Sangat mudah ditemui tanda “Pemulung Dilarang Masuk” di gang-gang tikus di Denpasar.
Tidak hanya di kota, tanda itu juga tampak di daerah pedesaan yang lengang di sekitar Gianyar. Stigma pencuri berkedok pemulung sangat kuat diyakini di pulau Bali, karena itulah tanda ini menjamur.
Apapun pembenarannya bukan berarti tanda itu tidak problematik. Tanda itu adalah tuduhan tanpa bukti dan menutup mata bahwa tidak semua pemulung itu pencuri, dan walaupun ada di antara mereka yang mencuri tidak dibenarkan menyamaratakan semuanya.
Hal ini sama saja jika ada orang Bali kedapatan mencuri, kita tuduh seluruh manusia di Bali itu pencuri dengan membuat tanda “Orang Bali dilarang masuk”.
Mengapa kondisi pemakluman kekerasan lewat tanda ini bisa terawat di pulau yang konon manusia-manusianya polos, murah senyum, rajin sembahyang dan bersolidaritas tinggi ini? Mengapa pula negara sepertinya abai padahal keamanan dan kebebasan warganya yang bekerja memungut sampah daur ulang tersebut direngut oleh tanda ini? Kalau memang profesi ini membahayakan tatanan mengapa para pemulung dibiarkan oleh negara?
Berkecambahnya ”pemulung dilarang masuk” tanpa adanya gugatan dan perlindungan oleh negara adalah bentuk kekerasan yang legal. Mereka para pemulung pada dasarnya ikut menghidupi negara lewat pajak. Pemulung berperan terhadap pengurangan sampah plastik di pulau Dewata. Pengabaian terhadap peran pemulung terhadap keberlangsungan eksistensi negara dan kesehatan lingkungan ini adalah sebuah bentuk eksploitasi yang legal, gamblang dan direstui.
Ketika detak jantung para pemulung berdegup kencang akibat teror tanda, ternyata menjamur pula tanda lainnya yaitu “Tanah for Sale”. Sebuah tanda terang benderang tanpa rasa sungkan untuk mengundang pihak berkocek tebal agar datang di pulau yang terkenal dengan lukisan sawah menguningnya ini. Biasanya setelah plang “Tanah For Sale” dicabut oleh pihak pembeli, suara deru traktor terdengar nyaring menghapus suara jangkrik sebagai syarat sawah berubah menjadi gedung megah untuk wisatawan.
Melihat semerbak tanda “Tanah For Sale” tanpa adanya gugatan memunculkan pertanyaan apakah manusia Bali jauh lebih ramah kepada investor? Padahal jelas-jelas kedatangannya mengambil alih kepemilikan tanah untuk pembangunan hotel, vila dan mal yang notabene berkontribusi paling besar terhadap kerusakan lingkungan di pulau Dewata. Mengapa investor yang terkenal rakus dan tak mengenal syukur ini dibiarkan datang bahkan diundang secara suka rela? Sedangkan mengapa pemulung miskin dilarang kedatangannya meskipun pemungut sampah plastik ini ikut berperan menyelamatkan alam Bali dari timbunan sampah berbahaya, dan rumah bedeng mereka tidak seboros hotel-hotel milik para boss di pusat?
Apakah pulau ini lebih ramah dengan “perusak” lingkungan daripada “aktivis” lingkungan”?
Banyak penjelasan yang memaparkan bahwa mudahnya sawah lepas ke tangan investor akibat dari kebijakan negara yang tidak berpihak kepada pertanian. Memelihara sawah menjadi susah sebab infrastruktur perawatannya mahal. Negara membiarkan beras impor menyerbu masuk. Berbarengan dengan hal itu harga tanah juga menggiurkan, dan proses pelepasannya semakin lancar sebab ada pembelinya pula. Perizinannya juga gampang asal ada uang.
Penjelasan ekonomi politik itu memang benar adanya, namun tetap memunculkan pertanyaan mengapa manusia Bali yang setia dan khusyuk menjalankan ritus pemujaan terhadap Dewi Sri di pura Subak rela melepaskan sawahnya, padahal dari dulu keberadaan Pura tempat dewi padi itu menjadi satu paket dengan kehadiran sawah?
Masyarakat Bali begadang hingga larut malam mengeluarkan banyak energi dan uang untuk menjalankan upacara puja-puji kepada sang pencipta. Totalitas manusia Bali dalam melestarikan ritus dewata seolah-olah menegaskan pandangan kuat di zaman kini, yaitu persoalan keyakinan membuat manusia berani berkorban dan berbuat nekat. Karena itu persoalan keyakinan dikatakan sensitif. Bisa menciptakan amarah jika ada yang mengusiknya.
Namun, mengapa manusia Bali yang katanya menempatkan keyakinan sebagai “panglima” tidak marah ketika sawah tempat pura Subak berpijak diambil investor?
Bukankah sudah sepantasnya muncul amukan untuk mempertahankannya karena keberadaan pura Subak dan sawah adalah tak terpisahkan? Malahan manusianya melepaskan sawah secara sadar ke tangan investor. Asumsi kemudian muncul, jangan-jangan proses pengikhlasan jatuhnya tanah ke tangan para calo juga distimulus keyakinan Orang Bali yang telah berubah, bahwa ritus untuk dewata-dewati itu terpisah dengan alam. Bahwa pura subak tidak ada hubungannya lagi dengan sawah, buktinya ritus di pura Subak tetap dijalani warga sampai kini walau saban hari sawahnya menuju kepunahan.
Buku-buku agama, hasil riset peneliti luar ataupun domestik, dan pidato para penutur pencerahan banyak kali menjelaskan bahwa masyarakat Bali meyakini dua alam yang tidak terpisah. Dua dunia itu adalah alam Sekala dan Niskala.
Alam Sekala dipercayai sebagai dunia yang terlihat yaitu dunianya manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang dan mahluk hidup lainnya. Sedangkan alam Niskala adalah dunia yang tidak terlihat yaitu dunianya roh, leluhur, dewa-dewi, ataupun bhuta kala. Dua dunia itu “bersetubuh” dalam satu tampan dan saling memengaruhi. Oleh karena itu setiap sawah memiliki pura Subak. Pura ini memiliki ritus sebagai bentuk penghormatan kepada “spirit” tak terlihat yang diyakini berada di sawah itu, dan berkontribusi terhadap kelancaran dunia tani.
Penggusuran
Apakah fenomena menjamurnya tanda “Tanah for Sale” sebagai pertanda bahwa telah terjadi proses pemisahan alam Niskala dari alam Sekala dalam tataran keyakinan manusia Bali? Kalau ini memang terjadi maka ada korelasi antara “penggusuran” lahan hijau dengan “penggusuran” keyakinan terhadap dua alam yang tak terpisah tersebut.
Logikanya adalah ketika sawah, ladang, hutan, dan tebing di Bali tidak mutlak diyakini sebagai tempat berpijaknya dewa-dewi, leluhur dan para penunggu niskala lainnya maka tanah atau sawah diyakini sebagai “benda” semata. Tanah bukan lagi sesuatu yang terikat dan terkait dengan keyakinan spiritual. Ketika tanah menjadi “benda” semata, maka semakin masuk akal manusia Bali berani menghadapi atau menjinakan teror kutukan, amarah atau dalam bahasa Balinya temah dari leluhur jika menjual tanahnya ke tangan investor. Sawah hanyalah “benda” yang tak memiliki konsekuensi apapun secara spiritual jika dijual. Tanah dan sawah yang berhasil dibendakan itu akhirnya menjadi komoditi ketika berada dalam arena pasar.
Kalau kita lihat ke belakang, pemisahan alam Sekala-Niskala sebenarnya sudah terjadi saat prosesi ngaben tanpa tubuh yang diselenggarakan keluarga korban pembantaian komunis pasca-tragedi 1965. Memang ada pengecualian kalau tubuh orang mati tidak ditemukan karena alasan hilang hanyut di sungai atau pantai, dan dimakan binatang, maka proses ngaben tanpa tubuh menjadi pilihan. Istilah ritual ngaben tanpa tubuh itu disebut ngaben Swasta atau Ngewasta.
Di luar persoalan hilang hanyut atau dimakan binatang, kematian bagi orang Bali adalah lenyapnya jiwa dan tubuh sebab dua entitas tersebut diyakini sebagai satu kesatuan. Tubuh sebagai representasi dunia Sekala dan jiwa sebagai representasi dunia Niskala. Oleh karena itu tubuh harus dibakar lewat upacara Ngaben. Banyak pihak keluarga korban pembantaian Tragedi 1965 merasa tidak ikhlas dengan ngaben tanpa tubuh ini karena tubuh korban pada dasarnya tidak hilang karena masih tertimbun di dalam tanah. Oleh sebab negara pada saat itu melarang keluarga korban untuk mencari tubuh anggota keluarganya maka mereka sulit menolaknya.
Bisa jadi sterilisasi alam sekala dari penghuni niskala dipengaruhi oleh ideologi rasionalisme yang diambil dari Barat saat bangsa ini ingin menjadi bangsa modern. Sekolah-sekolah dibangun untuk mencetak generasi muda yang siap terjun dalam dunia sains. Rasionalisme mendakwa kepercayaan terhadap dua dunia yang tak terpisah sebagai sikap irasional, dan tidak ilmiah. Tumbuh-tumbuhan hanya bisa dijelaskan secara ilmiah, dan diterjemahkan lewat pendekatan sains. Sikap memuja pohon-pohonan dianggap tidak masuk akal, takhayul, kelainan psikis atau terjebak sugesti. Meyakini sesuatu dalam pemikiran rasional adalah meyakini yang empiris atau nyata, masuk akal dan ada bukti konkret. Simak saja pemberitaan di TV nasional, seringkali ditampilkan para ahli atau ilmuwan yang mencemooh keyakinan masyarakat terhadap hal-hal berbau gaib ketika didaulat sebagai nara sumber.
Menjadikan alam Sekala sebagai “benda” semata mungkin juga terkait dengan masuknya pengaruh ajaran modern tentang agama, bahwa alam terpisah dari sang pencipta. Keterpisahan ini dikenal dengan istilah transenden. Tubuh itu terpisah dengan jiwa, atau sang pencipta berada di atas sana dan tidak ikut urusan duniawi. Duniawi dunianya manusia rasional, bukan dunianya para roh, dewata ataupun leluhur.
Perceraian
Aturan keagamaan buatan pemerintah juga berperan terhadap “perceraian” alam Sekala dan Niskala. Aturan itu adalah setiap agama di Indonesia harus memiliki tempat suci. Pura dianggap tempat sucinya pemeluk agama Hindu sehingga Pura menjadi pusat spiritualitas manusia Bali. Padahal di lapangan, Bali juga memiliki praktik spiritual yang dilakukan di luar pura seperti menyembah spirit di pohon beringin, tebing atau sungai yang juga dipercayai memiliki kekuatan. Perasaan takut dan segan ketika membabat pepohonan besar yang dulu dianggap sakral atau dalam istilah Bali-nya tenget tidak lagi menjadi persoalan sebab keangkerannya diragukan.
Pemusatan pura sebagai sentralitas pemujaan menciptakan pengertian bahwa memuja di Pura jauh lebih penting daripada memuja spirit yang berstata di tebing, lembah, atau hutan. Makanya tidak heran ritus meriah yang digelar di pura atau candi lebih heboh didatangi umatnya daripada menjalankan praktik keyakinan mengaturkan sesembahan kepada “penunggu” pepohonan saat upacara Tumpek Bubuh. Upacara Tumpek Bubuh adalah ritus penghormatan terhadap alam dengan menggelar doa puji syukur dan sesajen di rerimbunan pohon.
Praktik ritus Tumpek Bubuh akhirnya dirayakan sebatas ritus karena pepohonan digusur setahap demi setahap dari halaman rumah orang Bali. Program lomba kebersihan desa yang digalakan pemerintah pada zaman Orba hingga sekarang membuat masyarakat melihat dedaunan sebagai sampah. Pohon-pohon di halaman rumah ditebang karena dedaunannya yang jatuh bisa mengganggu kenyamanan mata warga saat berkompetisi menjadi desa terbersih. Pepohonan diratakan dengan papingisasi dan betonisasi. Kedua material berbahan semen dan pasir ini adalah simbol pembangunan, modernitas, kelas dan status. Sedangkan tumbuh-tumbuhan adalah simbol tradisionalitas, keterbelakangan dan kampungan.
Muncul kemudian pertanyaan mengapa ritual atau upacara warisan leluhur tetap dijalankan sedangkan tanah warisan leluhur lepas begitu mudah? Meriahnya ritual di Bali adalah representasi dari situasi sosial yang gamang atau ambivalen, sebuah kondisi antara takut dan berani. Mereka tidak sepenuhnya berani lepas dari keyakinan terhadap dunia sekala-niskala. Masih banyak yang percaya bahwa kutukan akan menyertai karena hukum karmaphala dipercayai tidak pernah buta.
Pariwisata menciptakan mentalitas tumpang tindih, ragu dan serba salah. Pariwisata mengundang para investor yang siap mengambil warisan leluhur, namun di sisi yang lain masyarakat Bali diarahkan untuk melestarikan warisan leluhur agar citra eksotis Bali tetap ajeg. Wacana penghormatan leluhur semakin dimantapkan oleh rezim Orba yang meliteristik agar masyarakat tunduk terhadap senior dengan menyebarkan idelogi “hormatilah orang tua” ke sekolah-sekolah.
Politik hegemoni negara meliteristik lewat pengagungan senioritas bersinergi dengan wacana pelestarian tradisi produk pariwisata, dan berkorelasi dengan tradisi Bali yang juga meyakini penghormatan terhadap senior menciptakan kontrol dan teror.
Manusia yang dihidupi oleh situasi ini akan merasa rikuh jika mereka tak hormat atau lancang terhadap leluhur. Perasaan dosa pun muncul jika tidak melestarikannya. Pada titik inilah kegamangan muncul, keyakinan modern bahwa “tanah” hanyalah “tanah” dibatinkan mereka oleh para penjual untuk mengurangi beban kutukan, tetapi di saat bersamaan dicengkram oleh keyakinan untuk hormat terhadap leluhur yang juga terbatinkan sejak kecil. Situasi takut lepas dan ingin lepas inilah menyebabkan upacara warisan leluhur tetap berjalan bersamaan dengan berjalan penggusuran sawah warisan leluhur.
Gamang
Kondisi manusia Bali yang serba ragu, resah dan gamang ini bukannya dicarikan solusi seperti meminimalisir kedatangan investor, atau dibuatkan program proteksi terhadap padi local dari serangan beras impor, tetapi dieksploitasi pemaknaannya. Kondisi serba setengah-setangah ini digunakan untuk memantapkan pencitraan Bali sebagai pulau yang mampu menghadirkan modernitas dan tradisi dalam waktu bersamaan. Bahkan kegamangan ini diplesetkan oleh para penentu kebijakan dan agen-agen pariwisata sebagai sebuah harmoni atau bahasa keren-nya peace.
Kemeriahan ritual berbarengan dengan berdirinya hotel, vila dan mal diterjemahkan sebagai sebuah keseimbangan antara modernitas dan tradisionalitas. Padahal kehadiran dua wujud tersebut bagian dari kebimbangan manusia Bali yang merasa berdosa karena lancang menjual warisan leluhur, namun juga tidak bisa menolak rayuan investor untuk menjualnya karena sawah tidak dilindungi negara.
Kutukan adalah teror dan teror selalu menghantui. Teror adalah imajinasi yang muncul dari rasa takut terhadap kenyataan yang dipercayai akan terjadi di masa kini atau di masa depan. Doa-doa penghormatan terhadap “penghuni niskala” yang berlangsung di pura tidak hanya bentuk respect dan hormat kepada spirit tak terlihat, namun juga mencerminkan rasa takut terhadap penghukuman. Kehadiran tanda “pemulung dilarang masuk” adalah sebuah bentuk berhasilnya teror menggerogoti kepala manusia Bali yang takut barangnya raib entah ke mana. Perasaan takut berlebih-lebihan akan kehilangan sesuatu adalah pertanda barang-barang berharga mereka bersumber dari pengorbanan yang besar nilainya yaitu tergadainya tanah leluhur.
Jika ditarik pada ranah keyakinan maka barang-barang yang dianggap sangat berharga itu bersumber dari kenekatan mereka “menggusur” penghuni niskala sebagai “Tuhan” di tanah air mereka. Semakin nekat maka semakin fantastis nilai sebuah barang, dan tentu saja semakin takut jika barang itu raib.
Penguasa dan pengusaha rakus tidak mau tahu tentang persoalan itu. Padahal hubungan akrab dua kelompok manusia serakah ini adalah sumber dari segala sumber kerusakan. Jika kecurigaan (paranoia) manusia Bali selalu diarahkan kepada pemulung sebagai biang keonaran maka para penguasa-pengusaha bajingan itu tidak akan tersentuh. Mereka para bos-bos ini menggantikan posisi leluhur dan dewat-dewati, mereka ada namun tak terjamah. Ini ibaratnya para penguasa dan pengusaha rakus yang minum-minum. Namun justru yang mabuk tujuh keliling hingga salto terempas adalah warga tanpa tanah, termasuk para pemulung dan penghuni niskala.
Kalau sudah begini kondisinya maka kalimat singkat Wiji Tukul patut dibatinkan dan dijalankan, “Hanya satu kata lawan!!!” [b]
Bali berani melawan?? Mana mungkin….
Perlawanan itu tidak cukup melalui perang media. Jangan menyalahkan investornya saja, tapi juga ingat lah siapa yang memberikan keleluasaan atas kedatangan mereka. Penguasa. Sudah saatnya Bali sadar bahwa pemimpin mereka adalah manusia – manusia kapitalis yang hanya memikirkan segepok komisi dari bisnis sekala. Selama penguasa Bali tidak diganti, jangan harap rumah kedua bagi saya ini akan selamat. kalo itu sampai benar2 terjadi, perlu mencari alternatif nama pengganti Bali sebagai pulau Dewata. Mungkin bisa dengan nama pulau Dewa Mabuk ( sesuai dengan sifat penguasanya yang mabuk sekala ).
saya jadi ingat apa kata alm. kakek saya dahulu “jangan salahkan investor.. salahkan orang bali sendiri yang tidak bisa melihat peluang”
mungkin kata2 itu terkesan arogan dan cenderung pro terhadap investor.. tapi kalau di telaah lebih lanjut apakah ada benernya omongan almarhum tersebut??