Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah pengguna internet aktif.
Menurut APJII, dalam lima tahun sejak tahun 2011, sebanyak 132,7 juta penduduk Indonesia aktif berinternet. Sebesar 97,4 persen di antaranya melakukan aktivitas di media sosial (medsos).
Tingginya aktivitas media sosial tenyata memunculkan berbagai risiko. Salah satunya penyebaran berita dusta atau ‘hoax’. ICT Watch dan WatchdoC mendokumentasikan permasalahan berita palsu ini ke dalam sebuah film dokumenter berjudul Lentera Maya. Pembuatan film ini didukung Ford Foundation dan difasilitasi oleh Sekretariat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo.
Lentera Maya merupakan film kelima dari seri dokumenter ICT Watch yang mendokumentasikan bagaimana orang Indonesia berinternet. Film produksi ICT Watch memiliki lisensi gratis, karena itu film ini lebih banyak disebarkan melalui acara nonton bareng dan diskusi. Film ini telah ditonton di 7 kota di Indonesia sejak awal 2017.
Kini kesempatan menonton Lentera Maya sampai juga di Bali, 22 Maret lalu. Lokasi pemutaran film kali ini berada di luar Kota Denpasar, yaitu Balai Budaya Ida I Dewa Agung Istri Kanya Semarapura. Sebagai penyelenggara lokal, BaleBengong.net mengajak beberapa komunitas mengambil peran dalam acara nonton bareng ini, seperti Cineclue Klungkung, Bali Blogger Community, Nusa Penida Media, dan JCI Semarapura.
Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta menyempatkan diri hadir dan membuka acara nonton bareng ini. Meskipun tidak ikut menonton hingga akhir film Lentera Maya, Suwirta bercerita tentang kehebohan berita penculikan anak di Klungkung. Ada empat orang menjadi sasaran amuk massa karena dikira pelaku penculikan anak.
“Semuanya berawal dari penyebaran informasi di media sosial. Padahal kita belum tahu kebenarannya,” ungkap Suwirta.
Film berdurasi 40 menit ini menceritakan tentang dampak penyebaran berita palsu ternyata begitu besar. Meskipun awalnya berita palsu disebar karena keisengan pembuatnya. Nyatanya, berita palsu juga mampu mengundang kericuhan yang dahsyat, bahkan meningkatkan rasa kebencian. Film ini berusaha menyadarkan bahwa berita palsu bukan hanya karena iseng semata melainkan telah menjadi sumber pendapatan bagi si pembuatnya.
Usai menonton, acara dilanjutkan dengan diskusi bersama Matahari Timoer (ICT Watch), Bambang Dwi Anggoro (Kasubdit Teknologi dan Infrastruktur e-Governement, Dirjen Aptika Kemkominfo), Wayan Suweca (Kasat Intelkam Polres Klungkung) dan perwakilan BaleBengong.net. Wayan Sukadana dari Nusa Penida Media bertindak menjadi moderator.
Wayan Sukadana langsung memberikan kesempatan kepada penonton yang hadir saat itu. Beberapa di antaranya adalah para finalis Jegeg Bagus Klungkung, komunitas JCI Semarapura. Pertanyaan awal yang muncul adalah cara mengidentifikasi berita palsu.
Beragam jawaban terlontar dari para pembicara. Kasat Intelkam Polres Klungkung, Wayan Suweca mengungkapkan perlunya membandingkan berita dari berbagai sumber. Referensi dapat diambil dari berbagai sumber berita, bahkan bertanya pada teman terdekat mengenai berita yang diterima.
Wayan Suweca juga memberi contoh soal penyebaran isu provokatif menjelang Nyepi. Sebuah foto ogoh-ogoh yang berisi foto Raja Salman tiba-tiba beredar. Foto ini pun langsung menyulut emosi para netizen. Namun, belum ada yang menemukan keberadaan ogoh-ogoh yang dimaksud.
“Kami masih menyelidiki di mana keberadaan ogoh-ogoh itu. Katanya di Bali. Ada juga yang bilang di Jembrana. Belum ada yang tahu,” jelas Wayan Suweca.
Bambang Dwi Anggoro, perwakilan Dirjen Aptika Kemkominfo menambahkan bahwa hoax bisa berawal dari candaan. Menurutnya, jika tidak yakin pada informasi yang diterima, maka sebaiknya jangan disebarkan dulu.
“Langkah pertama jangan disebarkan, sepenting dan sehebat apapun informasi itu,” ungkap Bambang.
Langkah berikutnya, hampir sama dengan yang disampaikan Wayan Suweca, bertanya pada teman-teman. Lalu, mencari sumber informasi lain untuk membuktikan kebenaran berita yang beredar. Untuk itu, referensi dari berbagai sumber akan sangat membantu kita terhindar dari penyebaran informasi palsu, bahkan mencegah terjadinya kerusuhan.
Matahari Timoer, perwakilan ICT Watch melihat kondisi media sosial saat ini dipenuhi berbagai macam kebencian dan intoleransi. Smeua orang merasa paling benar, sementara orang yang berbeda pendapat diusir, dikucilkan, dan dianggap tidak pantas hidup di Indonesia. Semuanya berawal dari media sosial yang mampu menyebarkan informasi dalam sekejap, mempengaruhi banyak orang dan kemudian menjadi viral.
“Tentu kita ingat pada saat Pilpres, banyak orang yang unfriend gara-gara berbeda pilihan presiden. Padahal pilihannya kan cuma dua, kalau tidak Prabowo ya Jokowi,” ujar Matahari Timoer.
Kebencian memang mudah menular. Matahari Timoer menilai saat ini adalah masa kegelapan internet. Kehadiran ‘Lentera Maya’ dimaksudkan agar menjadi penerang jalan. Lentera itu bukanlah mereka yang berbicara dalam film ini.
“Ini adalah film dokumenter nggak ada artisnya. Bintangnya adalah kita semua yang hadir dan menonton film ini,” jelas Matahari Timoer.
Matahari Timoer berpendapat hoax tidak akan berhenti jika kita terus menangkal hoax terus menerus, justru akan melelahkan. Pemblokiran situs-situs berita palsu pun tidak akan berdampak besar, karena satu situs diblokir, maka akan tumbuh lebih banyak lagi. Data Kemkominfo menyebutkan saat ini tercatat ada 40.000 situs penyebar hoax. Tentu penutupan situs sebanyak ini tidak akan efektif.
MT, sapaan singkat Matahari Timoer mengimbau peserta diskusi untuk melawan hoax dengan hal-hal kreatif. Bukan hanya dengan literasi digital, tapi juga kreativitas digital. Contohnya dengan pembuatan vlog atau blog tentang wisata Klungkung, atau informasi lokal yang belum banyak diketahui orang.
“Istilahnya, skip hoax, be creative. Jadilah lebih kreatif dalam menangkal hoax,” jelasnya.
Di samping itu, MT juga mengajak peserta diskusi untuk menghargai perbedaan pandangan sebagai suatu hal yang wajar. Penanggap informasi di internet dapat berasal dari beragam latar belakang, mulai dari kubu konservatif, moderat, hingga radikal. Semua kelompok ini pasti memiliki perbedaan pandangan, namun sebagai konsumen informasi sebaiknya jangan jadi sumbu pendek. Jadilah bijaksana sebagai pengguna internet.
“Ketika melihat suatu perbedaan, jangan lihat dulu mana yang salah dan mana yang benar, Lihatlah keunikan dari perbedaan itu,” ungkap MT sembari menutup diskusi.
Keunikan dari masing-masing kelompok akan memunculkan rasa saling menghargai. Setiap orang berhak atas pilihannya masing-masing, terlepas dari salah dan benar. Teknologi akan terus berganti, namun penggunanya seharusnya tetap bijaksana dalam menyikapi pergantian dan perbedaan. [b]