Etiskah mengeksploitasi binatang saat atraksi wisata satwa?
Pariwisata merupakan salah satu penghasil devisa terbesar bagi Indonesia di luar sektor migas. Tidak heran, sektor ini mendapatkan perhatian besar pemerintah Indonesia untuk menunjang pembangunan.
Ini terbukti dengan berbagai upaya seperti mencanangkan Tahun Kunjungan Indonesia dan bebas visa. Tujuannya untuk menarik minat wisatawan datang ke Indonesia.
Perkembangan pariwisata Indonesia tidak terlepas dari kemajuan teknologi informasi dan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat global untuk pemenuhan kebutuhan berlibur. Dengan berbagai kekayaan budaya, bentang alam dan rekayasa atraksi lainnya, Indonesia acap kali menjadi tujuan utama perjalan wisata dunia.
Untuk tetap menarik dan memanjakan wisatawan yang berlibur, berbagai atraksi budaya seringkali dirancang bahkan dengan dana yang tak tanggung-tanggung. Tidak hanya sampai di situ, dengan modal bentang alam, kekayaan flora dan fauna yang memukau, Indonesia dengan mudah menjadikan potensi alam ini sebagai sumber devisa.
Di sinilah kepentingan pemerintah dan pemodal menemukan titik temu. Pemerintah menyediakan regulasi dan sederet program. Pemodal menanamkan modal dengan menyediakan berbagai akomodasi dan atraksi wisata. Termasuk pula membuka peluang-peluang pasar lebih luas.
Wisata Satwa
Salah satu varian atraksi wisata yang banyak berkembang di berbagai negara tujuan wisata adalah atraksi yang menjadikan binatang sebagai obyek utamanya. Atraksi inilah disebut animal based tourism atau wisata satwa. Bagian dari wisata satwa meliputi tur keliling dengan menunggangi binatang, pertunjukkan kelincahan, keindahan dan kepatuhan binatang serta lainnya.
Tingkah lucu, keindahan dan kepatuhan binatang buas yang harusnya hidup di alam liar, kini dengan mudah bisa dinikmati di kebun binatang atau di tempat-tempat atraksi wisata yang menjadikan binatang sebagai obyeknya.
Di Taro, Gianyar, Bali misalnya, wisatawan bisa menemui, berinteraksi bahkan menunggangi gajah yang secara naluriah harusnya hidup liar di alam bebas. Hampir semua gajah yang digunakan sebagai objek atraksi di Desa Taro didatangkan dari Sumatera.
Gajah-gajah yang masih kecil dipaksa berlatih setiap hari oleh pawang agar mengetahui medan wisata yang akan ditempuh untuk mengantarkan wisatawan.
Wisata satwa tidak hanya bisa ditemui di Indonesia. Di beberapa negara seperti India dan Thailand juga dengan mudah bisa kita temui berbagai atraksi wisata yang mengandalkan binatang sebagai daya tarik bagi wisatawan.
Berbeda halnya dengan Indonesia, Thailand merupakan negara yang memiliki kedekatan khusus dengan gajah. Baik kedekatan sejarah, sosial bahkan kultural. Pendek kata, gajah menjadi simbol penting bagi masyarakat Thailand.
Belakangan ini, wisata satwa sedang mendapat tantangan serius dari kelompok pemerhati binatang yang memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan satwa. Hal ini seiring makin tumbuhnya kesadaran orang bahwa binatang juga memiliki hak untuk hidup layak.
Selain juga karena banyaknya kasus penyiksaan dan penelantaran binatang di kebun binatang. Padahal kebun binatang seharusnya menjadi tempat konservasi, pendidikan, penelitian dan tempat paling aman bagi binatang agar terhindar dari perburuan liar.
Sebut saja kasus kematian beberapa hewan di kebun binatang Surabaya, Bandung dan Yogyakarta yang diduga akibat penelantaran dan buruknya management pengelola. Kematian hewan di kebun binatang Bandung bahkan sempat memunculkan petisi online “Selamatkan kebun binatang Bandung”.
Tidak berbeda jauh dengan nasib binatang di kebun binatang tersebut di atas, wisata satwa yang mengandalkan binatang sebagai obyeknya juga seringkali diwarnai penyiksaan. Atraksi menunggangi gajah oleh wisatawan untuk menelusuri berbagai jalur yang disediakan pengelola wisata satwa misalnya, seringkali sarat penyiksaan.
Sisi Kelam
Inilah sekelumit sisi kelam atraksi gajah yang tak banyak orang tahu. Beberapa orang menghabiskan waktu berlibur dengan melakukan kunjungan ke destinasi wisata yang memungkinkan mereka untuk menunggagi gajah.
Berbagai persoalan penyiksaan dan penelantaran hewan ini muncul disebabkan oleh berbagi hal. Sebagaimana dilansir dari Tirto.id, Marison Guciano pendiri Indonesia Animal Welfare Society menjelaskan, hal ini salah satunya karena Indonesia belum memiliki standar kesejahtraan satwa sehingga memunculkan ekploitasi, pelecehan dan kekejaman.
Kebiasaan menunggagi gajah sebaiknya dihentikan. Penderitaan yang dirasakan gajah di antaranya dipisahkan oleh orang tuanya. Gajah kecil yang seharusnya dilindungi orang tuanya, tetapi justru dilatih dan dipaksa untuk menuruti pawangnya. Walaupun tempat gajah didesain berdasarkan habitatnya masih saja gajah-gajah baru dilatih setiap hari tanpa henti.
Penderitaan bayi gajah dimulai ketika dia ditempatkan di kandang sempit. Proses pelatihan dilakukan untuk mengontrol sikap gajah. Pawang gajah biasanya menggunakan alat bantu seperti kayu yang berisi paku.
Mereka juga mengeksploitasi tenaga gajah hingga jam tidur mereka berkurang. Tujuannya untuk mempercepat proses pelatihan dan mampu menuruti perintah pawang.
Pemanfataan gajah sebagai bagian dari tur juga dapat memberikan dampak buruk terhadap punggung gajah yang tidak boleh dibebankan lebih dari 130 kg. Nyatanya punggung gajah tidak hanya dinaikki oleh dua orang. Sebagai penyangga, punggung gajah dipasangi pelana sebagai tempat duduk yang digunakan untuk berkeliling.
Cedera tulang punggung sangat mungkin terjadi karena atraksi tur dibuka setiap hari dan dilakukan berulang-ulang. Kegiatan yang berulang-ulang bisa jadi menimbulkan depresi yang dialami gajah. Ini mungkin dirasakan oleh gajah-gajah di berbagai tempat wisata yang menyajikan atraksi wisata gajah.
Atraksi wisata yang menggunakan gajah tidak hanya menyisakan depresi dan cedera punggung, tetapi juga secara tidak langsung menegaskan bahwa wisata satwa mengabaikan kesejahteraan hewan. [b]