
Sarana upacara di Bali dibedakan sesuai tingkatan yadnya. Dalam keseharian, umat Hindu Bali menghaturkan saiban dan canang sebagai bentuk rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu, dalam upacara agama yang lebih besar, umat Hindu menghaturkan sodan. Ada pula gebogan yang dihaturkan pada saat piodalan.
Masih banyak lagi jenis banten di Bali. Banten merupakan simbol dari persembahan umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, beda upacara keagamaan, beda pula banten yang dipersembahkan. Pada dasarnya, sarana upacara keagamaan umat Hindu menggunakan bahan-bahan yang berasal dari alam, seperti bunga dan daun. Maka, ketika persembahyangan selesai, sampah yang dihasilkan bisa kembali lagi ke alam sebagaimana konsep Tri Hita Karana.
Namun, zaman semakin berkembang, isi banten semakin disederhanakan. Misalnya, penggunaan busung ibung dan ental agar banten tidak mudah layu. Ada juga rampe atau daun pandan yang diberikan pewarna agar warnanya lebih awet. Jajan uli dan jajan gina juga merupakan salah satu isi banten yang jarang dikonsumsi, meski tampak enak jika dikonsumsi bersama tape.


Saat ini, plastik juga digunakan secara berlebihan pada banten. Tim BaleBengong mencoba membedah plastik yang digunakan pada pejati di dagang banten. Pada pejati, plastik digunakan untuk membungkus arak dan berem, kemudian plastik juga membungkus telur daksina dan beras di dalam daksina. Bukan hanya di pejati, plastik juga kerap digunakan sebagai hiasan lamak. Begitu pula pada gebogan yang menggunakan minuman kaleng, makanan kemasan, hingga bunga palsu. Bahan tidak terurai juga banyak digunakan pada canang, seperti permen dan wadah kopi sekali pakai.
Ketika berbincang-bincang dengan salah satu pedagang canang dan banten, ia menyebutkan yang paling laku adalah jajan uli jajan gina dan tumpeng. Ia menyebut banyak orang yang membeli ini karena dua komponen tersebut banyak digunakan dalam banten. Salah satu pembeli mengaku lebih praktis jika membeli yang sudah jadi.
Konsep banten mulai luntur
Mpu Jaya Prema Ananda, pendeta agama Hindu yang juga aktif di media sosial menyebutkan bahwa banten berasal dari alam untuk kembali kepada alam. “Malah kalau banten itu habis dipakai itu nggak boleh dibakar, jadi ditanam gitu aja, kembalikan ke alam, tanah, ditimbun,” ungkap Jaya Prema.
Sekitar tujuh tahun yang lalu, Jaya Prema membuat penelitian di Sulawesi Tengah terkait pembuatan busung ibung. Di sana ia menemukan bahwa penggunaan busung ibung menggunakan bahan pengawet, sehingga tidak layak digunakan sebagai bahan banten.
Penggunaan busung ibung dapat mencemari upacara keagamaan itu sendiri. Misalnya, ketika umat Hindu menggunakan busung ibung untuk membuat lis (alat memercikkan tirta), bahan pengawet yang ada dalam busung ibung tersebut dapat mencemari tirta yang dimaknai sebagai air suci.
Sebagai seorang pendeta, Jaya Prema menyebutkan konsep banten sebagai persembahan isi alam tempat umat Hindu berpijak sudah mulai luntur. Perkembangan zaman membuat masyarakat lebih mengutamakan kepraktisan. Padahal, masyarakat Hindu cukup mempersembahkan hasil alam di sekitarnya untuk membuat banten itu sendiri.
“Jadi kalau ada misalnya buah mangga, buah sotong, buah nanas, kenapa nggak itu saja dipakai untuk sarana banten, kenapa harus pakai minuman kaleng atau roti yang dibungkus dengan plastik kayak gitu,” terang Jaya Prema.
Hal ini terutama terjadi pada masyarakat di perkotaan. Banyak masyarakat yang menyalahartikan canang. Misalnya, canang dihaturkan dengan permen dan rokok batangan, padahal seharusnya yang dipersembahkan hanya bunga dan daun yang berasal dari hasil bumi.

Dalam ajaran Hindu, banten terdiri dari tiga unsur, yaitu mataya, maharya, dan mantiga. Mataya merupakan banten dari yang tumbuh atau tumbuh-tumbuhan (daun, bunga, dan buah), maharya merupakan banten dari yang lahir diwakili oleh binatang (babi, kambing, kerbau, dan sapi), dan mantiga merupakan banten dari binatang yang lahir dari telur (ayam, itik, angsa, telur ayam, telur itik, dan angsa).
Isi banten saat ini juga tidak lepas dari unsur-unsur komersial, seperti buah dari luar negeri, roti merk terkenal, hingga minuman kaleng. Bukan hanya itu, bahan-bahan untuk banten pun kini didatangkan dari luar pulau, seperti janur dan kelapa yang datang dari Pulau Jawa. “Jadi kebutuhan untuk sarana upacara banten di Bali itu sudah tidak sanggung lagi dihasilkan oleh Bali. Jadi kebanyakan dari Jawa datangnya, bahkan bunga sampai bebek itu,” ujar Jaya Prema.
Semakin banyak sampah yang tidak terurai
Banyaknya penggunaan isi banten yang tidak berasal dari alam menimbulkan masalah baru, yaitu semakin banyak sampah yang tidak terurai dari upacara keagamaan. Khrisna Wasista Widantara, Project Officer Merah Putih Hijau (MPH) menyebutkan bahwa limbah sampah banten dapat dilihat dari komponennya. Banten saiban dan canang yang dihaturkan sehari-hari hampir semuanya organik, kecuali stapler yang digunakan sebagai pengganti semat.
“Tapi kalau banten yang dihaturkan dalam beberapa upacara besar, misalnya kayak caru atau banten piodalan, itu mungkin estimasinya langsung menurun, mungkin sekitar 90% atau 95% (sampah organik) tergantung dari komponennya,” ungkap Khrisna ketika ditanya persentase sampah organik dalam banten.
Pada akhir tahun lalu, MPH bersama STT di Desa Adat Kota Tabanan, Yayasan Kunti Bhakti, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tabanan, dan TPS 3R Sadhu Kencana menginisiasi pengelolaan sampah upakara pada piodalan Pura Dalem Desa Adat Kota Tabanan. Dalam program tersebut, total sampah yang terkumpul adalah 2.775 kg.
Dari total hampir 3 ton, jumlah sampah organik yang berhasil terselamatkan (terpisahkan dari residu dan anorganik) sebesar 612 kg atau sekitar 22%. Sisanya terdiri dari sampah yang sudah tercampur. “Itu pun residunya juga hampir semua sampah organik yang telanjur tercampur karena masih banyak pemedek yang belum teredukasi,” ungkap Khrisna.
Limbah banten nyatanya tidak serta merta dapat diolah sebagai kompos secara keseluruhan. Pemilahan limbah banten dapat dikatakan kompleks, ditambah adanya penggunaan bahan-bahan buatan yang tidak secara alami berasal dari alam.

Coba kita lihat sekitar, penggunaan busung ibung semakin banyak dibandingkan busung biasa. Meski berbahan dasar daun lontar, busung ibung masuk dalam kategori sampah residu, sehingga tidak bisa diolah sebagai kompos maupun daur ulang. “Karena dia (busung ibung) melalui proses kimia, jadi dia sudah tidak pure organik,” ungkap Khrisna.
Bukan hanya busung ibung, dupa pun masuk dalam kategori residu dan harus dipisahkan dari limbah banten organik. Saat ini dupa tidak hanya memakai pewangi alami dari bunga, tetapi juga ada zat kimia dari pengawet dan pewangi buatan. “Termasuk juga lidinya atau kayu di dalamnya. Itu juga susah sebenarnya untuk dijadikan kompos. Jadi proses pengolahannya beda,” terang Khrisna.
Sampah lain yang juga perlu diperhatikan ketika pemilahan adalah pis bolong. Pis bolong merupakan uang logam yang biasanya digunakan untuk pelengkap kwangen dan sejumlah banten. Apabila terbawa ke mesin pencacah sampah, pis bolong dapat merusak mesin cacah.
Sementara itu, untuk stapler dan rampe masih diolah bersama dengan sampah organik lainnya. Limbah upakara yang masuk kategori organik diolah langsung bersama limbah lainnya di TPS 3R, seperti rumput dan sampah makanan. Proses composting berlangsung selama tiga bulan. Setelah tiga bulan, akan dipilah kembali untuk menemukan sampah yang belum terurai.
MPH sempat melakukan uji kompos untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam kompos. Hasilnya, pupuk kompos yang berasal dari limbah persembahyangan memiliki kandungan C-organik atau kadar karbon yang cukup tinggi. Ini termasuk kualitas pupuk kurang baik, tapi masih bisa digunakan untuk pertanian. Hal ini karena canang dan daun merupakan material organik kering, berbeda dengan sisa makanan (material organik basah) yang sebaliknya menghasilkan kadar nitrogen lebih tinggi dan bisa diolah jadi kompos berkualitas baik.
“Jadi daun-daunnya itu terlalu banyak dibandingkan dengan sampah makanan. Kalau mau mencari yang optimal sebenarnya tidak bagus kalau karbonnya kebanyakan. Tapi karena tujuan kita lebih ke mengelola sampahnya, bukan menghasilkan yang seoptimal mungkin. Tapi masih bagus dan masih baik untuk ditaruh ke pertanian organik dan segala macam,” terang Khrisna.
Pengelolaan limbah upakara begitu kompleks. Sudah seharusnya pelaksanaan upacara keagamaan kembali mengikuti konsep Tri Hita Karana, yaitu kehidupan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lingkungan.
Penggunaan sarana anorganik ini tak terhindarkan karena sejumlah alasan. Yuiasti, salah seorang perempuan 3 anak mengatakan saat sembahyang tidak terlalu memikirkan dampak lingkungan. “Yang penting terlihat cantik, saya lebih mikir ke atasnya aja,” ujarnya. Alasan lain disampaikan Wida, perempuan dengan dua anak. Ketika sedang banyak pekerjaan luar rumah, ia ingin leboh menghemat waktu menyiapkan sesajen sehingga pilihan membeli sarana sesajen dalam plastik tak terhindarkan.
Penggunaan bahan-bahan buatan yang berlebih dalam sarana upacara tanpa disadari akan menciptakan sampah yang tidak terurai dan mencemari alam. Maka, apa yang dipersembahkan oleh manusia kepada Tuhan yang seharusnya berasal dari alam malah menjadi bahan pencemar ketika kembali ke alam.
situs slot gacor toto slot toto slot link slot https://sipulan.depok.go.id/img/` slot resmi slot gacor slot gacor slot gacor daftar slot daftar slot 15 slot gacor gampang menang