Saya sempat kecewa dengan bagaimana Ave Maryam mengeskploitasi kesunyian. Ketika membaca sinopsis film 27 Steps of May, sempat ragu, apakah trauma dan kesunyian akan dieksploitasi sedemikian radikal dan patah-patahnya seperti di Ave Maryam.
4 Mei jam 21.40, saya dan teman saya memutuskan untuk malem mingguan di bioskop di Jalan Adisucipto, Yogyakarta. Lima cinema disediakan untuk End Game. Satu tersisa untuk 27 Steps of May. Tidak sesepi film-film festival Indonesia yang diputar di Bali, menghitung perbandingan kerumunan yang hadir, film ini masih punya cukup penoton untuk bertahan hingga seminggu ke depan (mungkin).
Setelah Lovely Man, Sendiri Diana Sendiri, dan kabar tentang penghargaan Aktris Terbaik di Festival Film ASEAN, Raihaanun adalah salah satu daya tarik bagi saya untuk segera membeli tiket dan duduk sepanjang hampir dua jam. Menonton film di bioskop di Jogja ternyata sangat melelahkan di awal, kita disuguhi banyak iklan komersil yang berulang 2-3 kali.
Cerita berawal ketika May, 8 tahun sebelum setting cerita utama, pulang dari Sekaten pasar malam dan diperkosa (adegan ini mengingatkan saya pada Lovely Man [Teddy S, 2011], waktu si waria menemui pacarnya).
Waktu kemudian ditarik menjauh ke delapan tahun sesudahnya. Ketika adegan-adegan pemerkosaan itu ditampilkan sekilas-sekilas untuk penonton menarik benang merah atas respon-respon traumatis yang tersebar di sepanjang film seperti mengapa May hanya makan makanan tanpa warna atau memakai sepatu putih.
Repetisi-repetisi tentang keteraturan hidup May dan ayahnya punya porsi cukup panjang di awal cerita. Tentang bagaimana May menyeterika bajunya serapi-rapinya. Menghitung jumlah boneka yang sudah mereka buat. Memasukkan meja. Mengambil boneka-boneka yang sudah jadi. Menggunting kain. Memasang manik-manik. Lompat tali.
Menempatkan lauk dan sayur serba putih di atas nasi yang dibentuk dengan mangkok. Lalu, menyuapkannya ke mulutnya dengan irama teratur.
Lain waktu, ketika ada kabar tentang kebakaran, kita bakal tahu bahwa bahkan untuk melangkah ke luar dari kamar pun, dia memerlukan banyak pertimbangan, sebelumnya akhirnya kembali ke zona amannya. Semuanya dilakukan di dalam rumah. May dan ayahnya sudah mulai terbiasa dengan batas ruang yang mereka akan/boleh langkahi dan yang tidak.
Depresi
Alih-alih menjadi permulaan yang membosankan, repetisi yang ditawarkan di awal ini membuat penonton ikut merasakan depresi, atau setidaknya frustrasi. Bukan hanya oleh trauma yang ditampilkan secara apik oleh Raihaanun, pun oleh ketidakmampuan ayah (Lukman Sardi) menghadapi situasi yang serba kaku ini.
Sosok “ayah” punya dua lokus dan dua penggambaran yang berbeda: putus asa di rumah, dan penuh kemarahan di ring tinju/MMA.
Saya punya banyak masalah dengan penggambaran kerumunan yang hadir di arena-arena bela diri pun tinju, di semua film. Kerumunan digambarkan seolah-olah haus akan darah.
Terlepas dari itu, film ini juga berusaha menampilkan pergulatan diri si ayah dan kelindan-kelindannya dengan tuntutan untuk menjadi figur “ayah”, yang pada situasi ini (8 tahun dealing with his daughter’s mental health) digambarkan sebagai sosok yang tidak berdaya.
Ravi L. Bhawani memasukkan arena tinju dengan aturan-aturan ketat. Dan, ketidakmampuan si ayah untuk mengatur emosinya sebelum akhirnya didepak keluar dari skena tinju (karena menyebabkan lawannya hampir mati). Untuk membuat konflik punya kaitan dengan kehidupannya di rumah, Ravi kemudian mengakomodasi emosi tanpa kontrol ini ke medan MMA.
Permasalahan-permasalahan mulai muncul. Mulai dari kekalahannya di babak pertama yang membuatnya harus dirawat sebentar dan terlambat pulang rumah. Lain waktu, dia harus masuk penjara dan kembali terlambat pulang rumah.
Terlambat pulang rumah punya peran yang cukup signifikan untuk menggambarkan rasa bersalah dan kekhawatiran si ayah. Pun di lain waktu untuk membuat alur maju. Dari sesuatu yang depresif menjadi sesuatu yang enlightening. May mau menyentuh area dapur, membawa makanan dengan bumbu ke meja makan, dan memasukkannya ke mulut.
Hal yang membuat saya khawatir adalah kemunculan Ario Bayu sebagai pesulap. Dengan keabsurdan lubang yang tiba-tiba muncul, Ario yang tinggal di sebelah rumah mulai menjadi penghibur May. May punya motivasi untuk belajar sesuatu. “Magic” kalau kata pengantar boneka (Verdi Solaiman).
Keabsurdan-keabsurdan lain muncul. Mulai dari lubang yang makin membesar hingga akhirnya bisa dilewati badan orang dewasa. Tikus yang mampir sebentar ke rumah May (kemudian menghilang entah ke mana, walaupun May dikirimi notes: terima kasih sudah menjaganya. Seolah-olah tikus adalah bagian penting dari cerita).
Rumah pesulap yang tiba-tiba listriknya mati (dengan konsumsi listrik sebanyak itu. Dia menyodorkan satu colokan dan numpang listrik dari rumah May. Apakah dia akan ikut bayar iuran listrik? Jeng. Jeng). Kehadiran adik pesulap untuk memunculkan emosi lain dari May: jealousy. Hingga pilihan May untuk melakukan reka ulang pemerkosaan di depannya.
Menyadari bahwa pilihan rutinitas merakit boneka (akan lebih absurd kalau dia merakit Gundam) juga adalah pilihan yang absurd, juga letak lemari boneka yang memunggungi lubang. Saya tidak bisa tidak membayangkan bahwa film ini memasukkan beberapa genre sekaligus, drama, thriller dan komedi sulap.
Walaupun pembabakannya tidak dibagi-bagi sejelas di Rumah dan Musim Hujan (Ifa I, 2012), tapi saya akhirnya menyerahkan diri pada campur-campurnya adegan action ayah di medan MMA, permainan psikologis May, permainan emosi May dan ayah, adegan sayat-sayat tangan, komedi-komedi si pengantar boneka pun si pesulap.
Pesulap jadi katalis untuk May merelakan dirinya untuk membuka diri pada (hingga akhirnya berdamai dengan) masa lalu. Relasi mereka digambarkan lebih ke relasi yang romantis. Lain lagi dengan si pengantar boneka punya peran yang cukup klenik (lol). Dengan caranya yang jenaka dan (itu tadi) klenik, dia membantu ayah untuk mengubah caranya menyikapi hal-hal yang terjadi pada anaknya, 8 tahun lalu.
Baik pesulap pun pengantar boneka tidak digambarkan sebagai sosok penyelamat. Dengan pergulatan emosi May dan ayah, dua karakter ini memunculkan sisi-sisi non-depressive dari May dan ayah.
Hal yang sangat saya apresiasi dari Ravi L. Bhawani sebagai director dan Rayya Makarim sebagai penulis naskah adalah kemampuan dan kemauan mereka memberi kuasa pada May dan ayah untuk menentukan sikap atas fenomena masing-masing: May yang harus berhadapan dengan trauma-trauma pemerkosaan, ayah yang harus mengendalikan rasa putus asanya yang sia-sia.
Pertanyaan
Masih ada pertanyaan-pertanyaan untuk film ini, misalnya tentang siapa dan bagaimana menyiapkan makanan di rumah (lebih-lebih waktu ayah masuk penjara), juga bagaimana situasi stok kain di rumah dan bagaimana May meminta warna kain yang berbeda ketika dia mengubah karakter bonekanya dari si cantik ke si pesulap.
May hampir tidak pernah bicara dalam masa-masa depresinya kecuali untuk bilang “Stop” ketika ayah menghajar pesulap. Di satu sisi, susah rasanya melepaskan peran apik Raihaanun di film ini dengan perannya sebagai perempuan berjilbab di film Lovely Man. Keduanya sama-sama mengeskplorasi relasi anak dan ayah dengan pergulatan batin masing-masing.
Pun, rasanya susah melepaskan film ini dari Rumah dan Musim Hujan dengan segala keabsurdan untuk menggambarkan trauma pasca perkosaan. Akting yang apik dari semua pemeran di film ini membuat pertanyaan-pertanyaan itu menguap (sebentar, sebelum akhirnya muncul di tulisan ini).
1 jam 52 menit terlewati dengan hati yang puas. Film ini tidak meromantisir kesunyian. Penonton di sebelah kami sesenggukan. Saya membayangkan, film ini akan memberikan sesak di dada yang sungguh bagi orang-orang dengan trauma. Film ini juga akan sangat mengeringkan kantung mata bagi orang-orang yang punya father issue, melihat bagaimana peran ayah di sini sangat sentral.
Kami menunggu sebentar di kursi, supaya tidak menginterupsi tangis laki-laki berkaca mata di ujung baris. Saya sarankan, tisu adalah logistik yang mungkin Anda perlukan jika berencana menonton film ini. [b]