Aku berjalan menghampiri ibuku yang sedang mempersiapkan persembahan. Persembahan yang dibuat ibuku disebut sodan di Bali. Sodan ini untuk mendiang ayahku yang baru saja meninggal dan masih dimakamkan di kuburan adat desa kami. Kuburan adat ini kami sebut setra -dalam bahasa Bali halusnya-.
“Sudah siap, bu?” tanyaku pada ibu yang saat ini sudah menaruh sodan terakhir ke dalam tas.
“Sudah. Yuk berangkat.” balas ibuku.
Aku segera mengambil tas selempang ku dan mengambil kunci motor yang kutaruh bersebelahan dengan tas ku.
“Yuk.” kataku kemudian menuju ke arah motor yang ku parkir di luar rumah.
Aku dan ibuku kemudian berangkat ke setra desaku. Pemandangan sawah di kanan kiri jalan menyambut kami sebelum kami bertemu dengan Pura Dalem -pura untuk pemujaan Dewa Siwa yang biasa didirikan di dekat setra- di arah timur jalan. Aku menurunkan sedikit kecepatanku di depan Pura Dalem karena ada perempatan didepanku. Kami berbelok ke arah barat dan langsung menepi ke pinggir jalan. Setra tempat ayahku dimakamkan ada di selatan jalan ini, setelah kita melewati Pura Prajapati -pura tempat berstananya roh yang keluarganya belum melakukan upacara ngaben-.
Aku dan ibuku kemudian melakukan persembahyangan ke Pura Dalem dan Pura Prajapati sebelum ke makam ayahku. Selesai persembahyangan, kami menuju ke makam ayah.
“Halo Ayah.” kata ibu menyapa makam ayahku. Aku hanya diam dan mulai membantu ibu mempersiapkan segala persembahan untuk mendiang ayahku.
Kami duduk sebentar seusai melakukan persembahan untuk mendiang ayah. Tiba-tiba terdengar bunyi gamelan dari arah utara. Mataku langsung menuju ke arah itu. Kulihat beberapa orang yang mengiring upacara ngaben datang dari arah itu. Ketika otakku berpikir mereka akan datang ke arahku dan melakukan upacara tidak jauh dari tempatku berada, iringan itu langsung berbelok ke arah timur.
“Ibu, kenapa mereka ke sana?” tanyaku pada ibu.
“Entah. Mungkin mereka orang berkasta.”
“Apa ke arah sana setra untuk orang berkasta?”
“Iya. Biasanya orang berkasta setranya di sana.”
Memang benar di arah timur perempatan yang mengarah ke belakang Pura Dalem ini ada lapangan kosong. Aku yang sebelumnya belum pernah ke sana, tidak menyangka ada setra lain khusus untuk orang berkasta.
Mataku kemudian mengarah ke Pura Prajapati yang ada di depan ku. Ada dua Pura Prajapati sebenarnya di sana, dan itu sedikit mengusikku.
“Lalu Bu, kenapa ada dua Pura Prajapati di sini?” tanyaku tak bisa menahan penasaran.
“Depan kita itu Pura Prajapati kita, yang di sebelah itu Pura Prajapati orang Pande di desa kita.”
“Kenapa di pisah bu?” tanyaku lagi.
“Nak mule keto.”
Aku kembali diam. Tidak ada gunanya kembali bertanya pada ibu. Aku masih kepikiran dengan pemisahan ini. Meskipun aku sadar pasti ada penyebabnya, rasanya masih aneh dengan pemisahan ini. Bahkan ketika sudah pergi dari dunia ini, tempat terakhir sang badan masih dipisah sesuai identitas. Bukankah lebih baik dijadikan satu tempat saja?
“Yuk pulang.” kata ibu membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk dan mulai bersiap-siap. Aku memperhatikan setra tempat ayahku dimakamkan. Cukup luas. Kemudian beralih kuperhatikan ke tempat di sekitarku. Hahhh … bisa saja kan kita dimakamkan di satu tempat dan sisanya menjadi lahan hijau?
Aku berjalan kembali ke tempat parkiran bersama ibuku. Kuperhatikan ke sekelilingku sekali lagi sebelum menghidupkan mesin motorku dan pulang ke rumah bersama ibu.
situs mahjong