Teks dan Foto Eka Juni Artawan
Biar hidup di desa yang penting rezeki tetap mengalir.
Barangkali ungkapan itu tepat untuk seorang Me Karti, 61 tahun, meme (ibu) yang rambutnya sudah mulai memutih ini. Ibu tiga putri ini tinggal di sebuah rumah kecil yang luasnya sekitar satu setengah are. Ia membuka sebuah warung sederhana di depan halaman rumahnya, di Desa Gumbrih, Jembrana.
Lokasi ini berjarak sekitar 2 Km ke arah barat dari perbatasan Kabupaten Tabanan dengan Kabupaten Jembrana. Di sisi kiri jalan raya ada sebuah gubuk dari bambu tempat para pelanggan duduk santai di bawah teduhnya nyiur yang melambai.
Di ruangan berukuran 3×4 meter persegi, ia menggelar daganganya di atas sebuah meja ukuran besar. Aneka buah-buahan segar untuk bahan rujak, jajanan bali, es campur, camilan-camilan yang digantung serta tipat cantok khas Bali.
Keuletan dan kegigihannya berdagang telah banyak memperoleh pelanggan.Tidak jarang para langganannya berasal dari luar daerah.
Ketika di temui, ada sejumlah pemuda serta ibu-ibu sedang sabar mengantri. Mereka mengamati gerak gerik Men Karti berjualan. Tangan dan jemarinya yang lincah tiada henti-hentinya meremas serta membungkus para pesanan.
Cukup hanya dengan Rp 1.500, sebungkus tipat cantok sudah bisa dibawa pulang atau langsung santap di tempat. Sungguh murah. Di saat sibuk, ia dengan ramah meladeni para langganannya sambil mengobrol bahkan sambil bercanda.
Ketika ditannya kenapa harus berjualan sendiri ia menjawab enteng, “Gegaen amune, sing perlu ajak liu ne nulungin.” Artinya, kerjaan seperti ini cukuplah dilakukan hanya seorang diri.
Dulunya ia pernah dibantu putri bungsunya. Karena sudah memperoleh pekerjaan yang jauh lebih bagus, anaknya memilih untuk meninggalkan pekerjaan ini.
“I pidan meme medagang ajak I Komang. Sekat ye be maan gae di villa suud.” Dia bilang, ia sempat dibantu putrinya I Komang. Namun, semenjak dapat kerja di vila, langsung berhenti.
Kemasan tipat cantok yang sederhana yakni masih dari daun pisang memberi kesan kehidupan di desa yang masih serba alami. Bahkan, cita rasa serta campuran makanan yang disajikan tidak menggunakan pemanis buatan sama sekali. Misalnya, es campur ala Me Karti
Jika berbelanja di sini, uang Rp 5.000 sudah bisa mengisi penuh tas plastik tanggung dengan rujak, tipat cantok serta es campur.
Tidak hanya penduduk lokal di sini yang mengakui kekhasan serta harga murah warung Me Karti. Para pencari nafkah yang merantau ke kota dan kebetulan pulang kampung masih sempat singgah.
Ika Natalia, natalia, salah satunya. Dia mengharapkan di daerah tempatnya ia merantau ada warung setara dengan Me Karti.
“Coba di Badung ada lontong yang harganya murah. Pasti rame orang belanja,” katanya sambil menyantap tipat.
Selain pelanggan tetap, Me Karti juga memiliki pelanggan musiman. Pada musim panen, para petani ladang turut meramaikan antrian, tipat cantok,serta rujak sebagi peneman di sawah atau di ladang saat waktu istirahat siang.
Per harinya, keuntungan bersih yang ia peroleh bisa mencapai Rp 50.000 untuk hari biasa. Dia hampir tidak pernah mengalami rugi, apalagi jika jam pulang sekolah para anak pelajar SMP yang tidak jauh dari warungnya. Tentu, ini menjadi sebuah berkah baginya. [b]
beh men kartija bisa go internasional yang anak gumbrih yang lain pada kemana