
Pertanyaan Mamak kepada saya masih terngiang jelas. “Mang, kenapa orang tua selalu sendirian?,” ujar Mamak. Saya lupa persisnya tanggal berapa, tetapi hari itu adalah Minggu. Saya dan Mamak tengah duduk berdua. Kami sedang majejaitan (membuat sesajen).
Pertanyaan itu membuat Saya terdiam sejenak. Saya balik bertanya, “Selalu sendirian itu gimana Mak?” Mamak mencurahkan segala kisah yang didengarnya. Tentang tetangga sebelah yang sudah menua dan merasa sendiri. Padahal, anak dan cucunya dalam satu rumah.
Mamak menyebutkan lagi Mbah di Negara, Jembrana dan Odah di Karangasem. Menurut Mamak, mereka berdua yang merupakan nenek Saya merasa sendirian. Mamak terus bercerita, bahwa kesendirian dapat menimbulkan penyakit. Kesendirian membuat Mbah dan Odah sedih. Setidaknya itu cerita Mamak.
Setelah mendengar seluruh cerita Mamak, Saya bertanya. “Mamak takut ya? Mamak takut sendirian?,” tanya Saya. Mamak mengangguk tegas. Ia takut sendirian atau merasa sendiri. Mamak takut semuanya pergi. Buah hatinya pergi satu per satu. Begitu pula saya, mengejar apa yang Saya sebut sebagai cita-cita. Rancangan kehidupan sekali seumur hidup itu. Terkadang Saya pun dilanda ragu akan angan itu.
Saya bilang ke Mamak, kesendirian adalah teman pertama. Akhirnya semua soal siap atau tidak sendirian lebih awal atau belakangan. Ninik, Mbah, dan Odah memilih bersama hidup dengan suami mereka. Memilih melanjutkan keturunan. Diantara para anggota keluarga, siapa yang pergi duluan dengan cara apa. Itu bukan hal yang perlu dicemaskan. Lagi-lagi itu hanya pandanganku.
Orang tua tak dapat menuntut anak untuk selalu menemani, sampai mengarahkan dengan sangat sistematis. Anak adalah investasi utama, berhasil dibanggakan, gagal disembunyikan, diamuk, dicaci maki, dan lainnya.
Mamak terdiam. Mungkin dia mencerna semua perkataan Saya dengan perasaan campur aduk. Mamak merenung. Saya menggenggam tangannya dan meminta agar Ia tak khawatir. Saya menghormati Mamak, Saya bertekad membuat hidup kami lebih baik. Saya ingin Mamak menyadari kekhawatiran dan kesendirian ini adalah perasaan yang lahir dari dampak sistemik.
Tiga bulan kemudian setelah dialog antara Saya dan Mamak, Saya memutuskan nonton sebuah film berjudul How To Make Millions Before Grandma Dies. Seperti biasa, saat Saya memutuskan nonton film di bioskop, Saya akan melempar jauh-jauh bayang-bayang konten spoiler dan sepal-sepill yang seliweran di medsos.
Saya berangkat hanya untuk cari suasana baru karena film terakhir yang saya tonton adalah Siksa Kubur. Setelah dibuat merinding, saya jadi ingin nonton film keluarga saja.
Bukan Sekadar Film Keluarga
How to Make Millions Before Grandma Dies atau dalam bahasa Thailand disebut Lahn Mah, mengoyak saya begitu hebat. Film ini amat riil menggambarkan kondisi saat ini. Sangat dekat dengan pertanyaan Mamak. Saya menangis tersedu-sedu. Saya merasakan pertanyaan Mamak. Kesendirian yang menggerogoti, kesendirian berbuah sepi.
Hanya saja Amah, tokoh dalam film itu tidak bertanya secara gamblang seperti Mamak. Amah yang diperankan Usha Seamkhum, mencoba tegar. Amah adalah nenek dari M (Putthipong Assaratanakul) dan Rainbow (Himawari Tajiri). Tak hanya sebagai nenek, Amah juga seorang ibu dari tiga anak, Kiang (Sanya Kunakorn), Chew (Sarinrat Thomas), dan Soei (Pongsatorn Jongwilas).
Film ini menyoroti ketidakadilan yang diterima perempuan. Serta pembelajaran atas ketulusan dari sebuah pengabdian. Tanpa syarat, tanpa mengharap balas jasa.
Amah telah terbiasa hidup mandiri dengan berjualan makanan khas Thailand (saya lupa namanya, tapi wujudnya seperti bubur). Usia senja tapi hanya tinggal di sebuah rumah tua.
Siang itu, cuaca begitu mendukung. Amah, ketiga anak dan dua cucunya nyekar ke makam suami Amah. Cucu laki-laki tertua Amah bernama M. Ia adiktif dengan game online. Saat acara nyekar pun, Ia tak antusias.
Anak tertua Amah, Kiang datang terlambat. Ia sibuk dengan pekerjaannya. Ibu M dan anak perempuan Amah satu-satunya, Chew mengingatkan mereka yang tak fokus.
Sejurus omelan Amah tak membuat M jengah. Ia justru menabur bunga di makam suami amah (kakek M) dengan asal-asalan. Pada siang yang cerah itulah pembelajaran pertama keluarga ini dimulai.
Amah pingsan. Setelah dibawa ke rumah sakit dan menjalani sejumlah pemeriksaan medis, Ia divonis kanker (saya lupa kanker apa). Seingat saya, dalam film itu, dokter memprediksi hidup Amah hanya tersisa satu tahun saja di dunia.
Sisi lain, M memiliki sepupu bernama Mui (Tontawan Tantivejakul). Ia baru saja kehilangan Akong (kakeknya). Kakek Mui mewariskan rumah dan seluruh isinya kepada Mui. M menganggap itu adalah keputusan yang mengejutkan. Melihat Mui menerima warisan sang kakek, M terinspirasi. M menganggap dengan merawat Amah, Ia akan seperti Mui. Menjadi kaya dengan warisan sepeninggal Amah.
M mulai bersiasat, Ia memutuskan pindah ke rumah Amah. Sebelum pindah, M pendekatan dengan Amah. Meski disambut sinis, M tidak menyerah. Posisinya, Amah belum mengetahui divonis kanker. Namun, M segera memberi tahu Amah.
Amah terdiam. Namun, karena itu perlahan Amah mulai menerima tawaran M. Kehidupan mereka pun berlanjut. M semula anak gila game merawat Amah hari ke hari.
Penyakit Amah semakin parah. Mengetahui hidupnya tak lama lagi, Amah mempersiapkan biaya pemakamannya sendiri. Uang tabungan yang kandas dicuri Soei, tak membuat Amah gentar. Ia menuju rumah kakak kandungnya bersama M.
Amah bercerita tentang kesulitan yang dihadapinya. Bukan bantuan yang diterima, Amah justru dihina. Saudara laki-laki Amah yang kaya dari warisan itu tidak ingin membantu sepeserpun. Amah yang tak kebagian warisan pada masa lalunya dijodohkan dengan seorang lelaki pilihan orang tuanya. Lelaki itu juga dihina oleh saudara Amah.
Amah mengajak M pulang. Ternyata, kerasnya dampak patriarki terjadi di Thailand. Soal warisan terkadang masih belum terbagi secara adil. Penindasan terhadap perempuan secara turun-temurun ini adalah kritik sosial yang berupaya disampaikan dalam film ini.
Memaknai Merawat dengan Ketulusan
Masalah lainnya muncul ketika M merasa tidak bernasib sama seperti Mui. Warisan tak kunjung Ia dapat. M merasa segala pengabdiannya untuk Amah sia-sia. Amah sendiri lagi, bahkan Ia dipindahkan ke panti jompo.
M kembali pada rutinitas semula, bermain game setiap hari. Sampai akhirnya M merasakan kehampaan luar biasa. Ia merasakan bahwa keputusannya meninggalkan Amah adalah hal terbodoh. M menyambangi Amah di panti jompo. Ia bertemu sang paman, Soei yang membawa segepok uang hasil penjualan rumah Amah. Soei adalah penjudi yang menyusahkan.
M membawa kembali Amah ke rumahnya. M dan Chew merawat Amah. M tak lagi memikirkan harta warisan, M selalu bersama Amah. Hidup dan mati adalah teman sejati. Amah meninggal. M kebingungan, dimana Ia mendapatkan uang untuk pemakaman Amah? Ternyata Amah mewariskan buku tabungannya untuk M. Tabungan itu telah dibuat Amah untuk M sejak ia SD. M terenyuh, M segera ke bank dan uang tabungan itulah yang digunakan M membiayai pemakaman Amah.
M membalikkan keadaan, Ia memberikan rumah terbaik untuk Amah. Rumah terakhirnya. Film garapan sutradara Pat Boonnitipa ini mendapatkan respon positif di Indonesia. Tahun ini termasuk dalam film Thailand terlaris di Indonesia.
Merawat orang tua tanpa mengharap apa-apa. Itu hal yang saya lihat dalam film ini. Ketika imajinasi mulai liar atas harta dan kekayaan berbuah ketamakan. Maka, nilai ketulusan dan kemanusiaan akan sirna.
Tabungan yang disiapkan Amah untuk M adalah bentuk mitigasi atas sublimasi patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Amah menyadari bahwa warisan tidak didapatnya, Ia tidak merasa kecil. Amah bekerja keras, Amah menabung, Amah merencanakan keuangan dengan matang.
Jadi, bagaimana dengan kalian? Apa yang dirasakan setelah menonton film ini?
situs mahjong