Inilah rangkuman dari Journalism Talk AJI Indonesia dengan tema “AI Ancam Kerja Jurnalis? Sejauh Mana Artificial Intelligence Mempengaruhi Kerja Jurnalis?
Munculnya kecerdasan buatan berdampak pada semua bidang, tak terkecuali jurnalistik. Penelitian Price Waterhouse Cooper (PwC) menyebutkan Artificial Intelligence (AI) bukan sekadar seperangkat tools baru. Ini adalah dunia baru. Dari otomatisasi ke augmentasi.
Kehadiran AI, makin menjadikan media massa bukan sumber utama informasi masyarakat. Cukup dengan menuliskan kalimat pertanyaan atau perintah, pengguna AI akan disuguhkan jawaban berupa teks buatan perangkat lunak.
Perkembangan Al ini, melaju cepat sejak OpenAI membuka akses ChatGPT untuk khalayak. Chatbot berbasis kecerdasan buatan yang muncul pada November 2022 ini, mampu menjawab pertanyaan yang diajukan dengan cepat dan membuat konten dari data yang dihimpunnya.
Sejumlah perusahaan media pun mulai menguji coba pemakaian AI. Mesin ini mampu meringkas hasil wawancara dalam poin-poin penting yang memudahkan pekerjaan jurnalis. Penggunaan AI mempermudah pengumpulan data, juga bisa diminta untuk menuliskan artikel. Ini memungkinkan perusahaan media memproduksi lebih banyak berita. Tapi bagaimana soal kualitasnya?
CNET, perusahaan pers asal Amerika Serikat, November 2022 melakukan uji coba dengan merilis artikel finansial yang dituliskan AI. Setelah dua bulan, perusahaan itu menghentikan campur tangan AI dalam pembuatan artikel. Sebab, redaksi CNET merasa masih banyak kekurangan dari penggunaan AI sehingga membutuhkan koreksi substansial.
Teknologi ini memang masih memiliki banyak keterbatasan, seperti dalam akurasi dan verifikasi sehingga berpotensi menabrak kode etik jurnalistik. Mesin juga tidak bisa menangkap nuansa dan konteks. Apalagi juga ada persoalan etik seperti hak cipta dan plagiasi. Misalnya, dalam prosesnya publisher atau media juga punya kontribusi. Namun, belum ada aturan soal pembagian keuntungan ekonomi terhadap pihak publisher yang datanya juga dimanfaatkan oleh teknologi kecerdasan buatan tersebut.
Sementara, industri ini dianggap menggiurkan. Pasar AI ditaksir bernilai 109 miliar dollar AS per tahun pada 2030. Namun, industri ini ditengarai rawan monopoli akibat tingginya modal untuk menjadi pemain. Pengembangan AI menghabiskan investasi besar sehingga berharap keuntungan yang besar pula. Butuh 540 juta dollar AS, misalnya, bagi OpenAI saat membuat ChatGPT.
Pun, industri ini belum memiliki regulasi. Sementara, mesin AI bisa merekayasa aneka karya tulis, karya seni, hingga video digital. Laporan survei ”Journalism AI” oleh para peneliti London School of Economics and Political Science pada November 2019 menyebutkan, kecerdasan buatan tidak akan mematikan jurnalisme. Namun, dunia jurnalistik juga akan menghadapi beragam tantangan, seperti sikap apatis publik dan persaingan mendapatkan perhatian masyarakat. Laporan didasari survei terhadap 71 organisasi berita di 32 negara berbeda terkait kecerdasan buatan dan teknologi terkait.
Meski memiliki banyak catatan, kehadiran AI di dunia jurnalistik perlu dicermati. Ini memunculkan pertanyaan, sejauh apa kecerdasan buatan berdampak pada kerja-kerja jurnalistik? Apakah kecerdasan buatan akan menggeser peran jurnalis atau sebatas membantu pekerjaannya? Bagaimana jurnalis menjawab tantangan ini?
Untuk itu, Divisi Tenaga Kerja AJI Indonesia mendiskusikan isu AI di dunia jurnalistik ini. Sejumlah narasumber pemantik pada diskusi daring 9 Agustus 2023 lalu adalah Heru Tjatur/ Chief of Technology Officer Buddyku MNC, Amir Sodikin, Managing Editor Kompas.com, dan Derry Wijaya, akademisi Monash University.
Derry Wijaya, peneliti perempuan ini memaparkan hal yang perlu diwaspdai antara AI dan media adalah polarisasi etnis, disinformasi, dan framing jurnalis dalam artikelnya. “Perlu mengidentifikasi jurnalis menulis dengan perspektif apa? AI tak hanya meresahkan jurnalis juga pendidik,” sebutnya.
Derry berusaha berkontribusi menambah referensi bahasa daerah dalam penambangan data ini dengan mengembangkan ragambahasa.id. Karena salah satu kelemahan AI adalah referensi yang didominasi konten berbahasa Inggris. Menurutnya banyak bahasa yang belum punya data terutama bahasa daerah.
Menilik kelahirannya, Derry bercerita jika AI adalah model machine learning yang bisa belajar sendiri. Sebuah generative AI models system yang bisa menghasilkan data tak hanya mengklasifikasikan. Seperti tulisan atau visual tentang sesuatu. Chat GPT lahir dari languange model Dall E, terutama mereproduksi konten dari deskripsi yang kita berikan.
“Awalnya dimulai dari sistem otomatisasi keyboard atau autocomplate. Sekarang machine learning model lebih bagus, lebih banyak data untuk melatih, data hungry,” jelasnya soal transformasi machine learning yang sangat cepat.
Inilah kuncinya, data.
Kemudian muncul GPT model, GPT-2, dan seterusnya. Menurutnya AI dilatih sangat simpel, memprediksi kata berikut dari kata sebelumnya. Jawaban bisa berubah kalau diganti perintahnya. Intinya ingin melengkapi. Sekarang ukurannya jauh lebih besar. Sekarang GPT3 175 biillion. Perlu energi sangat bear sehingga karbon yang dihasilkan sangat besar. “Banyak yang tidak mau memberi tahu soal ini,” ingat Derry, sisi lain emisi AI.
Apakah manusia akan tergantikan? Bedanya human dan mesin, kata Derry, dari segi image. Gambar yang yang dipilih manusia lebih sesuai konteks dan emosinya. Misalnya isu kekerasan senjata, AI tidak mau menggambarkan pistol karena beberapa kata dan gambar yang tidak boleh digenerate.
Misal fake news kebakaran, AI bisa membuat gambar yang meyakinkan. Ia menyebut, AI juga bisa bias, misal stereotype CEO perusahaan lebih laki-laki. “Tidak mungkin bisa 100% manusia. Kini banyak robot generator membuah berita Pemilu, olahraga, bisnis, augmented journalism seperti asisten pribadi agar jurnalis tidak dibebani hal repetitif,” paparnya.
Untuk deteksi hoaks, juga sangat susah, manusia dan mesin kesulitan terutama gambar dan video karena ada kombinasi teks-gambar-suara. Inilah ranah yang pererlu diedukasi. Ia mencontohkan riset misinformasi vaksin, ketika minta chat GPT menambahkan contoh misinformasi sehingga bisa digunakan melatih untuk identifikasi. “Tergantung berapa banyak data yang mereka sudah punya. Data yang melatih chat GPT 2021. Untuk yang tidak berbahasa Inggris bisa jadi halusinasi. Hati-hati,” urainya.
Hal lain adalah soal referensi data yang digunakan AI. Mesin akan crawling data, mulai dari archive, wikipedia, blog, berita, bahkan adal perusahaan ada yang suplai data ke open AI. Semua data ada identitasnya seperti IP. Misal jika kamu pelukis, kalau pakai harus bayar. Tapi AI tidak peduli. Juga tak peduli privasi.
Amir Sodikin, Managing Editor Kompas.com menambahkan hal penting yang harus diperhatikan ketika AI makin ngetren. Di antaranya akurasi, bias, keadilan, misinformasi, deepfakes, penggantian pekerja, privasi dan keamanan data, transparansi dan akuntability, sensitivitas dan trauma: misal konflik antar suku tidak diketahui sensitifitasnya, serta kurangnya pemahaman dan konteks.
“Bisa jadi informasi hanya diproduksi mesin tanpa interaksi manusianya,” urai Amir yang mengembangkan sejumlah konten dari AI.
Hal yang dimanfaatkan dari AI adalah mengembangkan ide, sudut pandang pemberitaan, kerangka tulisan, otomatisasi dari kegiatan atau konten repetitif, dan program editing sederhana.
Beberapa hal yang sudah dicoba adalah membuat kategori otomatis/tagging misal stunting sesuai SDGs no berapa, kreasi konten misal tips wisata, typo editing, dan membuat outline/angle. Misalnya di ohbegitu project.
Untuk teks ke video hadir di Rythm Rroject. Ada juga untuk kebutuhan komersial; personalisasi, memahami iklan paling bagus posisinya di mana? Sedangkan untuk editing; integrasi dengan CMS, rewrite, auto editing for typo, penerjemahan, dan angle.
Heru Tjatur, tim IT sejumlah media mengingatkan AI hanya modeling, misal statistik, klustering, dan lainnya. Pasti ada sisi baik dan buruk seperti bias, basis data yang dimakan misal dominan bahas Inggris.
Privasi sangat lemah, misal prinsip data pihak ketiga yang anonim. Tapi punya kemampuan me-reidentifikasi jika diketahui koneksinya.
Sejumlah rangkuman dan rekomendasi pembelajaran dari diskusi ini adalah menggunakan AI untuk hal teknis karena kemampuan manusia lebih dibutuhkan dalam pembuatan berita, kecuali hal repetitif.
Berikutnya adalah usulan kebutuhan revisi Kode Etik Jurnalistik, panduan media siber, atau kode perilaku dalam merespon AI.
Sejumlah hal penting yang harus diperhatikan oleh pengelola media:
- harus ada disclaimer, asisted by AI
- harus ada editornya karena bisa jalan sendiri AI-CMS
- jangan gunakan YMYL, your money your life, terkait keuangan dan kesehatan karena kalau salah bisa fatal. AI tidak pintar finansial.
- jangan gunakan untuk konten sensitif, misal etnis atau senjata
- jangan untuk isu yang sedang aktual, belum tentu kebenarannya terungkap. masih rumor. misal belokan LRT salah desain.
Rekomendasi:
- mencari angle
- data repetitif
- editing simpel
- transfer teks ke audio visual
- rewrite, bisa cover 4 berita, menunjukkan benang merah. meringkas untuk fitur lihat ringkasan.
- hati-hati, ada disclaimer. tips: prompt isi sumber referensi (tidak ada dari media massa mainstream, wikipedia. lebih ke web sumber utama)
- chat GPT bisa jadi halusinasi, harus periksa bagaimana mengenerate informasi apakah sesuai konteks
Tools mericek hasil olahan AI:
gambar: huggingface.com
teks: airornot, zerogpt, pinpoint, quillbot