Keinginan beberapa desa adat untuk membuat krematorium ternyata melebar ke mana-mana.
Krematorium atau tempat pembakaran mayat bagi warga yang telah meninggal dunia dianggap menjadi pilihan lebih praktis bagi umat Hindu Bali. Satu dua desa adat di Bali pun memulai mewacanakannnya. Namun, wacana ini jadi makan ramai, membuat ketersinggungan baik secara internal desa adat itu sendiri maupun orang-orang luar baik yang berkepentingan atau tidak.
Bahkan, upaya mendukung atau mengambil keputusan untuk melaksanakan upacara pengabenan melalui kremasi pun lalu dituduh sebagai Hare Krisna alias HK. Hare Krisna adalah sebuah aliran kepercayaan yang kini mulai banyak dikecam umat Hindu Bali seiring adanya penyelewengan dan pemahaman berbeda.
Aliran ini dipandang ingin merusak budaya dan agama Hindu. Pengikutnya dianggap tidak mau menyamabraya atau membangun solidaritas sesama warga Hindu Bali. Bahkan, ada juga yang mengatakan bahwa penganut Hare Krisna sebagai keturunan yang tidak mau berkorban demi orang tua yang meninggalkan.
Tudingan itulah yang membuat saya bertanya, saje keto, De? Benarkah tudingan itu?
Pertimbangan
Sebenarnya ada beberapa pertimbangan yang sekiranya diambil perwakilan pihak keluarga yang meninggal atau bahkan hasil parum atau rapat keluarga besar. Mereka tentu telah memikirkan banyak hal sebelum mengambil sebuah keputusan. Tidak melulu hanya soal HK atau Sampradaya atau upaya menghilangkan budaya dan agama Hindu Bali. Rasanya terlalu cetek jika kita sampai berpikiran seperti itu.
Kalian yang pernah mengalami prosesi penanganan upacara kematian atau pengabenan dalam budaya Bali pasti tahu. Apa dan bagaimana lika-liku proses yang harus dilalui demi mematuhi adat dan budaya yang telah dikenal selama berpuluh tahun. Prosesi ini melibatkan banyak orang dan juga pihak kelihan adat banjar serta warga lainnya.
Jika yang dibicarakan adalah soal uang dan pengeluaran, biasanya biaya terbesar untuk prosesi ini datang dari biaya banten dan konsumsi harian. Biaya itu terhitung sejak layon atau mayat telah dimandikan keluarga di rumah hingga puncak upacara. Apakah itu hanya sampai pada tahap pengabenan (pembakaran) atau memukur, bagian paling akhir.
Krematorium menjadi pilihan jaman jani karena proses dan besarnya kedua biaya tersebut rata-rata bisa ditekan. Utamanya persoalan konsumsi. Meskipun demikian rupanya banyak juga yang tak menyetujui pemilihan opsi ini.
Pemanfaatan krematorium sebenarnya hanyalah sebuah pilihan, bukan kewajiban. Pilihan itu telah mempertimbangkan beberapa hal seperti soal ketersediaan biaya. Agar jangan sampai keterpaksaan untuk berutang pasca ‘ngelah gae’ malah membebani masyarakat kita, seperti yang selama ini kerap terjadi. Padahal masih banyak hal yang membutuhkan uang kedepannya.
Seharga Minibus
Saya jadi ingat cerita seorang kawan dari sisi timur Bali. Ketika harus menjalani kewajiban ngaben orang tuanya mereka menghabiskan cukup banyak biaya. Kira-kira setara harga baru mobil minibus kelas menengah. Besarnya biaya itu lebih banyak berasal dari kewajiban menyediakan konsumsi bagi warga adat lainnya yang datang berkunjung selama menanti proses puncak upacara. Mengingat yang bersangkutan merupakan orang berpunya.
Ya, usai upacara itu dia memang masih bisa beraktivitas sebagaimana sebelumnya. Apa jadinya jika yang berada pada posisi itu adalah orang yang tak punya?
Mengambil salah satu pilihan ini serupa dengan empat jalan dharma atau bhakti yang bisa dilakukan oleh seorang pemeluk agama Hindu dalam upaya menuju pada-Nya. Ada yang masih ingat apa namanya?
Kremasi juga bisa menjadi pilihan ketika kewajiban menggunakan banten dan turunannya dipandang memberatkan secara biaya. Meski tidak menjadi penyebab secara langsung kepada prosesi kematian atau pengabenan, beratnya biaya banten ini juga berpotensi menyusahkan masyarakat adat Hindu di Bali. Padahal dalam ajaran agama Hindu, kalau tidak salah ada 9 tingkatan pelaksanaan Yadnya. Tingkatan itu bisa dipilih tanpa menghilangkan maksud dan tujuannya.
Tidak ada satu pemaksaan untuk mengambil tingkatan tertentu.
Belum lagi kalau upacara jatuh atau dilakukan saat masa pandemi begini. Di mana keramaian selalu diupayakan bisa lebih diperketat agar potensi penularan COVID-19 bisa dikurangi jika ada yang terdeteksi memilikinya meski tanpa gejala. Kan gak asyik kalo sampai pasca upacara pengabenan, malah memunculkan cluster baru serta potensi penularan COVID-19 pada orang lain?
Jadi, Anda pilih kremasi atau ngaben? [b])