Saya masih ingat betul kritik kami pada PKB media 2001.
Kami, saya dan beberapa teman, dengan keberanian dan sedikit nekad mengkritik Pesta Kesenian Bali (PKB) sebagai Pesta Kapitalisme Bali. Saat itu, kampus ISI Denpasar hanya dijadikan tempat parkir. Tertulis di plang besi di pinggir jalan bukannya “Hati-Hati ada Upacara Adat”, tetapi “Parkir ISI Denpasar”.
Menyedihkan. Institusi kesenian terpuruk hanya menjadi lahan parkir.
Pada saat itu juga, even “Mendobrak Hegemoni” berlangsung pada Februari 2001. Pameran ini lumayan membuat heboh dunia kesenian dan kebudayaan di Bali. Sebelumnya, mengiringi gerakan Mendobrak Hegemoni, Komunitas Pojok berpameran keliling di ruang-ruang publik bertajuk “Fuck Seni Kapitalis” yang mengkritik dunia seni visual Bali yang berkubang dalam labirin kapitalisme (baca: pariwisata).
Jejaring dan kuasa seni visual Bali adalah potret dari kemandegan kritik kebudayaan itu sendiri. Eksponen gerakan Mendobrak Hegemoni kemudian mendirikan Klinik Seni Taxu dan menggebrak dengan pameran Memasak dan Sejarah pada Juni – Juli 2004.
Belakangan, Komunitas Pojok dan beberapa komunitas kesenian lainnya menginisiasi Bali yang Binal sejak 2005 untuk mengkritik pelaksanaan Bali Bienalle yang hanya berlangsung sekali dan terkubur entah ke mana.
Hingga kini, Bali yang Binal terus berlangsung.
Sependek pengetahuan saya, gerakan Mendobrak Hegemoni, Pesta Kapitalisme Bali, dan Bali yang Binal yang kemudian melahirkan Komunitas Pojok dan Klinik Seni Taxu (alm) inilah gerakan kritik kebudayaan Bali kontemporer. Pada saat itu, dunia kritik kebudayaan Bali sunyi senyap tanpa gebrakan apapun (hingga kini?).
Saya mungkin mensederhanakan berbagai even lain yang megah dan dianggap penting pada masa itu. Namun, sependek pengetahuan saya, dunia kritik kebudayaan (kesenian) Bali selalu malu-malu menunjukkan kritik kerasnya. Yang terjadi adalah involusi (pengulangan) even-even kesenian tanpa spirit berarti.
Pencanggihan seni yang mengabdi kepada kepentingan “budaya pariwisata”, yang seolah tidak menawarkan apapun dalam pergolakan kritik kebudayaan Bali. Layaknya mesin dan rutinitas. “Pang ade gen pameran.”
Jika disebutkan terjadi kemandegan, rutinitas pameran selalu menghebohkan pemberitaan media massa dan gosip media sosial. Even-even seni dan kebudayaan berlangsung tiada henti.
Namun, apa yang terjadi setelah itu? Tidak lebih dari rutinitas yang tanpa menawarkan kritik apapun. Adakah yang bisa kita renungkan mendalam dalam membingkai kritik kebudayaan Bali kontemporer? Bagaimana gerakan kritik kebudayaan ini terwakili dalam event Pesta Kesenian Bali misalnya?
Mesin Kebudayaan
Hanya dengan oli untuk melumaskan mesin kebudayaanlah manusia Bali bisa hidup dan bertaruh di daerahnya sendiri. Berbagai jargon-jargon pasca Ajeg Bali kini hadir berlimbah. Salah satunya adalah Nangun Sad Kertih Loka Bali.
Selain itu, gempuran hibah-hibah untuk praktik ritual masyarakat Bali hadir silih berganti. Benteng kebudayaan Bali, desa adat, dibuatkan peraturan daerah khusus sebagai pondasi menjaga kebudayaan Bali. Penguatan kebanggaan sebagai orang Hindu Bali dengan berpakaian adat dan aksara Bali terus dipompa.
Berbagai ormas dan politisi juga berkomentar nyaring untuk pelestarian kebudayaan Bali.
Wacana pelestarian dan penguatan kebudayaan kembali nyaring terdengar. Samar-samar, saya menduganya tidak berbeda dari suara sebelumnya, saat Ajeg Bali latah terucap. Fanatisme lokal dan ancaman keterdesakan menjadi amunisi pemompa sentimen ke-Balian yang ampuh.
Tokoh-tokoh publik, dengan sadar saya kira, memainkan ini untuk mengaduk emosi orang Bali yang sedang panik terhimpit.
Saya menaruh curiga jika kita selalu berlindung di balik kebudayaan dan melumaskannya terus-menerus, tanpa adar kita telah menggadaikan pada suatu hal yang kita pahami samar-samar? Apa bentuk menjaga kebudayaan Bali? Apa imajinasi kita tentang pelestarian kebudayaan?
Jika imajinasi kita masih samar-samar dan anti-kritik, kita akan perlahan, tetapi pasti terjebak menjadi manusia picik. Berpikir pragmatis dan sing nyak ruwet (tidak mau ribet) adalah awal mula kehancuran Bali.
Berbagai jargon dan mesin kebudayaan yang terpapar kini, menarasikan wacana tunggal anti-kritik. Seolah-olah cinta kebudayaan Bali tetapi menepikan beberapa jejak-jejaknya yang dianggap “kiri” dan tidak penting. Jejak kekerasan 1965, ormas dan politik, dan saling tikam antar sesama manusia Bali harus disimpan dalam selimut kecintaan terhadap budaya Bali yang adilihung dan cinta damai.
Jika demikian adanya, generasi yang dihasilkan adalah generasi pragmatis, dangkal, sing nyak ruwet tersebut. Kritik dan meresapi jejak-jejak yang tersingkir dalam politik kebudayaan Bali dianggap tidak berpikiran ke masa depan.
Ironis.
Apakah even kebudayaan megah bertajuk PKB menghadirkan ruang untuk kritik kebudayaan tersebut? Saya pesimis. Saya justru melihat harapan itu justru muncul dengan geliat ruang-ruang publik yang menjadi oase dari involutifnya gerakan kritik kebudayaan Bali. Hadirnya Taman Baca Kesiman, Komunitas Mahima (Buleleng), Rompyok Kopi (Jembrana), Rumah Sanur, Kulidan, dan yang lainnya menyemai kritisisme generasi muda Bali.
Gerakan ForBali Tolak Reklamasi Teluk Benoa menjadi medium yang penting untuk memahami pergolakan kritisisme generasi muda Bali. Di samping itu, hal yang juga penting diperhatikan adalah transmisi gerakan sosial yang menyentuh organisasi sekaa teruna (organisasi pemuda desa) dan Desa Adat. Saya melihat ada oase baru dalam menyemaikan gerakan social dan kritisisme dalam Bali kontemporer.
Kritik Kebudayaan
Namun, jika kita melihat even-even kebudayaan dan kesenian akbar juga terperangkap dalam wacana mesin kebudayaan ini. Rangkaian pesta tahunan Pesta Kesenian Bali (PKB) setali tiga uang. Pesta tahunan ini tidak ubahnya seperti mesin dalam rutinitas kebudayaan Bali.
Karena sudah menjadi mesin dan rutinitas, kehadirannya tidak memberikan pelajaran dan refleksi apapun dalam dunia kritik kebudayaan Bali. Tidak heran yang terjadi tidak hanya kemandegan kritisisme, tetapi alpa untuk memikirkan kritik. Hampir mustahil gerakan kritik kebudayaan dalam Mendobrak Hegemoni atau Komunitas Pojok direnungkan dalam-dalam.
Kehadiran pesta kebudayaan Bali ini juga melegetimasi apa yang disebut oleh Foucault (via Aditjondro, 1994) sebagai inisiatif “kekuasaan resmi” yang selalu mendukung dan mengembangkan “pengetahuan resmi.” Kurang lebihnya, inilah pentas puncak-puncak kesenian daerah yang ditampilkan selama sebulan perhelatan pesta.
Berbagai pentas kesenian berlangsung, tetapi tidak begitu dengan transmisi kebudayaan yang terjadi di tengah masyarakat. Jika pondasi yang ditanamkan adalah proyek, memantik gerakan sosial kebudayaan adalah kemustahilan. Kita akan tetap saja terhenti pada persoalan pelestarian kesenian dan “memelihara” stabilitas kebudayaan. Tanpa belajar dari kritik.
Praktik kebudayaan juga menafikkan kelahiran kritikus-kritikus kebudayaan (kesenian) yang bernas. Yang ada hanyalah akademisi, seniman, dan kritikus yang dengan pongahnya menghamba kepada kekuasaan. Mentalnya adalah sebagai tukang cap akademik kegiatan kebudayaan dan kesenian.
Ini yang memprihatinkan di Bali.
Saya meyakini ada yang hilang dalam rutinitas praktik kebudayaan resmi yang berlangsung dalam PKB atau even kebudayaan lainnya. Saya kok melihat even-even kesenian cap pemerintah tidak ubahnya sebagai proyek mekanik (mesin) yang tanpa naluri kritisisme. Keinginan besar untuk menarasikan kebudayaan, khususnya kesenian Bali, adalah hal yang umum dan abstrak.
Jika suatu wacana terbangun secara umum dan abstrak, semakin umum pula kekuasaan yang menyertainya, semakin terbuka pula munculnya bentuk-bentuk wacana dan kekuasaan alternative di aras lokal.
Saya masih merindukan kehadiran wacana-wacana kebudayaan Bali yang terempas—tersisih dari “kebudayaan dan pengetahuan resmi” yang sedikit tidaknya direpresentasikan dengan Mendobrak Hegemoni, Fuck Seni Kapitalis, atau Pesta Kapitalisme Bali, dan gerakan lainnya.
Hanya dengan berefleksi dan membuka kritik Bali akan selalu hidup sebagai spirit yang terus bergerak, bukannya Bali yang terus-menerus merindukan mesin kuasa kebudayaan bernama pelestarian. [b]