• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Monday, May 12, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Budaya

Banten bukan Beban Perempuan, Laki-Laki Juga Punya Peran

I Gusti Ayu Septiari by I Gusti Ayu Septiari
18 April 2025
in Budaya, Kabar Baru
0 0
0
Suasana ngiring di Denpasar

Beberapa waktu lalu BaleBengong mengunggah konten di Instagram yang membahas tentang banyaknya penggunaan bahan-bahan bukan berasal dari alam pada banten. Dalam liputan Konsep Banten Makin Luntur, Limbah Tidak Terurai Makin Banyak, kami menemukan bahwa saat ini sarana upacara di Bali banyak menghasilkan limbah tidak terurai, seperti busung ibung, bungkus permen, dupa, hingga stapler.

Dalam konten Instagram yang kami unggah ternyata beberapa pengguna Instagram mengungkapkan alasannya menggunakan bahan-bahan tidak terurai pada banten. Berikut beberapa komentar yang kami kumpulkan:

Ada satu kemiripan dalam komentar di atas, yaitu beban perempuan dalam membuat sarana upacara di Bali. Dalam kehidupan masyarakat Bali yang patrilineal, pembuatan banten lebih banyak dibebankan kepada perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh akun Instagram sarasutengsu bahwa perempuan dituntut untuk serba cepat dalam membuat banten. Bahkan tidak jarang hari raya di Bali berbarengan dan berdekatan, sehingga bisa dibilang tidak ada hari tanpa membuat banten.

Menjadi perempuan di Bali seabrek pekerjaannya, begitu kata akun timetoshine_zs. Maka dari itu, mereka lebih memilih praktis dan satset daripada begadang mejejaitan seperti kata akun desaktupurnami.

Bukan hanya dibebankan pekerjaan rumah tangga dan mendidik anak, beban ritual pun jatuh pada perempuan. Lantas, bagaimana peran laki-laki? Apakah laki-laki dirajakan seperti yang ditulis akun shanti.utamii?

Ketika berbincang dengan seorang laki-laki satu-satunya dalam keluarga Bali, ia menyebutkan bahwa dirinya tidak pernah mebanten di rumah. Meski begitu, ia sering membantu ibunya metanding dan mejejaitan. “Nggak pernah disuruh,” begitu katanya ketika ditanya terkait alasannya tidak pernah mebanten.

Melalui komentar yang kami kumpulkan di atas, penting adanya peran laki-laki dalam persiapan ritual keagamaan di Bali. Selama ini, peran laki-laki biasanya hanya dalam pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga dan pekerjaan tersebut biasanya dilakukan mendekati hari. Sementara, perempuan sudah bekerja jauh-jauh hari menyiapkan jejaitan yang akan digunakan.

Saya berkunjung ke rumah serati laki-laki ternama di Desa Adat Laplap, Kecamatan Denpasar Timur, untuk mengetahui kisah pembuat banten terkenal di desa tersebut. Serati tersebut dikenal dengan nama Wak Rendi. Namun, Wak Rendi sudah meninggal tujuh bulan yang lalu setelah mengantarkan banten ke Semeru, Jawa Timur.

Di sana saya berbincang dengan Made Wati, istri Wak Rendi yang melanjutkan usaha suaminya. Made Wati bercerita bahwa sejak kecil Wak Rendi hanya tinggal dengan neneknya. Hal tersebut yang membuat Wak Rendi terbiasa membuat banten, mejejaitan, dan mebanten. Ketika dewasa, Wak Rendi berprofesi sebagai guru. Namun, upah guru pada saat itu tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Wak Rendi menyadari dirinya memiliki kemampuan membuat banten dan mejejaitan. Ia pun mulai memanfaatkan keahliannya dengan menjadi pedagang banten. Selama hidupnya, ia tidak hanya menjual banten keliling Bali, tetapi juga di luar Bali.

Terlepas dari kegiatan bisnisnya, Made Wati dan Wak Rendi tidak lupa menanamkan kebiasaan mebanten kepada dua anak laki-laki mereka. Made Wati mengungkapkan setiap pagi sebelum dirinya berangkat bekerja, ia akan membuat banten saiban (banten nasi) untuk nantinya dihaturkan oleh anak-anaknya.

Kebiasaan yang ditanamkan oleh Made Wati tersebut masih berkembang hingga sekarang dalam diri anaknya. Salah satu anaknya, Wayan Pratiasa mengungkapkan bahwa dirinya setiap hari mebanten di rumah, kerap kali bergantian dengan istrinya. “Asal ube sibuk ane luh, ane muani mebanten (kalau istrinya sibuk, suaminya yang mebanten),” ujar Made Wati.

Ketika ditanya pandangan orang sekitar Pratiasa ketika melihat dirinya mebanten dan terkadang mejejaitan, ia menyadari ada pandangan positif dan negatif. “Kalau yang seperti itu kan udah biasa. Ngudiang wak ane muani meuruk ngae banten (ngapain kamu laki-laki belajar buat banten),” ujar Pratiasa menirukan ucapan orang-orang sekitarnya.

Pratiasa tidak mengindahkan ucapan orang-orang tersebut. Ia menganggap bahwa laki-laki dan perempuan sama saja, sama-sama memiliki kesempatan untuk belajar membuat banten dan sama-sama memiliki kewajiban untuk terlibat dalam ritual sehari-hari. “Rage je mebanten masi patuh. Kadang pang enggalan mesaut, nak sing dadi (saya yang mebanten juga sama aja. Kadang biar cepat saya jawab, istri saya lagi haid),” kata Pratiasa mengungkapkan jawaban yang sering ia berikan kepada orang-orang.

Berbeda dengan kebiasaan di perkotaan, di Desa Gunaksa, Kabupaten Klungkung, laki-laki sudah terbiasa mebanten maupun mejejaitan. Hal ini diungkapkan oleh Ketut Sugiarsa atau yang dikenal dengan nama Ketut Keling. Ia merupakan salah satu serati laki-laki di Banjar Tengah, Desa Gunaksa. Selain dirinya, Ketut Keling mengungkapkan masih ada beberapa serati laki-laki di Desa Gunaksa.

Fenomena serati laki-laki ini ada dan tumbuh karena kebiasaan masyarakat desa sejak bergabung dalam Sekaa Teruna Teruni (STT). Ketika ada upacara keagamaan di desa, para pemuda-pemudi di STT akan ikut ngayah (gotong royong). Berbeda dengan daerah lainnya, ngayah di Desa Gunaksa tidak ada batasan pekerjaan laki-laki dan perempuan.

“Nyen bisa mejejaitan, to nyemak gae mejejaitan (siapa yang bisa mejejaitan, dia yang mejejaitan),” ungkap Ketut Keling. Menurut penuturannya, tidak ada pembagian tugas perempuan dan laki-laki, setiap orang dapat mengambil tugas apa pun sesuai keahliannya.

Ketut Keling mengungkapkan kebiasaan ini tumbuh karena adanya tradisi tajen atau sabung ayam di Desa Gunaksa ketika ada upacara keagamaan, terutama ketika Hari Raya Galungan dan Kuningan. “Pang enggal suud (biar cepat selesai),” ujar Ketut Keling menjelaskan alasan banyaknya laki-laki yang mebanten sewaktu Galungan. 

Terlepas dari kepentingan tajen, Ketut Keling mengungkapkan bahwa dalam keseharian pun tidak mungkin hanya perempuan yang metanding, mejejaitan, dan mebanten. Pekerjaan tersebut menurutnya bukan hanya pekerjaan perempuan, laki-laki pun dapat melakukan pekerjaan serupa. “Nyen bisa, to ngae (siapa yang bisa, dia yang buat),” ujar Ketut Keling.

Dari cerita-cerita di atas dapat dilihat bahwa pekerjaan mempersiapkan sarana upacara maupun menghaturkan sarana upacara bukan pekerjaan feminim. Laki-laki maupun perempuan memiliki hak, kesempatan, dan kewajiban yang sama dalam hal mebanten maupun membuat banten. Beban banten tidak seharusnya hanya dibebankan kepada perempuan karena apa pun gender dan jenis kelaminnya, kewajibannya kepada Tuhan tetap sama. Kebiasaan ini tentu tidak terlepas dari pengaruh lingkungan sekitar. Apabila sudah terbiasa sejak kecil, maka kebiasaan membuat dan menghaturkan banten akan tumbuh menjadi kebiasaan tanpa pandang gender.

Tags: BantenBanten di Balibeban perempuanFeminimmaskulinpatrilinealPembagian peranserati banten
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
I Gusti Ayu Septiari

I Gusti Ayu Septiari

Berkutat menjadi jurnalis muda di pers mahasiswa selama masa kuliah. Berkelana dua tahun di Semarang hingga memutuskan untuk kembali pulang ke Bali.

Related Posts

Konsep Banten Makin Luntur, Limbah tidak Terurai Makin Banyak

8 March 2025
Prasangka dan Maskulinitas, Siapa Monsternya?

Prasangka dan Maskulinitas, Siapa Monsternya?

20 January 2024
Ketika Maskulin dan Feminin Jadi Satu

Ketika Maskulin dan Feminin Jadi Satu

7 February 2023
Nyepi di Bali Terbukti Mengurangi Emisi

Bersiap Merayakan Nyepi di Banten

5 March 2014
Next Post
Aliansi Hapera Bali Mendorong Pemerintah Lindungi Hak Pekerja

Aliansi Hapera Bali Mendorong Pemerintah Lindungi Hak Pekerja

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

matan AI

Intelektual Blangko

11 May 2025
Merawat Kreativitas dan Kebebasan Berpikir Anak Muda Melalui Muruk dan Nutur

Merawat Kreativitas dan Kebebasan Berpikir Anak Muda Melalui Muruk dan Nutur

10 May 2025
Jangan Panik, Lakukan Ini Ketika Terjadi Pemadaman Listrik

Jangan Panik, Lakukan Ini Ketika Terjadi Pemadaman Listrik

9 May 2025
KB Krama Bali Bebankan Perempuan Secara Fisik dan Mental

KB Krama Bali Bebankan Perempuan Secara Fisik dan Mental

9 May 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia