Kalau melihat jenis pekerjaan di Bali, tren-nya adalah pariwisata. Seperti pekerja hotel dan pemandu wisata. Namun, bagaimana sumber penghidupan di wilayah bukan pariwisata? Seperti di Desa Bengkel, Tabanan. Tak melulu tentang pariwisata, inilah pekerjaan-pekerjaan yang digeluti warga sebagai sumber penghasilan di Desa Bengkel, Tabanan.
Pengrajin Ukiran Motif Bun

Menjadi pengrajin ukiran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh warga di Desa Bengkel. Berangkat dari hobi dan seni yang dimilikinya, I Wayan Suarsana membuka usaha ukir yang beralamat di Desa Bengkel, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali. Ardan, panggilan akrabnya, memutuskan membuka usaha sendiri sejak 1 tahun yang lalu.
Sebelum membuka usaha sendiri, Ardan belajar teknik ukir di sekolah. Kemudian di dunia kerja, Ardan lebih sering bergabung dan bekerja dengan teman yang memiliki usaha ukiran. Ia sudah menekuni aktivitas mengukir sejak 15 tahun lalu. Setelah memahami pola kerja usaha mengukir, akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka usaha sendiri.
“Jika pekerjaan yang diminati dan disenangi maka rasa bosan itu akan hilang,” ujar dari Wayan Suarsana.
Dasar mengukir juga timbul dalam diri atau naluri seseorang. Selain ilmu didapatkan dari bangku sekolah, teknik mengukir juga dipahami secara otodidak. Mengukir dimulai dari memilih kayu hingga mencari kayu ke hutan. Menggambar pola yang ingin diukir nantinya. Melakukan pahatan pada kayu yang telah digambar pola, pernis dan pewarnaan (cat prada) pada hasil kayu yang sudah di ukir. Setelah itu kayu yang sudah diberi warna akan ditempel pada sanggah/tempat sembahyang atau obyek yang dikerjakan.

Adapun motif yang dibubuhkan oleh Ardan adalah motif ukiran Bun (Daun), Motif Prancis, Patra Punggel (klasik), dan lain-lain sesuai pesanan. Urusan pembelian, para konsumen lebih menikmati ukiran Bun. Alasannya, motif seni pahat ini lebih simpel, hasilnya sederhana, dan untuk harganya relatif murah.
Alat-alat ukir yang digunakan yaitu, pahat, palu atau martil, gouge, sikat ijuk, kertas amplas. Jenis kayu yang digunakan dalam karya Ardan, lebih sering menggunakan kayu Cempaka, kayu pohon Waru, Jati, dan Nangka. Beberapa hasil karya pahat Ardan berupa bale, bangunan Bali yang berisi kayu, pelangkiran, cermin, jendela, sanggah hingga aksesoris yang terbuat dari kayu.
Sebagai seorang pengukir, ada beberapa perubahan yang dilewati Ardan. Seni ukir ini pun sudah mengalami modernisasi. Misalnya dari teknik pengukiran yang awalnya masih manual menggunakan tangan, kini menjadi mesin. Mengukir tak lagi full menggunakan hasil goresan tangan. Namun, menggunakan cetakan.
“Tapi tetap menggunakan peralatan untuk merakitnya. Seperti dulu pasang paku dengan dipasang manual, sekarang menggunakan tembakan paku. Jadi lebih cepat selesai,” katanya.
Di tengah modernisasi itu, tak menyurutkan Ardan untuk tetap mengukir full buatan tangan. Ukiran yang dihasilkan dari sebuah teknik buatan tangan akan jauh lebih detail dari pada menggunakan mesin. Ukiran jadi terlihat lebih hidup. Misalnya hasil lebih berdimensi.
Dalam sebulan proyek yang diambil oleh Ardan bisa mencapai 4 sampai 5 proyek. Pengerjaan yang membutuhkan waktu cukup lama dalam pembuatannya dan tenaga kerja yang tak full time, jadi penentu.
Tetapi dibalik itu semua ada hal yang menjadi permasalahan bagi Ardan. Adanya pekerja yang memilih beralih kerja ke pariwisata. Tenaga kerja yang awalnya bekerja di usahanya Ardan, tetapi beralih ke pariwisata.
“Semoga dengan adanya saya membuat usaha ukir ini bisa berkembang dan bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Desa Bengkel,” ujarnya.
Dengan mengandalkan ukiran, Ardan mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Bahkan menjadi salah satu pekerjaan yang tidak akan pernah tergantikan di masa apapun.
Menganyam Klakat Bambu yang Simbolik

Untuk sebagian orang Bali, klakat menjadi sarana yang penting dalam menjalankan upakara. Pembuatan klakat juga menjadi peluang yang dimanfaatkan warga Desa Bengkel sebagai sumber penghasilan. Seperti I Ketut Ariawan yang membuat kerajinan klakat untuk dijual.
Dengan berbahan dasar bambu, pengrajin klakat juga berperan membudidayakan bambu di Desa Bengkel. Meski bagi Ariawan memilih menjadi membuat klakat ini dilakukan untuk mengsisi waktu luang atau kerja sampingan. Namun, ia juga secara tidak langsung turut melestarikan kemampuan menganyam yang kian langka diketahui anak muda di Bali.
Cara menganyam memang sudah dikuasai Ariawan. Namun, tidak dengan teknologinya. Akhirnya kami menemui salah satu Mangku di Griya Pulasari, Desa Bengkel untuk menjelaskan bagaimana filosofi klakat.
Klakat berisi 16 lobang yang berarti simbol dari empat sanak catur yang menyangga kehidupan, dan juga berkaitan adanya 16 sastra yang menjadi dasar hidup.
Berdasarkan bentuknya, klakat dibedakan menjadi tiga. Pertama, klakat berbentuk lingkaran (sudamala) yang diperuntukkan upacara berunsur atas atau Dewa Yadnya. Kedua, klakat berbentuk segi empat digunakan untuk Manusa Yadnya. Seperti, nebusin, ngulapin dan sanggah durga. Ketiga, klakat berbentuk segitiga/cucuk yang merupakan simbol dasar. Dalam peruntukkannya seperti upacara mecaru.
Klakat juga sebagai simbol maha dewa-dewi yang akan memberikan urip (hidup) kepada masyarakat. Dari filosofi pembuatannya, klakat dibuat dengan menganyam dan saling mengikat satu sama lainnya.
Dalam pembuatan klakat ini bisa menggunakan bambu yang diukur menggunakan siku (asta). Sehingga setiap orang memiliki ukuran yang berbeda ketika membuat klakat. Klakat juga ada bentuk disimbolkan dengan bentuk segitiga seperti bersila dan bertimpuh dalam diri. Dari upakara segitiga disimbolkan dengan banten segahan atau lingkaran disimbolkan dengan tamas.
Dalam lingkup kecil tubuh manusia, segala bentuk dan simbol yang tertuang dalam klakat, erat kaitannya dengan simbol tubuh manusia.
“Lingkaran itu kepala, segiempat itu tubuh, dan segitiga itu bagian bawah manusia. Seringkali kalau perempuan atau laki-laki melipatkan kakinya berbentuk segitiga,” ujar Mangku Griya Pulasari, Desa Bengkel.