenaga bersih-bersih. Begitu juga di judi kartu yang lain. Situasi yang riuh dan berdesak-desak karena gampang dimainkan posisi perempuan untuk bisa menjadi frontliner sangat kecil.
Sangat berbeda dengan permainan ceki, di mana manusia akan lebih dihargai karena kemampuan, bukan gendernya. Sangat biasa sejauh ini saya kira masyarakat di Bali melihat perempuan memegang kendali yang sama dalam permainan ceki.
Baru-baru ini tepat ketika dunia merayakan Hari Perempuan, saya bertemu pengalaman yang sangat menggugah naluri patriarki saya. Ketika itu saya berkunjung ke rumah teman. Di waktu yang sama nenek teman saya, bersama ibu teman saya dan bibinya bermain ceki. Kebetulan juga teman saya masih ada urusan keluar rumah. Karena melihat permainan itu hanya bertiga, dengan sedikit kemampuan tentang ceki saya pun mendekat dan berkomentar.
“Bertiga saja ya, Ibu-ibu. Wah, artinya tidak boleh memungut kartu dari hulu, dong. Nggak seru, dong,” kata saya.
Lalu, dengan semringah mereka menatap saya. “Nah ini baru mantab. Ayo, Dik. Gabung biar cukup dan seru mainnya,” kata salah satu dari mereka.
Dengan senang hati saya bergabung. Dengan senang hati juga mereka menerangkan kesepakatan-kesepakatan domestik dalam permainan kepada saya. Tidak perlu waktu lama saya pun larut dalam permainan dan meresap dalam pergaulan mereka. Batas-batas sosial akan hancur dalam meja ceki.
Setelah beberapa menit berjalan, dengan nada cukup kuat ibu teman saya memanggil suaminya. Dia memerintahkan suaminya membuatkan kopi untuk saya. Tidak berhenti sampai di sana, ketika si bapak datang membawa kopi dengan tersenyum, si nenek meledek si bapak. “Begini dah punya anak laki-laki satu, tapi sangat lemah. Tidak bisa membanting gunung,” lalu disambut dengan gelak tawa ketiga perempuan.
Membanting gunung adalah salah istilah dari meceki, karena salah satu kartu ceki bernama gunung. Ketika kita goal sering kali kita akan membanting kartu cekian dengan suka cita.
Tentu contoh di atas bukanlah emansipasi yang dicita-citakan. Bukan juga cita-cita atau cara pandang feminis yang baik ketika kita menertawakan peran-peran dan kualitas feminim sekalipun itu dilakukan laki laki. Namun, di tengah badai patriarki yang tak kunjung surut di masyarakat Bali, dari kejadian itu lagi-lagi saya lihat semacam harapan hadir dari meja ceki.
Ya, sekali lagi, meceki menurut saya bisa sebagai salah satu kendaraan strategis untuk meresap ke pergaulan di ruang-ruang adat di Bali secara lebih instan. Namun, di tengah masyarakat kapitalistik ini, seperti persentase kecapakan atau skill untuk memenangkan permainan ceki, begitu juga persentase kemampuan meceki dalam menentukan keberhasilan memenangkan kehidupan pergaulan bermasyarakat. Di atas skill selalu ada faktor keberuntungan dan cuan. [b]
Selalu lemuh untuk di baca, panutan!