Ide tentang wisata halal di Bali kembali jadi kontroversi.
Naiknya Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memicu kontroversi lama. Kontroversi itu adalah Sandiaga Uno pernah menyampaikan ide tentang wisata halal di Bali. Karena berseliweran di sosial media, serba tidak jelas dan merambat ke mana-mana, saya berusaha menjernihkan beberapa poin.
Kalau memang ini dipakai sebagai jargon, ini bisa jadi kontraproduktif karena tidak benar atau bohong, yang justru akan mengecewakan wisatawan. Kontroversi jargon Bali sebagai wisata halal, memang benar mengganggu karena tidak sesuai dengan logika. Kalau boleh saya sarankan untuk dipertimbangkan.
Politisi yang sengaja menggiring arah narasi topik nasional ke arah politik identitas, bukan untuk kita tetapi untuk memuaskan pemilihnya, yang merasa identitas itu penting. Karena saya bukan politisi, saya tidak akan membahas soal ini lebih jauh.
Yang perlu kita lakukan adalah menjawab dengan jawaban berlogika menurut ilmu pariwisata.
Dasar orang berwisata adalah plesiran, refreshing, melihat sesuatu yang baru, mengalami sesuatu yang baru, baik tempat, manusia, dan budayanya. Itu dasar pemikirannya. Jadi bukan jenis wisatawan yang menentukan daerah tujuan wisata.
Pariwisata itu satu kata, tapi bisa berarti macam-macam, terkadang orang mencampur-adukan di antaranya sehingga membingungkan dan kacau balau.
Satu daerah tujuan wisata, sesuai dengan namanya tempat dengan segala isinya baik alam, manusia dan budaya tempat tujuan, berdasarkan wilayah atau spesifik tempat. Aset (alam, manusia, budaya) dari tujuan wisata inilah yang kemudian digali dan dilengkapi yang kemudian menjadi sebuah produk wisata, yang kemudian dipasarkan dengan jargon, misalnya wisata budaya Bali.
Jadi produk yang dijual adalah produk yang sesuai dengan asetnya. Bukan produk marketing mengikuti aset yang ada. Tidak mungkin kita jualan sate kambing kalau kita pelihara babi.
Wisatawan adalah orang dari berbagai jenis identitas. Tujuannya bepergian untuk refeshing, melihat tempat, budaya, manusia yang baru, untuk melepas penat dan sesuatu yang baru yang dilihat. Kalau orang Bali berwisata di Bali sekalipun, pasti mencari sesuatu yang berbeda, setidaknya tempat, objek.
Fasilitasi Destinasi
Destinasi wisata yang baik akan memenuhi fasilitas kebutuhan wisatawan. Apapun identitasnya. Ini ditentukan oleh dua hal, kebutuhan pasar dan budaya setempat, meskipun pasarlah sebagai penentu. Biasanya fasilitas itu sudah tersedia di Bali. Sebagai tujuan wisata internasional, Bali sudah memiliki banyak fasilitas besar, dari bandara, hotel dan daerah tujuan wisata.
Rancunya pemahaman ketika melengkapi fasilitas, dibuat menjadi jargon marketing pariwisata yang dibicarakan justru jargonnya. Bukan soal fasilitasnya. Aset pariwisata Bali bukanlah produk halal, karena budaya dan adat istiadat di Bali tidak memungkinkan untuk dijual sebagai produk halal. Kalau itu dilakukan, justru menjadi pemasaran yang bohong. Wisatawan akan kecewa.
Kalau Bali dipasarkan sebagai Bali. Sesuai dengan alam manusia dan budayanya, tetapi memiliki fasilitas yang lengkap untuk semua identitas agama, itu benar. Kalau wisatawan ke Bali dengan berwisata halal, datang ke tempat-tempat halal saja. Namanya tur halal. Tak masalah. Memang sudah ada yang demikian.
Jadi, menurut saya, permasalahan utamanya karena rancunya pemahaman dan komunikasi yang tidak memisahkan antara Bali sebagai destinasi, jenis wisatawan dengan produk tournya dan kelengkapan fasilitas.
Intinya jenis wisatawan, yang memerlukan fasilitas tertentu, tidak bisa sebagai jargon produk daerah tujuan wisata, karena tidak benar.
Maaf kalau ada yang salah kata. Mudah-mudahan berguna. [b]