Ada hal-hal substantif harus diselesaikan ketika pariwisata Bali mati suri.
Dewa Komang Yudi Astara, 34 tahun, mengubah COVID-9 sebagai energi untuk mewujudkan cita-citanya. Kepala Desa Tembok di perbatasan Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Karangasem, Bali bagian timur laut ini justru merasakan pandemi sebagai hikmah daripada musibah.
“Pandemi ini menjadi momentum untuk melihat apa yang kita miliki tetapi selama ini kita abaikan,” kata Yudi pada pertengahan Agustus lalu.
Sumber daya terabaikan di Desa Tembok yang dimaksud Yudi adalah lahan-lahan pertanian di desa yang telantar. Begitu pula dengan warganya yang dulu merantau untuk bekerja di Bali selatan, tetapi kini kembali ke kampung halamannya dan menganggur.
Sejak pandemi COVID-19 muncuk di Bali pada Maret 2020, Yudhi harus menghadapi kenyataan ratusan warganya yang kembali ke kampung. Dia pun harus menghadapi masalah lain, mereka tak bisa mendapatkan bantuan begitu saja karena terhambat syarat administrasi.
Daripada hanya menjadikan mereka sebagai masalah, Yudi mengajak mereka kembali bertani.
Berada di pesisir Bali bagian timur laut, Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng amat jauh dari pusat pariwisata di Bali selatan. Dari Denpasar perlu waktu sekitar 3,5 jam dengan kendaraan bermotor menuju desa ini. Itu pun melalui jalan naik turun dan berliku-liku.
Pada musim kemarau seperti saat ini, tanah-tanah desa ini terlihat kering. Mengepulkan debu. Kebun-kebun tak terurus meski di dalamnya berisi aneka tanaman, seperti mangga, kelapa, mete, dan lontar. Bagi hampir separuh warganya, desa kelahiran mereka tidak cukup mampu mengubah nasib mereka.
Maka, sekitar 40 persen dari 2.300 kepala keluarga (KK) warga Desa Tembok memilih merantau ke Bali selatan untuk bekerja di pariwisata. Dua di antaranya adalah Dewa Ketut Arta, 40 tahun, dan Nyoman Jenek Arta, 48 tahun.
Ketut Arta sudah bekerja di Kuta, kiblat pariwisata Bali saat ini, sejak 1999. Bujangan ini pernah bekerja di restoran, spa, dan terakhir sebagai sopir lepas. Pendapatan per bulannya naik turun, tetapi rata-rata berkisar Rp 5 juta sampai Rp 6 juta pada saat musim puncak turis. “Itu belum termasuk tip dari tamu,” katanya.
Bagi bujangan yang hidup sendiri di Kuta, Badung, Arta mengaku pendapatan itu lebih dari cukup. Dia bahkan bisa membangun rumah di kampung halamannya.
Nyoman Jenek merantau ke Bali selatan lebih lama lagi dibandingkan Arta, sejak 25 tahun lalu. Meskipun pernah balik kampung ketika Bali terkena bom dua kali pada 2002 dan 2005, bapak tiga anak ini masih kembali ke Seminyak, kawasan sibuk yang penuh dengan restoran, kafe, hotel, toko suvenir, dan aneka fasilitas pariwisata lain. Sehari-hari dia menjadi sopir taksi dengan pendapatan tak jauh beda seperti Ketut Arta, antara Rp 5 juta hingga Rp 6 juta.
Begitu pandemi menghantam Bali dan meruntuhkan pilar utama ekonomi pulau ini yaitu pariwisata, para pekerja di sektor ini pun berduyun-duyun kembali ke desa. Begitu pula dengan Jenek dan Arta. “Sekarang pendapatan nol. Untuk makan saja kurang,” kata Jenek.
Jenek mengaku selama dua hingga tiga bulan pertama kembali ke kampungnya dia merasa stres. “Mungkin karena dompet pragat metalang,” katanya dalam campuran bahasa Bali. Artinya dompet tak lagi terisi.
Tak hanya Jenek dan Arta yang mengalami hal sama. Ada sekitar 700 orang lain dari Desa Tembok yang kini kembali ke desanya karena pandemi. Selain para pekerja lepas seperti mereka, ada pula pekerja-pekerja lain yang dirumahkan atau bahkan diputus hubungan kerjanya. Dari sebelumnya mereka bisa mendapatkan setidaknya Rp 5 juta per bulan, sekarang tidak sama sekali.
Sumber Pangan
Dewa Komang Yudi, kepala desa muda Desa Tembok yang menjabat sejak 2015 menjadikan situasi itu justru sebagai energi. “Pandemi ini justru membantu negara mewujudkan visinya. Contoh paling sederhana, salah satu tujuan dari dana desa itu selama ini untuk meminimalisasi urbanisasi. Nah, pandemi ini membuat semua itu nyata,” kata alumni Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Nusa Dua ini.
Menurut Yudi, terjadinya deurbanisasi itu justru membuat visi pemerintah bisa tercapai meskipun dalam konteks berbeda karena terjadi akibat musibah non-alam.
Persoalannya kemudian mereka yang kembali ke kampung tersebu ternyata tidak bisa diakomodir begitu saja oleh pemerintah melalui skema bantuan-bantuan yang ada. Sebagian besar terhambat masalah teknis dan normatif. Contohnya, mereka tidak punya pekerjaan tetap sebelumnya sehingga tak memiliki bukti surat PHK sebagai syarat mendapatkan bantuan.
Contoh lain, mereka tidak masuk kategori miskin sesuai kriteria pemerintah, tetapi saat ini sudah tak punya pekerjaan. “Mereka terpaksa hidup dari tabungan dan pinjaman,” katanya.
Yudi kemudian berpikir lebih panjang, bagaimana jika pandemi ini tidak selesai dalam waktu dekat? Karena itulah, dia pun membuat skema baru dengan menyediakan sumber pangan yaitu pertanian. “Karena orang akan kembali ke kebutuhan dasar. Sebagai analogi, mereka akan baik-baik saja kalau tidak sekolah, tetapi akan apa-apa kalau tidak makan,” ujarnya.
“Pangan akan jadi masalah serius. Bukan soal pasokan, tetapi kemampuan membeli. Karena itu paling realistis adalah menyediakan sumber pangan,” katanya.
Yudi pun mengajak warganya yang kembali ke desa itu untuk bertani. Mereka yang semula sudah lama tak bertani dia ajak untuk mengolah tanah, membuat bedengan, menyemai bibit, merawat tanaman, sampai memanen hasilnya. Sejak sekitar April 2020 lalu, dia mengajak warganya untuk membuka lahan seluas 1,5 hektare milik salah satu warga yang tidak diolah.
Di sana mereka menanam sayur-sayuran, seperti terong, tomat, cabai, pare, dan lain-lain. Setelah berhasil di satu lokasi, mereka kemudian mengembangkan ke lokasi lain seluas 42 are. Saat ini total ada sekitar 2,5 hektare lahan yang mereka tanami. Sudah enam kali panen.
Modal pembuatan kebun itu dari Anggaran Dana Desa (ADD). Sejauh ini, menurut Yudi, mereka baru menghabiskan modal Rp 100 juta. “Ini baru permulaan,” katanya.
Percaya Diri
Meskipun baru permulaan, kebun-kebun pertanian itu sudah membantu warga Desa Tembok yang terdampak pandemi, seperti Arta dan Jenek.
Jenek yang mengaku sempat stres pada bulan-bulan awal kembali ke desanya, sekarang merasa lebih percaya diri. “Percaya ndak percaya, harus percaya diri. Karena untuk di kampung, sekarang mengandalkan hidup dari bertani,” katanya.
Pada pertengahan Agustus siang itu Jenek dan satu temannya menyiram tanaman terong yang sudah berbuah. Dia juga mencabuti rumput di lahan lain yang berisi tanaman tomat. Dia mengaku harus belajar lagi sebelum memutuskan ikut bertani kembali. Apalagi, dia mengatakan juga tidak mungkin kembali ke Bali selatan untuk bekerja di sektor pariwisata.
“Kita tidak bisa mengharapkan pariwisata kapan kembali. Kalau ditunggu-tunggu, harapan itu tidak pasti. Lebih baik bertani,” katanya.
Setelah lebih dari tiga bulan bertani, Jenek juga merasa sudah terbiasa dengan kondisi sekarang meskipun pendapatannya tidak sebanyak dulu ketika bekerja di pariwisata. “Pendapatan sedikit pun sekarang sudah cukup. Kalau dulu memang banyak dapat, tapi banyak juga kebutuhan,” lanjutnya.
Bagi warga lain, kembali ke pertanian juga mengubah kebiasaan buruk mereka ketika uang mudah didapatkan saat bekerja di pariwisata. “Lumayanlah. Sekarang ada tambahan untuk makan. Tidak sampai terjerumus untuk minum-minuman,” kata Ketut Arta.
Perubahan dari Desa
Begitulah pandemi COVID-19 kemudian menjadi berkah bagi Yudi untuk mewujudkan cita-cita membangun desa kelahirannya. Sesuatu yang dia lakukan ketika dia memilih untuk kembali ke desa meskipun sudah bekerja di bidang pariwisata sebagaimana sekolahnya.
Sejak 2011, Yudi kembali ke desa karena merasa pariwisata bukan renjana (passion) bapak tiga anak itu. Di sisi lain, sebagai orang Hindu Bali, dia punya kewajiban untuk menghadiri upacara-upacara adat (yadnya) sementara pada saat itu dia masih tinggal di Bali selatan.
“Saya tidak menemukan hal yang membuat saya nyaman ketika bekerja di sektor pariwisata di Bali selatan,” katanya.
Di sisi lain, dia merasa ada beberapa perubahan yang dia bisa lakukan dengan menjadi kepala desa sebagaimana pernah dilakukan kakek dan ibunya. Sejak 2015, atas dorongan teman dan keluarga, dia pun maju sebagai kepala desa meskipun merasa masih muda dan belum memiliki modal sosial. Yudi baru berusia 29 tahun ketika dilantik sebagai kepala desa.
Pada awal menjabat, Yudi lebih banyak mengerjakan proyek-proyek fasilitas publik dasar, seperti penyediaan fasilitas kesehatan dan air minum. Hal-hal mendasar yang menjadi kebutuhan hidup orang banyak.
Ketika fasilitas publik sudah terwujud, Yudi melanjutkan dengan ide besarnya mengembalikan pertanian sebagai sumber pendapatan utama desa sebagaimana pernah terjadi pada dekade 1980 hingga 1990an. Pada saat itu, jeruk kepruk dan mangga menjadi sumber pendapatan utama warga Desa Tembok.
Pertanian makin meredup di desa ini setelah terjadi serangan hama kerusakan citrus vein phloem degeneration (CVPD) atau kerusakan pembuluh tapis pada jeruk. Eksploitasi berlebihan pada pohon-pohon mangga membuat hasilnya makin menurun. Pada saat yang sama, pariwisata juga makin masif di Bali sehingga menggoda warga Bali untuk beralih profesi, termasuk di Tembok.
Secara umum, pilar ekonomi Bali juga berubah. Dari semula bergantung pada pertanian, kini pelan-pelan tergantikan oleh pariwisata. Hal yang juga terjadi di Desa Tembok.
Yudi ingin membaliknya dengan menjadikan pandemi COVID-19 sebagai momentum. Dia punya alasan. Pertama, katanya, kita tidak tahu kapan pandemi akan berakhir. Atau, kalau toh berakhir, pariwisata juga tidak serta merta kembali normal. “Turis asing dari luar negeri mungkin dibatasi dan orang-orang juga bisa bisa bekerja kembali,” lanjutnya.
Ketika pariwisata belum kembali normal, pendapatan dan daya beli warga juga menurun. “Di balik daya beli turun, kita tetap perlu makan. Pertanian jawabannya,” ujar Yudi.
Karena itu Yudi berharap apa yang dia lakukan juga bisa dilakukan di skala lebih luas. Tidak hanya di desa, tetapi juga oleh pemerintah Bali. Dia berharap pemerintah Bali tidak hanya fokus untuk membuka kembali pariwisata di tengah kasus COVID-19 yang terus naik, tetapi juga memberikan perhatian pada pertanian.
”Membuka pariwisata itu untuk mendorong ekonomi juga, tetapi jangan lupa pariwisata kita juga tidak sedang baik-baik saja,” katanya.
Menurut Yudi, ada hal-hal substantif yang harus diselesaikan ketika pariwisata Bali sedang mati suri. Misalnya, menata objek-objek wisata dengan manajemen yang lebih baik, menata sumber daya manusia pariwisata, dan mengelola sistem transportasi agar konflik taksi daring dan konvensional tidak berlanjut.
Tak kalah pentingnya, lanjut Yudi, adalah menggeser model pariwisata dari pariwisata massal ke pariwisata berkualitas. Inilah yang sudah coba diterapkan Yudi di tingkat desa. Membuat pariwisata alternatif berbasis potensi desa, seperti pertanian.
Sejak Februari 2020 lalu, Desa Tembok membuka pariwisata desa bertema Rural Experience yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Mereka mengajak turis treking menelusuri desa dan melihat keseharian warga, termasuk saat bertani di kebun.
“Pariwisata juga bukan hal buruk. Bahkan baik sekali. Dia juga sudah mempercepat kualitas hidup masyarakat, tetapi bukan berarti membiarkan satu pilar ini yang mendominasi ekonomi kita. Perlu dibangun sektor-sektor lain, seperti pertanian, UMKM, teknologi, dan SDM,” tegasnya. [b]
Catatan: artikel ini terbit pertama kali di BBC Indonesia.
Comments 1