Sri menatap foto di dinding itu. Wanita cantik dengan senyum yang telah menghancurkan banyak hati wanita lain pada zamannya. Mata itu -mungkin mata terindah anugrah Hyang Wenang pada wanita- selalu memberi semangat melalui beratnya hari-hari di tanah asing yang kadang ramah tapi lebih sering melihatkan permusuhan.
Semua keindahan pada foto itu telah dimilikinya.
Sepuluh tahun silam tangan wanita itu mengelus lembut, rambut hitam lebat mahkota Sri. Tangan itu pula penghapus air mata yang muncul pelan, mengalir menyusur alur batas hidung, melintasi pipi menuju pertiwi. Sri masih dapat merasakan lembut dan kehangatan tangan-tangan itu, menenangkan hati galaunya melalui sepi malam sunyi di tanah asing.
Sepuluh tahun, sejak bis antarprovinsi membawa lambaian wanita itu pergi dengan bisikan lembut menelusup jauh ke dalam sukma Sri. Bisikan penuntun melalui jalan kering berkerikil di tanah asing, dipenuhi orang-orang asing.
”Sri namamu adalah namaku, yakinlah selama kamu ingat namamu, aku akan selalu didekatmu,” itulah bisikan lirih terakhir dari bibir manis bergincu merah tipis pada telinga Sri, saat melangkahkan kaki menaiki bis antar provinsi menuju tanah yang belum pernah dilihat.
Malam, sehari sebelum laut memisahkan Sri dengan wanita itu, kehangatan pelukannya mengusir dingin-dingin angin basah penghias luka. Kehangatan tubuhnya mengaliri hingga sumsum terjauh dalam tulang. Kehangatan serupa, yang membuat banyak wanita melalui malam-malam sepi dan dingin di atas ranjang empuk. Detak jantung mereka berdua berjalan seirama di balik dada-dada penggoda mata lelaki pencinta keindahan.
”Anakku, kunamai kamu Sri, agar kamu tidak jatuh ke dalam lubang yang sama. Cukup Sri ini saja, terperosok ke dalam lubang hitam kehidupan. Aku hanya tahu, satu ilmu, katanya keledai pun tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama hingga dua kali,” pesan wanita itu pada Sri sebelum mereka terbang bersama mimpi menuju tanah asing, tanah penuh harapan, esok hari akan dituju Sri.
Masih teringat jelas, seluruh tabungan pada koperasi lokalisasi itu ditarik semua sehari sebelumnya, dimasukan ke dalam tas bersama ijasah SMA Sri, yang baru pagi diambil. Tabungan yang angka nolnya terus bertambah setiap seorang lelaki terkapar puas.
Keputusan telah diambil, Sri diterima di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Singaraja lewat jalur PMDK, kesempatan harus diraih. Sri makan bersama untuk kali terakhir di rumah makan favorit, hanya berdua, tidak ada lelaki yang menemani. Tidak ada uang dapur wanita lain yang harus berkurang demi bandeng presto dan jeruk hangat.
Lima tahun lalu, Sri meneteskan kembali air mata. Pertama kali di tanah yang sudah tidak asing lagi. Di hari wisuda, Sri hanya sendiri melangkah menuju panggung. Hari bahagia hanya miliknya sendiri. Sang waktu punya akal mengatasi tipisnya rupiah diantara dua Sri.
Kabar pagi, lima tahun lalu, dari tukang pos membawa cerita kematian wanita yang dipanggilnya Ibu. Tertulis di situ, di atas kertas putih pemberian pak pos, telah dikremasikan wanita bernama Sri, seorang ODHA, atas permintaannya sebelum wafat. Dan atas permintaannya pula selama dirawat seminggu di RS. Dr. Sutomo untuk tidak mengabari, satu-satunya keluarga yang dimilikinya, yang sedang dalam proses menjadi lebih baik di tanah para dewa. Bersama surat ini kami kirimkan juga sebuah bungkusan sesuai pesannya. Bungkusan berisi sebuah foto close-up, Sri sang primadona. Ada nama dibawah tertanda, tetapi Sri tidak mengingatnya.
Sekarang Sri, seorang diri. Lelaki yang harus dipanggil ayah tidak pernah dikenalkan, sebatas nama pun tidak. Sri maklum ada ratusan lelaki pernah menabur benih di rahim ibunya dan dia memang tidak perlu ayah juga lelaki.
Sri takut menyakiti wanita lain setakut dirinya disakiti wanita lain. Sri menutup hati buat lelaki, tubuhnya adalah tempat penebusan dosa, bukan tempat membuat dosa. Kelak akan dibelinya benih untuk ditanam di rahim, benih pilihan tanpa dosa.
Setahun, dari berita kematian itu, Sri mengobati luka hatinya dengan memberikan bimbingan belajar dari satu rumah ke rumah yang lain. Mengganti kegiatan rutin menulis surat, berbagi cerita kepada Sri di tanah seberang. Surat tanpa pernah berbalas.
Sri telah bertekad mendapat rupiah dengan jalan halal. Berangkat pagi dari kamar kost dan kembali hingga malam hampir larut. Ya, setahun tepat. Tidak kurang dan tidak lebih, ketika Sri diangkat menjadi guru di sebuah SMA terkenal di Denpasar. Nasib baik sedang berpihak rupanya, test PNS bisa ditembus tanpa koneksi dan upeti.
Bintang Sri sedang terang, hanya setahun mengajar sebagai guru negeri, Sri sudah mampu membawa sebuah piagam guru teladan pulang ke rumah kontrakan. Piagam yang dibingkai indah di samping foto ibunya.
Guru berotak cerdas dan berwajah cantik, bukanlah hal jamak di negeri ini. Apalagi semangat mengajar tinggi dengan metode yang membuat murid senang. Sungguh barang langka, lebih langka dari badak-badak penghuni ujung kulon.
Sri telah memenangkan hati para siswa dan kepala sekolah. Kalau Sri berucap, tiada mata terkerjap. Saat bibir Sri meminta, para siswa dan kepala sekolah pasti memberikan, apalagi berani beradu pandang, luluhlah semua hati. Sri menyadari pesona warisan para wanita di tanah asalnya, tapi Sri tiada hendak mendapatkan rupiah dengan jalan hina. Tubuhnya terus menghindari terjamah dosa. Tidak satu tangan lelaki bisa menyentuh. Serupa bandit di negeri ini. Bisa dilihat tak mungkin tersentuh.
Para siswa meminta jam tambahan kepada Sri, entah benar atau tidak, mereka tidak hanya belajar kimia yang diasuh Sri. Siswa putri lebih sering meminta diajar cara mematut diri agar bisa secantik Sri. Siswa putra, lebih banyak, hanya ingin menikmati keindahan mata dan bibir Sri daripada menghafal rumus-rumus kimia. Toh, Sri menjamin nilai para siswa yang ikut jam tambahan di atas angka enam. Dan semua itu membuat Sri mendapatkan rupiah tambahan untuk segera melunasi rumah minimalis cicilannya.
Ilmu dan pesona Sri memang mahal. Sri adalah kembang, harumnya melewati tembok dan gerbang sekolah. Tercium oleh orang tua kaya pemuja gengsi, entah pengusaha atau pejabat, yang percaya sekolah favorit adalah prestise dan wajar membayar mahal untuk membelinya. Di situ Sri ada. Jembatan antara uang dan penentu kebijakan.
Mereka inilah yang membuat Sri, kerap harus tetap rapat dengan sang kepala sekolah. Kadang meminta kebijakan menaikan seorang siswa bermasalah, lebih sering, ketika tahun ajaran baru- saat penerimaan siswa baru- mohon bantuan agar beberapa anak orang-orang kaya bisa diterima di sekolah favorit itu.
Sri tidak hanya memberikan senyum, tetapi juga menyampaikan amplop-amplop tebal ke hadapan sang kepala sekolah. Inilah sejata mematikan bagi sang penguasa, harta dan wanita. Sri, tentu saja mendapatkan rupiah sebagai ucapan terimakasih atas bantuan yang diberikan. Ucapan terima kasih yang sering lebih tinggi dari gaji bulanan plus upah sertifikasinya
Sri tidak pernah mematok ongkos. Sama, seperti ibunya dulu, hanya berusaha sebaik mungkin memberi kepuasaan, tanpa pernah memasang tarif. Mereka berdua memiliki keyakinan yang sama, mungkin faktor genetik, bahwa pelanggan punya hak memberi harga. Mereka yang dihinakan oleh keadaan hanya bisa menerima tanpa protes.
Guru-guru yang lain boleh cemburu bahkan iri hingga dengki sekalipun. Manalah mungkin mereka yang memilih guru karena terpaksa, bisa mengajar sebaik Sri! Apalagi memaksa diri mengalahkan pesona Sri, sudah pasti kesia-siaan- persis seperti orang tua yang berharap sekolah gratis ketika pemerintah menggelontorkan BOS.
Sri sadar, di negeri ini uang adalah raja. Akhlak dan moral yang disisipkan di kurikulum tak lebih gincu pemanis bibir. Pragmatisme hampir menindih harapannya menjadi guru, untung tabungan ibunya masih kuat menghalanginya terjun ke cafe-cafe yang berjejer sepanjang Lovina. Handphone yang jamak tiada pernah dimilikinya, tiket bis antarprovinsi tak terbeli hingga kematian ibunya.
Sri memperlihatkan beberapa amplop di tangan, kehadapan foto di dinding. Dua pasang mata indah itu seakan saling menyapa. Kosong dan penuh bimbang mengalir. Bibir Sri, tanpa lipstik, berujar, ”maafkan aku Ibu, rupanya takdir tidak berpihak kepadaku. Seperti ilmu pohon, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sekali lagi maaf Ibu, anakmu terpaksa, demi masa depan cucumu yang lebih terpandang kelak!”
Surabaya – Denpasar Juni 2011.
Ilustrasi dari sini.
buah jatuh tak jauh dari pohonnya. apapun dan bagaimanapun kehidupan yang ditempuh ibunya/orangtuanya, suatu saat juga akan terbekas oleh anak2nya.
Maka sebagai orangtua harusnya memberi contoh2 yang terbaik untuk anak dan keturunannya kelak.
Ahh, pelacuran di dunia pendidikan kita memang lebih menyeramkan. Ada uang ada bangku.. anda tinggal cari makelarnya yang bisa menghubungkan anda dengan germo-germo itu maka tidak adabangku yg tidak bisa anda beli !!!!!!!