Suasana pasar di Jalan Kartini ketika Penampahan Galungan. Foto oleh: I Gusti Ayu Septiari
Galungan dan Kuningan adalah momen enam bulan sekali yang selalu dinanti masyarakat Bali, terutama yang berprofesi sebagai petani bunga hingga pedagang banten. Galungan membawa berkah bagi lapisan masyarakat yang bergelut di bidang upacara keagamaan. Saya ingat sekali, beberapa bulan sebelum hari raya Galungan sudah terdengar sayup-sayup para petani bunga pacar yang membicarakan hasil panennya nanti ketika Galungan. Bahkan, ada beberapa petani bunga pacar yang sudah menyiapkan lahan yang ditanami bunga pacar untuk panen Galungan.
“Aget ngelah bunga anggo Galungan (untung punya bunga untuk panen di Galungan),” sebulan yang lalu saya mendengar ibu saya mengatakan itu kepada tetangga yang merupakan petani bunga pacar. Sudah tidak heran lagi jika Galungan dan Kuningan menjadi momentum kenaikan harga bunga dan sarana upacara keagamaan lainnya, seperti busung, pisang, hingga kelapa, sehingga para petani berlomba-lomba untuk memanen bunga pacarnya menjelang hari raya Galungan.
Siang hari di Penampahan Galungan atau sehari sebelum hari raya Galungan, saya berjalan mengitari pasar di Jalan Kartini. Begitu turun dari motor, tangan-tangan para penjual menyambut saya, menawarkan sampian dan canang. “Gek sampian Gek. Mau cari apa Gek?” tawaran dan pertanyaan itu saya dengar sepanjang Jalan Kartini. Hari itu saya memutuskan hanya melihat-lihat saja dan berkeliling pasar sambil menenggak segelas teh poci di bawah terik matahari.
Pada hari itu ternyata harga bunga pacar sudah turun, tidak semahal hari sebelumnya. Penurunan itu ternyata dua kali lipat dari Penyajaan Galungan atau dua hari sebelum Galungan. Semakin siang, harga bunga juga semakin turun karena jumlah pembeli sudah semakin sedikit. “Kalau Penampahan itu (harga) bunganya turun, sekarang Rp20.000, tadi pagi itu sampai Rp30.000. Kalau yang paling mahal sekarang ya warna (bunga pacar) yang merah,” ungkap Gung Yuni, salah satu pedagang bunga pacar di Jalan Kartini. Hal serupa juga diungkapkan oleh beberapa pedagang bunga pacar lainnya. Harga bunga pacar pada hari itu Rp20.000 per kg, padahal hari sebelumnya mencapai Rp45.000 per kg.
Di pojok Jalan Kartini saya melihat pedagang rujak dan memutuskan untuk berhenti sejenak membeli rujak bulung sambil berbincang dengan Bu Agus, salah satu pedagang di sana. “Aduh, panas sekali Gek hari ini. Menyengat panasnya,” keluh Bu Agus siang itu. Bu Agus menceritakan penurunan harga bunga dan beberapa sarana upacara keagamaan lainnya di hari Penampahan Galungan. “Kemarin itu mahal Gek, sampai Rp45.000, sekarang udah turun RP20.000, Rp25.000. Busungnya juga kemarin mahal, sekarang udah turun juga. Itu kalau dapat busung Bali bagus itu,” ungkap Bu Agus.
Bergeser sedikit dari tempat pedagang rujak, saya melihat pedagang canang yang sedang membuat canang di kiosnya. “Kalau harga bunga saya beli memang Rp20.000, tapi kalau saya jual itu Rp25.000 per kilonya,” ungkap Rai, pedagang canang di Jalan Kartini. Mengikuti kenaikan harga bunga, harga canang juga mengalami kenaikan dibandingkan hari biasa. Pasalnya, semua bahan untuk membuat canang serba naik, mulai dari bunga pacar, gemitir, hingga kembang rampe. Saat ini satu bungkus canang ceper bungkulan dijual seharga Rp30.000, padahal pada hari biasa hanya Rp20.000 per bungkus.
“Kembang rampe itu dia udah naik beberapa minggu sebelum Galungan. Awalnya Ibu itu dapat Rp15.000, sekarang udah Rp20.000 per kilo,” ungkap Rai sembari membuat canang. Rai mengungkapkan bahwa kenaikan harga kembang rampe diakibatkan karena jumlah pandan yang langka. “Yang mahal nih ya, mitir itu sekarang mahal. Bungkak juga langka,” imbuh Rai.
Ia menyebutkan bahwa harga gemitir saat ini mencapai Rp30.000 per kg dan merupakan harga bahan baku canang yang paling mahal, terlebih sangat susah mencari kualitas gemitir yang bagus. Selain gemitir, bungkak atau kelapa muda yang menjadi sarana upacara keagamaan turut mengalami kelangkaan.
“Tapi di Galungan itu kita memang untungnya lebih banyak, penjualan juga naik. Kalau kita-kita ini kan dapat untung gede di hari raya aja. Disyukuri aja,” ujar Rai. Galungan tidak hanya menjadi hari raya yang dinantikan untuk berkumpul bersama keluarga, tetapi juga karena membawa rezeki dan berkah pada masyarakat yang berjualan maupun bertani. Selain itu, Galungan turut menjadi ladang mata pencaharian masyarakat karena beberapa orang ada yang beralih berjualan sampian, canang, atau sarana upacara keagamaan lainnya.