Tampaknya belum banyak yang tahu rencana pembangunan industri perfilman bertaraf internasional di Bali. Belakangan rencana ini kembali mengemuka saat salah satu akun portal berita daring mengunggah infografis tentang hal tersebut.
Saya pun tersenyum saat melihat dan membaca secara detail pembahasan yang tersaji di dalamnya. Dalam infografis, disebutkan kalau industri tersebut terbangun atas kerja sama antara UMA (Indonesia) dan CAA (AS). Namun setelah saya mencari informasi, saya tidak menemukan satu pun info tentang kerja sama tersebut. Namun, saya menemukan hal yang tidak kalah menarik—rencana pembangunan industri film di Bali nyatanya sudah dimulai sejak awal tahun 2018.
Film Sebagai Media Edukasi Hingga Penanaman Ideologi
Film merupakan rangkaian gambar hidup (bergerak), sering juga disebut dengan movie. Film adalah sekadar gambar yang bergerak. Adapun pergerakannya disebut sebagai intermitten movement, gerakan yang muncul hanya karena keterbatasan kemampuan mata dan otak manusia menangkap sejumlah pergantian gambar dalam sepersekian detik. Film menjadi media yang sangat berpengaruh, melebihi media-media lainnya. Oleh karena itu, film sejak dulu hingga kini selalu digunakan untuk berbagai kepentingan guna menyampaikan pesan si pembuat film kepada penontonnya.
Film hingga kini sangatlah digandrungi oleh banyak kalangan di segala segmentasi usia, sehingga dapat pula disebut bahwa film adalah media yang efektif untuk menyampaikan pesan tertentu. Hal ini dikarenakan film adalah salah satu bagian dari medium komunikasi massa, yaitu sebagai penyampaian berbagai jenis pesan dan peradaban modern. Komunikasi massa sendiri merupakan jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media massa sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan dalam waktu yang singkat.
Film juga memiliki kekuatan yang mampu menciptakan image di masyarakat luas serta membangun nilai-nilai karena telah ada peletakan film di tatanan murni sebagai hiburan. Selain sebagai hiburan, film juga digunakan sebagai penggambaran terhadap keadaan dalam masyarakat. Tidak asing lagi jika film merupakan sarana yang begitu efektif dalam menyampaikan maksud baik sifatnya edukatif maupun penanaman ideologi.
Sebut saja Korea Selatan yang kini mampu menjadikan industri film mereka sebagai media untuk memperkenalkan budaya-budaya di negara mereka sehingga digandrungi di negara lainnya. Tidak hanya Korea Selatan—Jepang, China, hingga Thailand pun sukses menancapkan dan memperkenalkan budaya negara mereka di Indonesia. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dunia perfilman di Indonesia sejatinya sudah berkembang pasca kemerdekaan.
Film pun sudah banyak digunakan untuk berbagai kepentingan, baik sebagai media edukasi, penanaman ideologi, hingga alat untuk menyampaikan satire terhadap berbagai fenomena sosial. Sebut saja film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” yang diproduksi pada tahun 1984 dan disutradarai oleh Arifin C. Noer ini berhasil menjadi alat propaganda bagi pemerintah Orde Baru kala itu.
Sebuah survey tahun 2000 yang dilakukan oleh majalah TEMPO Indonesia menemukan bahwa 97% dari 1.101 siswa yang disurvei telah menyaksikan film ini dan 87% dari mereka telah menyaksikan sebanyak lebih dari sekali. Film yang menjadi tontonan wajib masyarakat Indonesia dalam kurun waktu 1985 – 1997 ini berhasil menanamkan di kepala seluruh masyarakat Indonesia tentang kekejaman PKI kala itu. Terlepas dari berbagai kontroversi yang diciptakan oleh film tersebut, nyatanya film ini berhasil mempropaganda masyarakat Indonesia.
Tidak hanya sebagai alat propaganda. Film juga digunakan di Indonesia untuk menyampaikan kritik sosial—salah satu yang menjadikan film sebagai media dalam menyampaikan kritik sosialnya adalah grup lawak Warkop DKI yang digawangi oleh Dono, Kasino, dan Indro.
Berbagai judul film dan berbagai pesan moral di dalamnya telah tersampaikan ke jutaan masyarakat Indonesia bahkan terngiang hingga kini. Selanjutnya adalah film “Si Doel Anak Betawi”, film ini merupakan media yang digunakan untuk memperkenalkan budaya dan kehidupan sosial masyarakat Betawi di tengah perkembangan zaman di akhir abad 19. Terakhir, film “Bumi Manusia” yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan dibintangi oleh Iqbaal Ramadhan dan Mawar Eva de Jongh ini berhasil mencuri perhatian masyarakat Indonesia.
Film yang berangkat dari “Bumi Manusia” buku pertama dari Tetralogi Buru karya legendaris Pramoedya Ananta Toer berhasil menjaring penonton di bioskop hingga 1.316.583 penonton. Film ini pun dimaksudkan untuk mengajak anak muda menyukai dunia sastra—mengingat kini dunia sastra perlahan mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Berangkat dari beberapa contoh yang disampaikan di atas, bahwasanya film adalah media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan kepada khalayak banyak pada waktu yang relatif singkat.
Digitalisasi Dunia Film di Indonesia
Jika dulu film-film hanya bisa diakses di dalam ruang bioskop, kini film sudah memasuki platform-platform digital. Digitalisasi memudahkan individu untuk mengakses film-film yang diinginkan sesuai selera. Netflix, Iflix, dan WeTV adalah beberapa platform digital yang dapat diakses melalui genggaman. Seperti uraian sebelumnya film menjadi media untuk penanaman ideologi, hingga sarana edukasi yang efektif menjaring banyak orang dalam waktu bersamaan.
Keunggulan media ini semestinya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah guna menyampaikan edukasi guna mempercepat proses pencerdasan bangsa. Sayangnya sebagian besar platform digital untuk menonton film tersebut berbayar untuk dapat diakses. Hal ini tentu membatasi segmentasi yang menikmati—kaum marjinal, hingga masyarakat desa tentu berada di luar hitungan, sehingga timbul kesan eksklusif.
Eksklusivitas dalam aksesibilitas film-film yang dapat menjadi media penanaman ideologi, budaya, hingga edukasi tentu menghambat proses tercapainya cita-cita bangsa. Oleh karenanya, inklusivitas perlu dihadirkan oleh pemerintah. Lantas, apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengakomodir hal tersebut?
Pertama, pemerintah harus menghadirkan aplikasi digital yang dapat mengakses berbagai film secara cuma-cuma—saya sangat yakin Indonesia bisa menghadirkan aplikasi tersebut, mengingat pedulilindungi adalah aplikasi yang dibuat oleh anak bangsa. Kedua, selain menghadirkan aplikasi, pemerintah juga harus menghadirkan sistem dan juga payung hukum guna menjamin program ini berjalan secara berkelanjutan.
Terakhir, tentu saja pemerataan infastruktur berupa internet di seluruh pelosok Indonesia. Tanpa adanya pemerataan akses internet, maka program tersebut tentu tidak akan menyentuh masyarakat di pelosok pedesaan. Bukankah untuk mencapai kemajuan bangsa, masyarakatnya harus melangkah bersama?
Industri Film Sebagai Alternatif Ekonomi Bali di Masa Depan
Kembali pada pengembangan industry film di Pulau Dewata—rencana pembangunan Baliwood Land di Desa Dauh Yeh Cani, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali dan pencanangan Desa Film Internasional berbasis budaya lokal sebagai desa wisata dunia dan zona global indusri kembali mengemuka meskipun Memorandum of Understanding (MoU) sudah ditandatangani sejak tahun 2018.
Mengingat Bali yang notabene tanah kelahiran saya akan dijadikan pusat film yang berskala internasional, tentu besar harapan saya terhadap skena perfilman Indonesia, khususnya Bali ke depannya. Hadirnya industri film di Bali diharapkan dapat menjadi pemantik bagi generasi muda menggandrungi dunia kreatif satu ini. Hal ini tentu sejalan dengan semangat dan program pemerintah perihal meningkatkan partisipasi anak muda dalam memajukan industri kreatif di Indonesia.
Rencana ini juga menjadi angin segar bagi Bali yang saat ini sedang terpuruk akibat pariwisata yang mati suri. Pariwisata yang mengandalkan wisatawan pun tidak bisa berkutik akibat pandemi Covid-19. Industri film tentu menjadi alternatif menarik guna memutar roda ekonomi Bali ke depannya. Namun mengingat masyarakat Bali belum bisa melupakan euphoria pariwisata seutuhnya, hadirnya industri film di Bali bisa menjadi boomerang bagi masyarakat Bali sendiri. Mengapa demikian?
Kerugian bisa jadi kembali menimpa Bali apabila masyarakat Bali hanya nimbrung sebagai penunjang industri ini saja, tidak mau terjun sebagai pelaku utama dalam skena ini. Untuk memperoleh hasil maksimal, masyarakat Bali harus terjun langsung menjadi pelaku utama dalam skena ini—menggeluti dunia kreatif ini sejak dini sebelum industri film di Bali resmi bergulir adalah jalan satu-satunya untuk mampu bersaing. Mengingat kini persaingan sudah sangat terbuka—kompetensi sangatlah diutamakan.
Pandemi Covid-19 setidaknya memberi tamparan keras bagi perekonomian Bali. Pariwisata nyatanya tidak mampu bertahan di segala situasi—terbukti hari ini. Saatnya Bali untuk mencari sektor lain yang mampu menggerakkan roda ekonominya. Bali tidak bisa mengandalkan Sumber Daya Alam karena memang Bali tidak memiliki potensi tambang dan sebagainya, tetapi Bali memiliki Sumber Daya Manusia yang mampu bersaing hingga tataran global.
Hadirnya industri film adalah sebuah harapan yang layak untuk masyarakat Bali perjuangkan dan menyiapkan diri untuk menyambut hadirnya skena ini patut kita lakukan. Jadi sudah tahu kan apa yang harus kalian lakukan?