Dalam ranah seni rupa di Bali, persoalan tubuh sejak lama telah menjadi pusat perhatian para perupa.
Misalnya, dalam tradisi seni lukis wayang gaya Kamasan, tubuh figur wayang berkarakter baik dibuat ramping dan luwes, sedangkan yang berkarakter jahat (raksasa) dibuat berotot dan terkesan kasar/sangar. Karakterisasi tubuh yang disesuaikan dengan perwatakan bisa juga disaksikan di banyak lukisan tradisional Bali, seperti lukisan gaya Ubud, atau gaya Batuan.
Pelukis tradisional Bali, tidak semata-mata melukis kemolekan tubuh perempuan penari, namun juga kekenyalan otot tubuh para petani atau penabuh gamelan. Bagi mereka, tubuh tidak hanya urusan seksualitas, namun juga persoalan sosial dan budaya. Hal itu tercermin dari lukisan-lukisan yang merepresentasikan berbagai aktivitas (tubuh) masyarakat Bali di dalam melakoni kehidupannya, seperti ketika membajak sawah, aktivitas di pasar, gotong-royong dalam kegiatan adat/agama, upacara di pura, dan sebagainya.
Dalam kebudayaan Bali, tubuh merupakan suatu yang tak terpisahkan dari jiwa/roh (atma). Sejak lahir hingga mati, tubuh manusia Bali mendapatkan perlakuan-perlakuan khusus dalam berbagai bentuk ritual, yang tujuannya untuk menghormati keberadaan tubuh dan juga jiwa/roh yang bersemayam di dalam tubuh. Tubuh (badan kasar) dan jiwa/roh (badan halus) sama-sama dirayakan dalam upacara yang tak berkesudahan.
Maka, sangat sulit bagi orang Bali untuk mendonorkan organ tubuhnya, karena ketakutan akan lahir menjadi manusia cacat jika bereinkarnasi lagi. Sebab, tubuh bukan milik pribadi, melainkan milik Tuhan.
Pergeseran zaman tradisional ke zaman modern, bahkan kontemporer, membuat tubuh juga mengalami perubahan makna. Tubuh yang milik Tuhan dianggap sebagai milik pribadi. Manusia modern memperlakukan tubuh sesuai keinginan egonya. Setiap orang merasa berhak atas tubuhnya sendiri, bahkan atas tubuh orang lain. Kekuatan otot menjadi lebih utama ketimbang kekuatan batin. Selubung tubuh dan berbagai jenis topeng dikenakan demi kesuksesan dan kepuasan mengeksploitasi hal-hal yang diinginkan.
Bertopeng
Pergeseran makna tubuh dalam ruang sosial dan budaya itulah yang ingin disampaikan Wayan Kun Adnyana dalam pameran tunggalnya yang bertajuk “Body Theater”. Pameran di Ganesha Gallery, Four Seasons Resort, Jimbaran, Bali, ini berlangsung dari tanggal 1 September hingga 3 Oktober 2011 lalu. Kun menganggap selain tubuh memancarkan pesona, tubuh juga mengandung beragam kisah dan juga beragam keinginan. Melalui 13 lukisan terbarunya, Kun menampilkan kisah-kisah tubuh yang berotot dan bertopeng, bagai pertunjukan teater mini kata yang mengundang beragam penafsiran.
“Tubuh berotot dan bertopeng, merupakan fase baru eksplorasi kreatif saya. Lukisan-lukisan ini merefleksi peristiwa-peristiwa kontemporer ruang sosial kita. Gerak tubuh berotot, bagi saya, menyiratkan beragam kisah, beragam sindiran, dan juga memantik drama kehidupan,” tutur Kun Adnyana, pelukis, dosen dan penulis seni rupa.
Salah satu kisah tubuh yang ingin disampaikan Kun terlihat pada lukisan berjudul “The Wild Hunters” yang menampilkan segerombolan manusia berotot dan bertopeng sedang berusaha menaklukkan belalang raksasa. Lukisan metaforis ini menyiratkan keangkuhan manusia yang merasa diri paling hebat dalam menaklukkan alam. Namun, alam tidak pernah benar-benar mampu ditaklukkan. Alam selalu mempunyai cara untuk menyadarkan manusia akan kelemahan dan kepongahannya. Belalang raksasa dalam lukisan ini adalah metafora dari kekuatan alam itu sendiri.
Sementara itu, lukisan berjudul “Who Am I?” merepresentasikan persoalan tubuh atau pemujaan dan pemanjaan atas tubuh akan berbagai keinginan duniawi yang pada akhirnya sampai pada titik jenuh. Topeng-topeng yang melekat pada tubuh sesungguhnya penuh kepalsuan. Pada akhirnya, tubuh yang berkaitan dengan jiwa/roh merindukan sesuatu yang lebih murni. Kegamangan ini membuat manusia (tubuh) melontarkan pertanyaan dasar yang ditujukan untuk semesta, Sangkan Paraning Dumadi: Siapa aku, dari mana aku, mau ke mana aku?
Persoalan tubuh menarik perhatian Kun Adnyana karena sejumlah alasan. Bagi Kun, tubuh telah begitu monumental dijadikan subjek oleh manusia atas interpretasinya pada sesuatu yang agung, termasuk untuk menerjemahkan ragawi Sang Pencipta. Misalnya, bagi orang Bali, tubuh memiliki posisi yang penting. Tubuh menjadi inspirasi sekaligus subjek representasi atas berbagai imajinasi manusia, tak terkecuali tentang eksistensi Tuhan.
“Bahkan, manusia Bali menerjemahkan ihwal Sang Pencipta yang abstrak sebagai entitas tidak terpikirkan, bercakra sebelas, berwujud Acintya,” kata Kun.
Sementara itu, menurut Kun, citra topeng menjadikan tubuh memiliki beragam arti dan makna bagi ruang sosial dan budaya di mana manusia tumbuh dan beraktivitas. “Namun, ketika tubuh lekat dengan muka yang ada, ia hanya menjadi dirinya sendiri, dan cenderung bertafsir tunggal,” ujar Kun.
Tegas
Wayan Kun Adnyana lahir di Bangli, Bali, 4 April 1976. Lulusan cum laude ISI Denpasar (2002) dan cum laude Pasca Sarjana ISI Yogyakarta (2008). Sejak 1997 telah aktif dalam berbagai pameran bersama di sejumlah galeri di Indonesia dan luar negeri. Meraih sejumlah penghargaan bergengsi, seperti Nominasi Jakarta Art Award (2008), Widya Pataka dari Gubernur Bali (2007), Nominasi Philip Morris Indonesian Art Awards (1999).
Pergulatan Kun dengan wacana tubuh telah dimulainya sejak lama. Hal itu misalnya terlihat pada pameran tunggalnya di Genta Gallery Ubud bertajuk “Kamasukha” (2003), di Bentara Budaya Yogyakarta yang bertajuk “Hana tan Hana” (2008), “Look! Who is Talking?” di Tonyraka Art Gallery Ubud (2008), “New Totems for Mother” di Gaya Fusion Art Space Ubud (2008).
Karya-karya terbaru Kun mendapat tanggapan yang cukup bagus dari beberapa kritikus seni. Misalnya, kritikus seni asal Prancis yang lama menetap di Bali, Jean Couteau, mengatakan karya-karya terbaru Kun cukup kuat secara teknik dan konsep, serta menunjukkan pencapaian artistik yang memikat. “Ada kesungguhan dan keseriusan yang tergambar. Pada fase ini gejala intelektualitas dan rasa seni dapat terlacak dengan tegas,” komentar Jean Couteau.
Sementara itu, kurator Ganesha Gallery, Bruce Carpenter, mengatakan Kun merupakan salah seorang generasi baru Bali yang akan menjawab tantangan-tantangan Bali ke depan, baik sebagai perupa, akademisi, maupun penulis.
“Dalam karya-karyanya tergambar bagaimana tubuh begitu universal dalam konsep manusia Bali. Peradaban arsitektur Bali juga didasari konsep pemahaman akan tubuh. Sehingga tubuh begitu berlapis dalam bobot makna, dan juga model artistik,” ungkap Bruce saat membuka pameran tunggal Kun Adnyana di Ganesha Gallery. [b]