Tuntutan warga Desa Beraban dalam pengelolaan obyek wisata Tanah Lot, Tabanan melahirkan pertanyaan.
Warga Desa Beraban menuntut agar bisa memperoleh peran dan wewenang lebih luas dalam pengelolaan Daerah Tujuan Wisata (DTW) Tanah Lot. Pertanyaan yang lahir kemudian ada apa dengan model pengelolaan DTW Tanah Lot selama ini?
Mengapa setelah sekian lama berjalan dengan tanpa ada gejolak berarti, saat ini memunculkan letupan yang menyedot perhatian masyarakat pariwisata dan masyarakat Bali secara umum? Apakah fenomena saat ini hanya peristiwa protes biasa, atau fenomena gunung es bahwa ada ada persoala lebih besar di baliknya?
Meskipun gejolak yang terjadi tidak sampai berpengaruh terhadap tingkat kunjungan wisatawan (Bali Post, 3/4/2011), namun persoalan yang mencuat ke permukaan tersebut tetap menarik dan penting untuk dicermati. Perkembangan terakhir, kedua belah pihak mengeluarkan Surat Keputusan yang isinya saling bertentangan soal siapa yang berhak memimpin pengelolaan Tanah Lot.
Sebagai hipotesis awal, setidaknya terdapat tiga hal yang bisa ditangkap dari kasus Tanah Lot.
Pertama, terjadi akumulasi kekecewaan masyarakat lokal sekitar DTW terhadap sistem pengelolaan DTW selama ini, khususnya menyangkut soal benefit share. Sebagai masyarakat pengempon pura sekaligus DTW Tanah Lot, masyarakat Beraban merasa berhak atas pendapatan dari hasil pengelolaan DTW. Pura Tanah Lot berada dalam wewengkon (wilayah) desa mereka sehingga merekalah ‘pemilik’ sah pura berikut potensi kepariwisataan yang terdapat di sana.
Mereka pulalah yang senantiasa menjaga dan merawat keberadaan pura dan DTW dari gangguan alam maupun pihak luar. Mereka merasa telah berbuat banyak untuk kawasan tersebut. Namun, sebaliknya, keuntungan yang mereka terima teramat kecil atau kurang sepadan dengan hak semestinya.
Kedua, pemerintah, dalam hal ini Dinas Pariwisata Kabupaten Tabanan, gagal menjadi fasilitator dalam memediasi kepentingan antara pihak pengelola dengan pihak masyarakat lokal. Bila komunikasi antara tiga pihak/stakeholders DTW Tanah Lot selama ini berjalan dengan baik dan efektif, seyogyanya kasus protes hingga demontrasi seperti yang berlangsung saat ini tidak akan terjadi.
Dinas Pariwisata tidak bisa menjalankan early warning system dengan efektif dalam mendeteksi dan mencegah letupan yang terjadi. Setelah terjadi kasus pun tidak terlihat kepiawaian pihak Dinas Pariwisata dalam mengelola konflik agar tidak membesar dan menjadi bola liar. Semestinya berbagai pihak terkait dengan DTW Tanah Lot secara kontinyu bertemu guna membahas berbagai dinamika yang terjadi sehingga segera dapat dicarikan jalan keluar bersama-sama.
Nampaknya media dialog demikian belum berjalan dengan baik. Kalaupun dilakukan agaknya ia hanya menjadi semacam media prosedural dan alpa menukik pada persoalan-persoalan konkret lebih substansial.
Ketiga, gerakan protes yang dilakukan warga masyarakat masih dalam koridor santun, demokratis, dan tidak anarkis. Mereka melakukan aksi-aksi protes yang efeknya tidak mengganggu arus kunjungan wisatawan ke DTW Tanah Lot. Warga yang tidak puas, misalnya langsung mendatangi Kantor Bupati untuk menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak memilih aksi dengan memblokir akses jalan ke area DTW, misalnya.
Ini menunjukkan kedewasaan dan kecerdasan dalam berpolitik yang tetap mengedepankan etika dan rasionalitas. Masyarakat paham betul bahwa Tanah Lot adalah aset bersama yang keberadaan dan citranya harus dijaga bersama. Bayangkan efek yang muncul bila aksi protes diwarnai dengan aksi anarkis? Masyarakat memahami bahwa aksi protes yang disampaikan belakangan ini hanyalah sebagai salah-satu bentuk koreksi atas sebuah kebijakan pengelolaan DTW yang dirasakan kurang adil.
Terlepas dari tiga hipotesis sosiologis di atas, apa yang tengah berlangsung di Tanah Lot tetap harus kita baca dan amati dengan serius. Karena boleh jadi kasus serupa akan terjadi di DTW-DTW lainnya di Bali. Hal ini mengingat puluhan DTW terkenal yang dimiliki Bali berada di tengah-tengah kehidupan komunitas, dalam hal ini desa pakraman.
Berbagai pihak harus memikirkan ulang tentang relasi yang terjalin antara DTW dengan komunitas yang telah berlangsung selama ini. Bagaimana semestinya tata-hubungan DTW dengan komunitas tersebut dibangun? Bagaimanakah posisi, peran, kewajiban, serta hak masing-masing pihak yang menjalin relasi dalam pengelolaan sebuah DTW yang terdapat di tengah-tengah komunitas? Poin-poin apakah yang harus dirumuskan secara jelas dalam kesepakatan terkait tata hubungan tersebut?
Setidaknya pertanyaan-pertanyaan substantif inilah yang menjadi prioritas untuk ditemukan jawabannya dalam upaya menata ulang tata-hubungan antara DTW dengan komunitas. Tulisan singkat ini tidak bermaksud menjawab beberapa pertanyaan krusial tadi, namun hanya mencoba menyuguhkan beberapa ide dasar di sekitar persoalan tata-hubungan tersebut.
Pertama, persoalan yang paling sering menjadi basis tuntutan warga masyarakat adalah soal prosentase bagi hasil dari pengelolaan sebuah DTW. Selama ini penetapan prosentase ini belum memiliki landasan atau dasar hokum yang kuat. Besaran prosentase bagi hasil muncul lazimnya setelah terjadi ‘adu kuat’ argumentasi di antara pihak yang berseteru. Pada desa-desa pakraman yang karakternya kuat dan ‘keras’ sehingga bisa tampil super body ketika bernegosiasi dengan pihak pemda, mereka akan bisa berhasil menggolkan tuntutan prosentase bagi hasil sesuai tuntutannya.
Sebaliknya bagi desa-desa yang nyalinya kurang kuat alias lemah dalam berargumentasi maka siap-siap gigit jari bahkan tidak bisa mendapatkan prosentase secuil pun. Ke depan, persoalan ini perlu dicarikan solusi sesuai dengan karakter persoalan di masing-masing DTW. Salah-satu langkah yang bisa ditempuh adalah dengan membuat clustering DTW (pengelompokan). DTW-DTW yang ada dikelompokkan menurut skala perkembangan pariwisata, pendapatan, dan nilai investasin.
Nantinya, besaran prosentase bagi hasil kepada desa ditentukan menurut golongan cluster DTW bersangkutan. Apabila hal ini bisa dilakukan dan diberlakukan secara menyeluruh dalam satu wilayah kabupaten, maka kekisruhan terkait protes dan tuntutan terhadap prosentase hasil pengelolaan DTW akan dapat diminimalisir.
Kedua, sesuai dengan amanat dan semangat UU No 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, maka dalam pengelolaan sebuah DTW harus dikedepankan pendekatan partisipatif. Komponen-komponen yang berkepentingan terhadap keberlangsungan sebuah DTW harus dilibatkan seluas-luasnya dalam mengelola DTW. Tidak bisa lagi pengelolaan DTW hanya diserahkan pada sekelompok kecil pihak yang elitis hasil dari kong kalikong dengan penguasa. Masyarakat melalui perwakilannya harus dilibatkan dan diajak duduk bersama.
Dengan demikian selain memperoleh manfaat ekonomis, masyarakat juga bisa berpartisipasi aktif dalam mengelola dan mengontrol keberadaan DTW. Pada titik inilah, perlu dirumuskan pola relasi (tata hubungan) antara pihak DTW dengan masyarakat lokal. Tata hubungan tersebut harus dituangkan secara tertulis dan berisikan; siapa melakukan apa; apa hak dan kewajiban masing-masing; apa capaian kerja sama dalam rentang waktu tertentu; apa indikator keberhasilannya, dan seterusnya. Selanjutnya Pakta Tata Hubungan tersebut harus diberikan kekuatan hukum oleh pihak berwenang, misalnya dalam bentuk SK Bupati.
Dengan merumuskan secara jelas dan tegas bentuk tata hubungan DTW dan komunitas maka keberlanjutan pengelolaan sebuah DTW akan bisa terjaga. Untuk mencapainya tentu diperlukan upaya keras, sistematis, serta kontinyu terutama dari pihak pemerintah sebagai mediator dan fasilitator. Merumuskan sejak dini tata hubungan DTW dan komunitas, selain mencegah konflik yang mungkin timbul, juga akan bisa menjadi salah-satu indikator keberhasilan sebuah DTW dalam menjalankan peran sosialnya dalam menyejahterakan masyarakat pendukungnya. [b]
Foto diambil dari Internet.
nah, pak dosen pariwisata unud sampun memberi pandangan, dlm tataran konsep. praktiknya kenken niki?
Tanah Lot? Bukan kepariwisataannya yang salah, kebijakan dan pelaksanaan di lapangannya yang tidak dalam satu jalur. Setahu saya, pengelolaan Tanah Lot 5 Tahun terakhir ini dilakukan oleh konsorsium satu perusahaan swasta, unit desa pekraman dan pemerintah. Hal wajar, dengan catatan masyarakat pekraman — penyungsung Tanah Lot– memang belum mampu mengelola ”industri” tersebut (ini biasanya kata pemerintah Menjadi tidak wajar jika kita mengacu pada UU No 10/tahun 2009 dan Permendagri 30 tahun 2007 — fungsi pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat setempat menjadi tuan rumah di desanya sendiri cukup hanya sebagai fasilitator, penyedia fasos/fasum yang memang kewajiban negara.
Dengan 3 komponen tersebut, apa saja yang diperhitungkan sebagai investasi dari masing- masing komponen? Porsi investasi tersebut dapat dijadikan angka pembanding dalam pembagian hasil. Apakah tiga komponen tersebut telah melaksanakan kewajiban masing- masing sebagai konsekuensi kerjasama?
Berbekal UU no 10, Permendagri plus UU Otonomi Daerah, sudah selayaknya masyarakat merancang pembangunan, dan pengembangan wilayahnya. Konsep desa pekraman, pada dasarnya sangat apiliatif dengan perkembangan jaman. Hanya, tidak banyak orang yang mampu membahasakan kearifan desa pekraman dalam bahasa nasional.
Kepariwisataan Bali dari masa pelancongan Belanda sampai saat ini memang ”belum” pada jalan yang seharusnya yaitu mensejahterakan masyarakat di Bali. Semua kalangan — akademisi, investor, pemerintah — selalu berbicara pariwisata kerakyatan, CBT –, kenyataan dilapangan tetap, bisnis investor dulu — jika lebih baru masyarakat boleh ambil bagian. Tiba- tiba heboh pengembangan desa wisata yang konsep, pola, proyek dicekokan dari Departemen — bertentangan dengan Otda dan kepariwisataan rakyat. Pola penyeragaman, padahal kepariwisataan itu justru mengedepankan perbedaan sebagai daya tarik dan daya jual (uniqueness?).
Bali yang terdiri dari sejumlah desa adat, sujatinya memiliki potensi besar untuk menjadikan kepariwisataan sebagai alat mensejahterakan masyarakatnya. Sayangnya, kebijakan- kebijakan kepariwisataan dan pembangunan di Bali nyaris tak berbudaya Bali dengan kaidah Hindu yang universal.
Nah, di Bali sekarang telah muncul Asosiasi Bali Desa Wisata Ekologi, yang memiliki visi, misi berdasarkan kaidah Hindu. Ada salah empat desa anggota pendirinya, yang mungkin bisa dijadikan model pengembangan kepariwisataan berbudaya Bali di Indonesia. Karena tidak menutup kemungkinan model ” Bali DWE”, bisa dikembangkan di komunitas lain di Nusantara ini dengan kearifan masing- masing. Semoga.
pak sukma sudah cocok menggantikan pak pitana di pengembangan SDM kementerian budaya dan pariwisata. atau, ya, setidaknya jadi dekan di fakultas pariwisata unud. 😀