Kuta masih menjadi magnet utama bagi turis di Bali.
Ketika musim liburan tiba, pantai menghadap laut di barat Pulau Bali itu dipenuhi ribuan turis terutama turis domestik. Padahal, Kuta tak hanya memiliki pantai indah dengan matahari terbenam.
Sejak zaman kolonial Belanda, desa ini sudah terkenal sebagai tempat di mana warga internasional bertemu dan berinteraksi. Aneka etnis, agama, dan bangsa membaur di Kuta sejak zaman baheula.
Karena itulah, jejak Kuta adalah jejak keberagaman.
Maka, menikmati perjalanan ke Kuta juga bisa menikmati jejak-jejak sejarah keberagaman di Kuta dari dulu sampai sekarang. Berikut adalah lima tempat bersejarah yang bisa jadi pilihan jika berwisata ke Kuta.
Pasih Perahu
Menurut buku sejarah resmi dari Pemerintah Kelurahan Kuta, Kuta mulai dikenal ketika pada 1336 M, Gajah Mada dan pasukannya dari Majapahit mendarat di bagian selatan pantai ini. Daerah ini kemudian dikenal dengan nama Tuban, seperti salah satu nama kota kecil di pesisir Jawa Timur.
Karena tempatnya bagus untuk pendaratan kapal, pelan-pelan daerah ini pun jadi pelabuhan kecil. Warga menyebut kawasan di Banjar Segara Kuta ini dengan nama Pasih Perahu, berarti pantai perahu.
Lokasi Pasih Perahu ini masuk dari pertigaan antara Jalan Kartika Plaza dan Jalan Wana Segara, Kuta.
Bukti fisik bahwa tempat tersebut pernah jadi pelabuhan bisa dilihat dari bangunan Pura Pesanggrahan di tempat ini. Di bagian depan pura, terdapat miniatur perahu yang dibangun pada 2002. Perahu dari semen ini merupakan bentuk penghormatan warga pada leluhur mereka yang mendarat di sana.
Di tengah perahu ini terdapat sumber air.
Sayangnya tempat ini tidak punya banyak keterangan untuk menjadi sebuah objek wisata. Padahal kalau dikemas dengan baik, tempat ini lumayan menarik untuk menjadi sebuah lokasi wisata sejarah, khususnya tentang Kuta.
Vihara Dharmayana
Bagian lain untuk mengenal sejarah Kuta adalah Vihara Dharmayana. Berdiri sejak sekitar 1876 M, vihara Dharmayana menjadi salah satu bangunan tertua di Kuta. Dia jadi saksi bisu sejarah perjalanan Kuta dari zaman Bali masih berbentuk kerajaan sampai saat ini.
Namun, meski sudah berumur ratusan tahun, vihara ini masih sangat terjaga. Bangunan masih tertata dan digunakan sampai saat ini.
Vihara ini berada di pojok antara Jalan Blambangan dan Jalan Padri Kuta, masuk wilayah Banjar Temacun, Kuta. Dengan warna merah menyala khas Tionghoa, vihara ini terlihat jelas di kanan jalan. Ornamen seperti lampion yang menggantung, aksara Mandarin di dinding, atau patung naga di tiang vihara menjadi ikon khas bangunan tradisional Tionghoa.
Vihara Dharmayana adalah tempat warga keturunan Tionghoa melakukan sembahyang sehari-hari. Meski demikian, vihara ini terbuka bagi siapa pun yang ingin berkunjung, tidak hanya mereka yang ingin sembahyang. Karena itu turis pun bisa berkunjung ke vihara ini. Bahkan Dalai Lama berkunjung ke vihara ini pada 1982 silam.
Makam Mads Lange
Dalam berbagai buku tentang Kuta disebutkan bahwa pada zaman penjajahan Belanda, Kuta jadi salah satu pusat perdagangan di Bali. Saat itu, seorang warga Denmark bernama Mads Johansen Lange menjadi syahbandar Kuta.
Di tangan Tuan Lange, demikian dia biasa dipanggil, Kuta makin berkembang maju dan terkenal. Berbicara tentang Kuta juga tak bisa dilepaskan dari posisi Tuan Lange meski agak berbau kolonial.
Makam Mads Lange berada ada di bagian timur Kuta, di samping Tukad Mati, berjarak sekitar 100 meter dari jalan By Pass Ngurah Rai Kuta. Ada jalan Tuan Lange seperti menunjukkan betapa pentingnya posisi Lange sehingga namanya diabadikan sebagai nama jalan.
Saat ini tak banyak yang bisa dilihat di makam Mads Lange. Hanya ada monumen setinggi sekitar 3 meter dengan tulisan Sacred to the Memory of Mads Johansen Lange. Monumen ini agak terpisah dari kuburan-kuburan lain di kompleks kuburan Tionghoa tersebut.
Menurut sejarah, Mads Lange memang menikah dengan perempuan keturunan Tionghoa. Karena itu dia pun dimakamkan di kuburan Tionghoa ini. Tanpa penunggu dan keterangan tertulis tentang tempat tersebut, makam Mads Lange pun tak bisa bercerita banyak tentang sejarah Kuta.
Warung Poppies
Beberapa orang tua di Kuta menyebutkan Warung Poppies sebagai salah satu tempat bersejarah di desa ini. Alasannya sederhana, warung ini termasuk yang pertama buka di Kuta. Hingga saat ini, dia menjadi rujukan resto terbaik di Kuta.
Warung Poppies berada di Gang Poppies. Gang ini terkenal sebagai pusat para hippies yang datang ke Kuta, Bali sejak 1960-an. Hingga sekarang, popularitas Gang Poppies di Kuta belum tergantikan.
Menurut sejarah di websitnya, Warung Poppies didirikan oleh dua turis dari Amerika, George dan Bob. Mereka mendirikan Warung Poppies bersama gadis Bali Zenik Sukenny yang sebelumnya sudah mengelola warungnya sendiri, Warung Jenik. Warung itu kemudian dimodifikasi sekaligus sebagai tempat menginap.
Hingga sekarang, Warung Poppies masih menjadi tempat makan populer bagi turis asing maupun domestik. Menu yang disajikan tak hanya menu nasional tapi juga menu Barat. Suasana warung yang mirip rumah membuatnya homey sebagai tempat bersantap.
Monumen Bom Bali
Dua kali bom di Kuta pada 2002 dan 2005 merupakan bagian dari catatan gelap Kuta maupun Bali. Bom pertama pada 12 Oktober 2002 menjadi salah satu bagian paling menyedihkan dalam perjalanan Bali, khususnya Kuta.
Toh, bagi banyak orang di Bali, pengeboman di Kuta pada 2002 justru menjadi upaya untuk memperkuat solidaritas antar-agama, antar-etnis, ataupun antar-bangsa. Upaya ini memang tak mudah tapi terus dilakukan.
Salah satu cara untuk mengenang para korban tersebut adalah Monumen Bom Bali di Jalan Legian, Kuta. Monumen ini berada di seberang lokasi yang dibom 13 tahun silam. Dia menjadi salah satu land mark Kuta. Tak sedikit turis berkunjung dan berfoto-foto di sana.
Ada nama-nama 202 korban yang tewas akibat pengeboman tersebut. Di sana, kita bisa melihat nama-nama warga berbagai negara itu sambil berdoa agar kebiadaban itu tak terjadi lagi di Bali. [b]
Comments 1