
Penggunaan bahan-bahan yang sulit terurai pada banten kian menjadi perdebatan. Bukan hanya plastik, tapi juga bahan-bahan lainnya yang menghasilkan sampah residu, yaitu dupa, busung ibung, rokok, permen, dan residu lainnya. Sampah-sampah ini makin hari makin menumpuk karena sulit terurai oleh mikroorganisme.
Dalam artikel BaleBengong sebelumnya, kami membahas tentang sampah tidak terurai yang dihasilkan dari banten. Artikel tersebut menyebutkan temuan Merah Putih Hijau (MPH) ketika piodalan Pura Dalem Desa Adat Kota Tabanan yang mengumpulkan 2.775 kg sampah dalam sekali piodalan. Dari total sampah tersebut, hanya 22% sampah atau 612 kg sampah organik yang dapat diselamatkan. Sisanya adalah sampah yang tercampur, yaitu sebanyak 2.163 kg.
Data tersebut hanya berasal dari satu piodalan di salah satu pura kahyangan tiga di Bali. Provinsi Bali yang dijuluki pulau seribu pura memiliki 4.356 pura kahyangan tiga. Dalam setahun biasanya piodalan dilaksanakan dua kali. Jika dalam sekali piodalan menghasilkan 2.163 kg sampah yang tercampur, maka dalam setahun sampah yang dihasilkan hampir mencapai 19 juta ton sampah.
Perhitungan tersebut hanya simulasi dengan mengalikan jumlah pura kahyangan tiga di Bali dengan jumlah sampah di Tabanan sebagai contoh, kemudian dikalikan jumlah piodalan dalam setahun. Sementara, jumlah sampah yang mencapai 19 juta ton adalah sampah yang tidak terpilah, sehingga tidak bisa diolah menjadi kompos maupun olahan sampah lainnya. Jika dianalogikan, 19 juta ton setara dengan 3 juta gajah Afrika dewasa.
Pemilahan sampah semakin sulit dilakukan
Penggunaan bahan-bahan anorganik dan residu pada banten membuat pemilahan sampah semakin sulit dilakukan. Bahkan, dari sampah organik yang telah terpilah pun belum pasti seluruhnya sampah organik karena sampah residu semakin kecil bentuknya, sehingga sulit untuk dipilah. Hal ini dituturkan oleh I Made Sudarma, dosen di Fakultas Pertanian Universitas Udayana sekaligus pemerhati lingkungan di Bali. Ia mengungkapkan bahwa kompos dari sampah organik di Bali sebagian besar tidak laku untuk pupuk.
“Karena kompos yang kita miliki belum tentu organik, bahan bakunya belum tentu organik. Kan sudah tercampur dari awal. Sampah upacara yang organik itu belum tentu organik, pasti juga sudah tercampur dengan materi lain yang bersifat kontaminasi,” ujar Sudarma.
Sudarma juga menggarisbawahi penanganan sampah residu yang lebih sulit dibandingkan sampah plastik. Sampah plastik dapat diantisipasi dengan penggunaan secara berulang dan sampahnya pun memiliki nilai jual. Namun, sampah residu tergolong sulit terurai dan tidak memiliki nilai jual.
“Kalau kita jujur banyak sekali komponen-komponen yang masih banyak melekat yang bersifat organik pada sampah upacara kita. Dan itu barangnya kecil-kecil dan itu termasuk kategori residu yang relatif sulit kita menangkap (memilah),” ungkap Sudarma.
Bahkan, kini muncul kembang rampe yang memiliki warna cerah akibat campuran pewarna pada pandan. Ketika dipegang, warna hijau pada kembang rampe akan menempel di tangan. Warnanya pun awet, seminggu di kulkas warnanya masih cerah. BaleBengong pernah mencoba membawa kembang rampe berwarna ke Laboratorium Analitik Universitas Udayana untuk mengetahui pewarna yang digunakan. Hasilnya, kembang rampe tersebut menggunakan pewarna alami. Pewarna dalam konteks ini adalah pewarna yang berasal dari tumbuhan dan hewan, termasuk pewarna makanan yang berbentuk cair.
Meski menggunakan pewarna alami, yang dikhawatirkan adalah di masa depan. “Tapi yang kita khawatirkan adalah sudah mulai berganti dan berubah dari pewarna organik ke pewarna non organik (sintetis) seperti kue-kue gitu kan,” ujar Sudarma.
Pemerintah lebih fokus pada sampah plastik
Dalam mengatasi penumpukan sampah upakara diperlukan keterlibatan pemuka agama dan pemerintah. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PDHI) merupakan salah satu organisasi keagamaan tertinggi umat Hindu di Bali yang memiliki pengaruh keagamaan dan budaya yang kuat.
Pada beberapa kesempatan, PHDI Provinsi Bali kerap menyampaikan himbauan kepada masyarakat terkait sampah upakara. “Hanya melakukan himbauan saja agar bekas upacara dibawa pulang atau ditaruh pada tempat yang sudah disediakan. Pernah juga kita melakukan himbauan untuk tidak menggunakan sarana upacara yang mengandung zat beracun atau kimia, seperti daun lontar, ibung, janur, dan kembang rampe yang diwarnai agar tidak membahayakan umat,” jelas Sudiana, Paruman Welaka di PHDI Bali ketika ditanya terkait himbauan yang pernah dikeluarkan PHDI Bali mengenai sampah upakara.
Himbauan yang dikeluarkan PHDI Bali biasanya disampaikan melalui media lokal dan surat. Sementara, aturan hanya dapat dikeluarkan oleh pemerintah karena PHDI tidak memiliki wewenang mengeluarkan aturan.

Melalui beberapa momen, Pemerintah Provinsi Bali juga mengeluarkan Surat Edaran mengenai tatanan upacara keagamaan, seperti yang saat ini terjadi di Pura Agung Besakih. Melalui Surat Edaran Nomor 08 Tahun 2025, Gubernur Bali mengimbau pemedek atau pengunjung Pura Besakih agar tidak membawa plastik ke area pura dan membuang sampah sembarangan di area pura. Adanya SE tersebut ternyata tidak membuat masyarakat sadar. Nyatanya, sampah plastik masih dengan mudah ditemukan di area Pura Besakih dan sampah pun masih dibuang sembarangan.
Regulasi yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Bali lebih banyak berfokus pada pengurangan sampah plastik sekali pakai, seperti Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018, Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019, dan aturan terbaru Surat Edaran Nomor 09 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. Padahal, sampah upakara juga menjadi masalah besar di Bali. Bukan hanya karena menghasilkan residu, tapi juga sampah organiknya dapat menghasilkan gas metana jika tidak terkelola dengan baik. Hasil penelitian mengenai limbah organik di Bali dapat dibaca di sini.
Di balik tujuan efisiensi dan kepraktisan seperti yang diungkapkan dalam beberapa komentar di Instagram BaleBengong ternyata ada pengorbanan yang ditimbulkan. Banten upakara yang mengandung bahan-bahan residu akan semakin sulit dipilah, terutama komponen yang bentuknya kecil. Akhirnya, komponen tersebut akan tercampur dengan sampah organik lainnya. Selain tidak bisa diolah, sampah ini akan menumpuk di TPA dan pada akhirnya menimbulkan kerusakan pada lingkungan dan berdampak pada kesehatan.
sangkarbet chrishondrosfilm.com sangkarbet