Masih ingat KPI menyensor tayangan karakter tupai pada film kartun di televisi? Atau menyensor pakaian peserta pada ajang pageant di Indonesia? Itu baru dua hal-hal yang diurus KPI berakhir jadi meme sampai kecaman masyarakat.
Belum berhenti disitu, masih segar kabar tentang adanya pembahasan revisi UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Regulasi yang tengah dibahas DPR RI ini dikhawatirkan dapat mengekang hak publik dalam mengakses konten penyiaran yang beragam. Selain publik, beberapa pekerjaan akan terancam independensi dalam membuat karya. Seperti jurnalis investigasi yang turut dibahas.
Ini akan menjadi ancaman terhadap kebebasan pers dan berpotensi membatasi kebebasan berekspresi dalam konten digital. Wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan diperluas seperti pengawasan platform digital yang akan menyerupai media televisi. Regulasi ini dijelaskan dalam RUU Penyiaran yang saat ini sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Direktur Eksekutif Remotivi, Yovantra Arief berpanangan, dalam draf RUU yang diperoleh pada 2 Oktober 2023 lalu terdapat perluasan cakupan wilayah penyiaran dari media konvensional seperti TV dan radio, menjadi penyiaran digital. Dengan begitu, platform digital layanan over the top (OTT) atau tv streaming seperti Netflix, Amazon Prime, Vidio, dan platform lainnya harus tunduk pada UU Penyiaran yang baru.
Kondisi meresahkan ini membuat berbagai lapisan masyarakat yang akan terdampak membuat gerakan untuk menolak RUU Penyiaran. Sebab pembatasan tersebut dianggap sebagai ancaman dalam kebebasan pers maupun keragaman konten digital. Remotivi sebelumnya telah merangkum kontroversi dalam UU Penyiaran. Perjuangan pun dilanjutkan dengan menerbitkan petisi bertajuk ‘Tolak Revisi UU Penyiaran yang Mengancam Kebebasan Pers dan Bikin KPI Mematikan Kreativitas’.
Petisi yang dimulai sejak 6 Mei 2024 ini telah ditandatangani sebanyak 9.616 akun dengan target 10.000 tanda tangan. Tak hanya kebebasan pers, konten digital pun dibatasi. Seperti konten yang mengandung unsur mistis, kekerasan serta berhubungan dengan rokok, narkotika dan gaya hidup negatif. Ini dapat menjadi blunder. Mengutip Konde.co, film Vina: Sebelum 7 Hari malah lolos ditayangkan di bioskop. Padahal ada banyak adegan kekerasan dan femisida yang ditayangkan dengan jelas tanpa ada peringatan maupun sensor. Film ini dianggap tidak berperspektif korban dan minim etika.
Ayo menyertai kebebasan berekspresi yang berdasar keadilan dan demokrasi! Tanda tangani petisinya sekarang.