Oleh Arief Budiman
Bagi masyarakat di Bali dan mahasiswa perantau Nasi Jinggo tak asing lagi nama dan rasanya. Banyak daerah di Indonesia punya nasi semacam ini. Ada sego kucing, nasi pincuk, dan nama-nama lain yang sangat khas. Pada intinya nasi jinggo adalah porsi kecil dari nasi campur dengan isi nasi dan beberapa lauk pauknya berupa mi goreng, daging ayam siwir, sayur urap atau biasa juga serundeng dan tentunya sambal pedas. Variasi dan versinya tergantung tapi yang pasti terbungkus oleh daun pisang.
Tak jelas asal muasal namanya yang unik ini. Ada yang mengatakan karena jualannya hingga tengah malam, pembelinya kerap adalah “jagoan-jagoan” yang identik dengan jango atau koboy. Tapi ada juga yang bilang karena porsi dan harganya yang murah itu. Di Denpasar kita dapat menemukannya di pelosok kota dan jalan-jalan utama. Biasanya muncul menjelang malam bahkan ada yang buka hingga pagi hari. Konsumennya sangat beragam dan sangat familiar bagi mahasiswa yang tengah begadangan mengerjakan tugas atau para pekerja malam hari.
Tapi yang ingin diceriterakan sekarang bukan soal nasi jinggo yang itu. Ini adalah kiat lain mengangkat value nasi jinggo yang dilakukan oleh Warung Warung dengan mengemas nasi jinggo bermerek dengan pilihan lauk pauk. Warung Warung adalah restoran sederhana namun memiliki style yang tasty dan menu yang disediakan adalah masakan Indonesia ala rumahan. Gerainya ada di Mal Bali Galeria dan di Kartika Plaza Tuban.
Warung Warung yang pemilik dan pengelolanya adalah anak anak muda kreatif ini menawarkan Nasi Jinggo bermerek Jeng Gouw dengan tiga pilihan isinya sesuai kesukaan kita. Ada Nasi Bali Ayam, Nasi Dendeng Pedas dan Nasi Udang Gurih. Jika kita punya gathering dan memerlukan 50-an bungkus nasi jinggo maka akan diberikan ketiga menu pilihan tersebut. Bagaimana rasanya? Tentu saja sangat nikmat dan tak akan cukup melahap hanya satu bungkus.
Harganya? Nah untuk yang ini coba tebak sendiri. Yang jelas pastinya lebih mahal dari yang biasa kita dapatkan di warung pinggir jalan. Namun konsep bermerek alias brandingnya pasti menjamin dan sangat acceptable. Apakah konsep branding nasi jinggo ini akan mengganggu ekonomi rakyat? Tak perlu gawat gawat. Selain ini soal bagaimana kreativitas mengemas, pasarnya juga berbeda.
Warung Warung Mal Bali Galeria Telp. 0361 – 7417169
Warung Warung Jl Kartika Plaza No 21 Telp. 0361 – 757611
kata jinggo berasal dari bahasa cina, dialekt hokkien,
berarti seribu lima ratus. alhasil nasi jinggo yang asli harganya cuma boleh rp. 1500,-. perkara kwalitasnya ditingkatkan, itu adalah masalah pedagang nasi tersebut.
yang terpenting bagi konsumen hanya harus membayar rp.1500,- per bungkus. kalau harganya melebihi 1500,-, maka nasi tersebut tidak layak disebut nasi jinggo.
>>>>>
Nasi jinggo, menurut hasil obrolan saya dengan Made Budiana (pelukis) pertama kali di jual di pertigaan Suci, sebelah barat Lapangan Puputan Badung. Nama Jinggo dipakai karena waktu pertama kali dijualnya sedang populernya film Django–http://www.imdb.com/title/tt0060315/–70-an di Bali. Dari kata Django inilah kemudian menjadi Jinggo (gejala bahasa apa-lah namanya saya lupa?). Jadi bukan karena harganya, karena sewaktu saya SMP, pertengahan 1990-an nasi Jinggo dijual seharga Rp 500,00 per bungkus sekarang antara Rp 1000,000 sampai dengan Rp 2000,00.
Nasi jinggo mulai terkenal awal 80-an namun penjualnya masih di seputaran Pasar Kumbasari dan Pasar Badung. Yang paling terkenal dari dulu sampai sekarang ada disebelah utara Kuambasari, Gang Beji.
>>>>>
Kayanya “Warung Warung” itu perlu masang posternya Jango lengkap dengan senapan mesin dan peti matinya 🙂
Saya telah meninggalkan bali sejak akhir tahun 1976, saya berasal dari dan besar ( sampai SMA bertempat tinggal ) di Gang beji. Gang beji sejak beberapa tahun yang lalu dan hingga saat ini juga masih dikenal sebagai tempat makan nasi jenggo, walaupun saat ini volumenya sedikit berkurang, namun tetap menjadi tujuan bagi anak muda untuk menikmati nasi jenggo. Nasi jenggo ini seringkali saya perkenalkan jika mengajak teman saya baik dari Jakarta maupun Semarang yang berkunjung ke bali, selalu saya ajak makan nasi jenggo di gang beji. pada akhir tahun 2009 saya mengajak beberapa orang kaya dari semarang ke bali, mereka meminta saya untuk mencari makan tradisional yang kira-kira bisa dinikmati mereka. siang hari saya ajak makan di warung Wardana ( renon ) karena warung makan Wardani yang semula menjadi tujuan kami sedang tutup karena ada upacara adat. Kemudian pada malam hari saya ajak kerumah kami di gang beji, disana kami sajikan nasi jenggo dan ditutup dengan sajian dari rujak kuah pindang buatan adik. 4 orang rekan saya tersebut merasa sangat senang dengan sajian tersebut dan bahkan di airport ngurah rai saat ybs. kembali ke samarang kembali mencari nasi jenggo yang kemudian beberapa bungkus dibawa sebagai oleh-oleh ke semarang. Hingga saat ini teman teman kami tersebut sangat tewrkesan dan selalu menginginkan untuk menikmati nasi jenggo dan rujak kuah pindang asli bali.
melihat respon tersebut, rasanya perlu dikembangkan penjualan nasijenggo dan rujak kuah pindang ini untuk go nasional dan menjadi tujuan kuliner bagi masyarakat luar bali.
kalau ditempatku, namanya nasi kucing. harga cukup seribu perak. lauk beragam dan ada tulisannya. takaran ini cukup membuat kita langsing. mau coba ?
sewaktu saya main ke rumah teman ku di samarinda,saya ketemu dngn pemilik warung jinggo di SCP tepat nya di jalan samosir,ketika saya menanyakan asal usul warung jinggo ternyata jinggo itu berasal dari kata jenggo…cerita nya begini mkt dulu sering ada kumpulan para pemuda yg baru pulang dari bioskop,dan setelah mereka bubaran mereka berkumpul di salah satu warung,dan akibat warung itu d penuhi oleh para pemuda (jenggo) maka warung itu di sebut warung jinggo sampe sekarang,,untuk harga menu nya pas dengan isi kantong celana kita yg masih pengangguran…begitulah kurang lebih asal usul warung jinggo…trima kasih