Teks Luh De Suriyani, Ilustrasi Internet
“Jaja uli jaja gina. Satuh-satuh,” demikian ungkapan tetua jaman dulu soal menurunkan ego. Kalimat ini lalu diplesetkan jadi sebuah lirik lagu Bali rakyat yang yang dianggap porno.
Padahal jaja uli jaja gina dan satuh-satuh itu berarti dalam musyawarah perlu adanya keluwesan, saling mengalah dan tidak bersikukuh pada ego masing-masing. Jaja uli yang lembut bermakna luwes, sementara satuh yang teksturnya keras berarti patuh dan setuju jika ada ide yang lebih cemerlang atau bernas.
Soal ide cemerlang, Luh Srianis, perempuan tengah baya asal Banjar Sema, Bungkulan, Buleleng ini jelas memiliki hal itu. Setiap hari raya, khususnya Galungan dan Kuningan, perempuan yang biasanya ngarit padang (memotong rumput untuk ternak) di kampungnya ini akan datang ke Denpasar membawa keranjang-keranjang jaja dodol Buleleng yang luar biasa manis itu.
“Saya Kristen, Bu. Saya senang jual dodol pas Galungan,” ujarnya sambil melayani pembeli yang terus mendatangi keranjang dodolnya soal keyakinannya itu. Padahal, tak ada pertanyaan soal agama.
Ia mengais sedikit rezeki saat Galungan setelah usai meracik sedikitnya 50 kilogram ketan, gula, dan santan kelapa menjadi dodol berwarna-warni itu. Ia mengaku tinggal sementara di rumah anak pertamanya yang merantau ke Denpasar.
Untuk Srianis, hari raya Hindu membuatnya senang dan bersemangat. Selain bisa menambah penghasilan, juga melestarikan keahliannya membuat dodol yang kini semakin sedikit ditekuni di kampungnya. Dodol adalah makanan khas yang kerap dibuat menjelang hari raya atau ritual agama, biasanya dibuat untuk sesajen. Tapi usai dihaturkan, semua jenis makanan bisa dimakan.
Untuk hari raya seperti Galungan dan Kuningan ia khusus membuat dodol yang dibungkus daun jagung kering. Dijual Rp 5000 berisi 10 biji dalam satu ikatan.