Foto pemulung itu terasa amat ironis.
Lelaki berusia 55 tahun itu berdiri membawa gancu dan karung. Topi bulat menutupi bagian atas wajahnya. Di belakangnya tertulis papan kayu dengan tulisan warna merah huruf kapital, “WARNING!! PEMULUNG, PEDAGANG JALANAN DILARANG MASUK.”
Ironisnya, laki-laki yang jadi pemulung sejak lima tahun lalu itu tak bisa membaca. Dia buta huruf. Namun, itulah kenyataan yang sering dia hadapi, papan penolakan yang kadang kala disertai ancaman.
Dari 29 foto yang dipamerkan di Danes Art Veranda, Denpasar, menurut saya, hasil jepretan Lukman S Bintoro tersebut terasa paling bisa menggambarkan tema pameran, Human Race. Inilah pameran tentang jejak orang-orang yang kalah.
Pameran yang dibuka Sabtu 28 April lalu lalu ini akan digelar selama seminggu hingga 5 Mei nanti. Penyelenggaraannya dalam rangka Konferensi Kota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar 29 April lalu. Maka, semua peserta pameran ini adalah anggota AJI Denpasar.
Saya termasuk salah satu peserta meskipun cuma menyumbang satu foto.
Tema Human Race, menurut Ketua Panitia Anggara Mahendra, beranjak dari kian derasnya arus urbanisasi di Bali, terutama Denpasar dan Badung. “Kami ingin memperlihatkan cerita tentang perlombaan manusia yang ada di Bali saat ini,” ujar fotografer muda yang lebih sering memotret dunia malam di kawasan Kuta dan sekitarnya ini.
Toh, meskipun temanya adalah persaingan hidup, hampir semua foto yang dipamerkan kali ini justru memotret mereka-mereka yang kalah dalam persaingan. Saya menangkap kesan itu amat kuat ketika melihat satu per satu karya mereka semua.
Karya Lukman tentang pemulung, buruh angkut pasir, dan petugas sampah misalnya dengan tegas memperlihatkan mereka-mereka yang hanya jadi penerima sisa-sisa dari kue besar bernama Bali.
Ada pula foto karya Agung Parameswara, fotografer lepas untuk koran The Jakarta Post, yang bagi saya memilukan. Seorang anak tukang suun atau buruh angkut di Pasar Badung, Denpasar sedang lelap. Dengan cueknya di tidur di lantai tangga pasar terbesar di Bali tersebut.
Saya pernah beberapa kali melakukan reportase tentang anak-anak tukang suun ini. Jadi saya bisa membayangkan beratnya beban hidup mereka. Anak-anak dari Karangasem itu, di usia yang seharusnya sedang sekolah SD, justru harus bekerja lebih dari 12 jam per hari.
Mereka inilah orang-orang yang kalah dalam kerasnya persaingan hidup di Bali. Pemulung, buruh pasir, pengemis, gelandangan, nelayan, tukang suun, orang-orang dengan HIV dan AIDS, drag queen, buruh bangunan, dan seterusnya.
Unik
Meski demikian, foto yang dipamerkan ini tak melulu tentang orang-orang yang kalah dalam persaingan di Bali. Sebagian fotografer juga merekam perubahan-perubahan kota, terutama Denpasar dan Kuta.
Made Nagi, fotografer European Pressphoto Agency (EPA), misalnya memotret perubahan di salah satu titik tersibuk kota Denpasar, jalan Gajah Mada.
Idenya unik. Dia membandingkan foto-foto yang dia peroleh dengan situasi saat ini. Jadi, foto lama tersebut dia potret dengan latar belakang situasi lokasi foto saat ini. Foto lama berwarna hitam putih yang diambil pada tahun 1970-an itu jadi semacam penanda begitulah situasinya pada saat itu.
Pada salah satu foto terlihat suasana Denpasar tahun 1970-an yang masih relatif lengang. Ada angkutan umum serupa mobil patroli dengan bak agak terbuka dan para pengendara sepeda gayung. Situasi itu berbeda jauh dengan saat ini yang penuh dengan sepeda motor dan mobil pribadi.
Sebagian bangunan di lokasi foto juga terlihat berubah. Lebih penuh dan modern.
Nagi, menurut saya, bisa memperlihatkan betapa kemajuan Denpasar justru mengorbankan pula bangunan-bangunan lama serta lengangnya kota. Padahal, jika pemerintah mau, kota ini bisa saja tetap maju tanpa harus mengorbankan dua hal tersebut. Kota-kota di Eropa toh bisa mempertahankan wajah lamanya.
Begitulah pameran Human Race memotret wajah mereka yang kalah. Tak hanya manusia tapi juga peradaban kota. Tak hanya yang kalah dari sisi ekonomi tapi juga sosial dan budaya.
Wajah-wajah inilah yang juga turut menghidupkan Bali yang lebih dikenal karena gemerlap pariwisatanya. Mereka adalah paradoks Bali. Dan, kita adalah bagian dari paradoks itu. [b]
Bli Anton,
Mereka bukan orang-orang yang kalah (loser) tapi kurang beruntung (unfortunate) dalam hal pendidikan dan kesempatan kerja.
Oya, foto Bli Anton agar ditampilkan juga dong, karena menurut saya foto itu adalah salah satu yang paling menarik di pameran itu 🙂
yeah, ide nagi asik. dan blm sempat liat pamerannya…. *ngeling
Informasi yang disampaikan santai dan mengena… Sik asik….:d
saya dah lihat pameran ini saat pembukaan. bagus. Karya foto teman-teman sangat tajam, perspektifnya jelas dan pesannya juga jelas. Saya suka yang ibu-ibu tertidur dai tangga naik di pasar Badung itu. juga komparasi Jl Gajah Mada karya Nagi. Met berkarya ya kawan. Cuman, pesan saya ni, nti kalau ada pameran lagi, mohon ditampilkan juga objek foto yang orang Balinya. Seperti pengangon sapi, orang sedang menyabit rumput, pemulung di sela-sela orang sembahyang Saraswati di Lapangan Puputan Badung dsb. Ijin numpang ide and mat berkarya terus buat rekan-rekan AJI.
Gw pernah lumayan menyelami kehidupan pemulung dan pengemis, terutama di Jakarta…istilah kaum yang terkalahkan buat mereka mungkin agak berlebihan, meski gk salah juga dilabeli demikian..
Kalo itungannya omset ato penghasilan, cuma segelintir dari mereka (mungkin yang kurang militan menjalani profesinya) yang berada di bawah UMK/UMP. Di kota tempat mereka kerja, memang, tampilannya terlampau mengenaskan; kumel, mendorong gerobak yang berisi sampah berikut anak-isterinya (kalo perlu), tidur di sembarang tempat…tapi coba tengok rumah di kampung halaman mereka. Percayalah, isi perabot rumahnya kebanyakan lebih baik dan lengkap ketimbang kamar kos ato rumah kontrakan wartawan media besar sekalipun.
Ditambah, profesi ini, pemulung dan pengemis minim kompetisi. Di kota besar seperti Denpasar tak pernah kehabisan barang yg layak dipulung, ato gak ada istilah kehabisan stok kaum dermawan yang siap menyodorkan uang Rp 1000-2000 (dua pecahan uang itu paling populer buat dikasih ke pengemis). Dengan kata lain, penghasilan dengan penampilan dan beban pekerjaan sangat sebanding.
Gw lebih tertarik mengkategorikn gadis2 pekerja kafe (bukan PSK orderan kayak di Sanur dsb) sebagai kaum yang terkalahkan. Memang, gambaran dan tulisan tentang kehidupan kalangan gadis “setengah binal” (karena hny sedikit dari mereka yg mau terima dibooking untuk dijoss) udah gk keitung..tapi tetap saja mereka selalu jadi obyek yang menarik untuk diekspos.
Penampilan dandanan (loe2 tau semualah harus bagaimana penampilan mereka), beban pekerjaan (melayani tamu, ikut mabok, minum berliter2 bir dan alkohol setiap malam, merelakan bagian2 tubuh tertentu dijamah, menerima santapan bibir tamu2 nakal-“Selama ciumannya biasa aja dan gk di bagian2 tertentu,” kata mereka-meliuk2an tubuh di depan customer saat musik sudah berganti dari lagu2 galau ke dangdut ato housemusic, ah, segudang beban pekerjaan lain dari mereka yg gw ampe narik napas panjang buat sekedar nulis ini), jam kerja yang tidak normal (jam 8 malam-jam 3 ato 4 pagi, pulang langsung tepar tidur ampe jam 3 sore, bangun sebentar dengerin musik, mandi, bersolek lagi, action lagi), beban tanggungjawab (hampir sebagian besar udah berstatus janda beranak satu-dua, tiap bula ngirim duit ke kampung, sok bilang kerja di restoran ato salon ke ortu dan keluarga di kampung), dan sederet hal tidak mengenakkan yang melekat di diri kaum yg jumlahnya udah gk keitung ini…
Dna yg lebih tragis, profesi ini sarat kompetisi. Mereka yg beruntung bisa nge-pos di kafe2 ato pusat karoke dan hiburan malam favorit (gw jg yakin loe2 tau yg mana aja). Dengan itungan komisi, sistem penggajian, dan besaran tip yang jelas lumayan bisa menutup kekecewaan mereka dg segala beban yg tadi.
Lha, bgm dengan mereka yg bermodal pas2an (tampang, relasi, dan kualitas servis) ? ya paling banter cuma bisa mangkal di kafe2 kelas dua dan tiga, kafe2 kelas kantong wartawan (yg doyan). Bayangin lho, beban pekerjaannya sama, semua hal yang tidak mengenakkan seperti di atas sama, baik yg di kafe oke maupun kafe ecek2…tapi bandingin dengan sistem komisi, penggajian, dan besaran uang tip…ditambah gaya usil dan ngawur tamu2 kelas dua dan tiga. “Saya dan semua yang disini kerja begini terpaksa Bang, sok joged2 begini juga terpaksa, aslinya kita gk ada yang suka, tapi mau kerja apa lagi,” kata Mawar, sebutlah demikian, salah seorang gadis pekerja kafe di pinggiran Denpasar.
Ah, lagi2 gw harus menarik nafas panjang merekam semua yang ada di diri mereka ke isi kepala gw…andai gw super hero, mungkin akan gw bantu kaum terkalahkan ini keluar dari dunianya. Menyelamatkan mereka seperti menjadi kaum terhormat dan menang dari persaingan seperti kisah basa-basi di film Pretty Woman. “Kalau saya harus membantu, terlalu banyak orang seperti kamu yang harus dibantu, terlalu banyak orang yg gak beruntung di dunia ini yang harus ditolong,” begitu jawab gw saat si Mawar minta dicarikan pekerjaan (bukan minta duit lho) yang layak buat dia.
Buat gw, merekalah kaum terkalahkan sesungguhnya….
Mereka gk pernah meninggalkan jejak seperti yg dituliskan Bang Anton…(suer bang, gw suka gaya tulisan loe di atas)
Karena penampilan dan gaya hidup (terpaksa) mereka gk menarik untuk dijepret dan disebut mewakili kaum termarjinalkan…mereka lebih akrab disebut kaum terlaknat, kaum perusak, dsb…
Suer, gw nangis lihat isi facebook salah seorang gadis pekerja kafe..status2nya yang selalu berisi kegalauan, dan..oh, foto dia dengan anak lelakinya yang masih berumur 1,5 tahun di kampung saat si gadis hendak berangkat merantau mencari nafkah setelah sang bapak tak lagi mau bertanggungjawab…
“Nak, Mama berangkat kerja jauh ya, kamu ama nenek dulu di rumah, tunggu Mama, jangan nakal, jangan ngelawan nenek,…” mungkin begitu dia bilang waktu mau berpamitan dengan pakaian panjang yang jauh dari kesan feminim, apalagi eksotis….
Ah, ternyata dia hanya satu dari sekian banyak kaum yang bernasib sama…Si Melati juga janda beranak satu, si Kecubung malah janda beranak dua, dan kembang2 lainnya jg hampir semua berstatus sama…