
Awal April lalu, mahasiswa Universitas Udayana (Unud) beramai-ramai menolak Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dan Unud. Kesepakatan terakhir menghasilkan pihak Unud akan mengusulkan pembatalan PKS ke Kodam IX/Udayana. Hingga kini usulan pembatalan tersebut tengah berproses.
Sebelum mahasiswa Unud melakukan aksi di auditorium Widya Sabha, kampus Unud Jimbaran pada 8 April 2025, sempat terjadi peristiwa tidak mengenakkan yang dialami oleh sejumlah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unud. Peristiwa ini terjadi kurang dari sebulan setelah PKS ditandatangani, tepatnya pada 25 Maret 2025.
Peristiwa tersebut adalah kedatangan seorang anggota TNI secara tidak terduga ke acara diskusi yang diselenggarakan oleh mahasiswa FISIP Unud. Topik diskusi pada saat itu adalah pengesahan RUU TNI. Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Unud, Mario Lumba, mengatakan pihaknya memang pernah mengundang Kodam IX/Udayana untuk melakukan debat terbuka dengan mahasiswa, tetapi tidak ada respon sama sekali.
“Sedangkan pada saat kita menjalankan diskusi publik yang mengundang masyarakat umum, tapi mengutamakan teman-teman mahasiswa yang ada di universitas sendiri, pihak Kodam rela datang tanpa undangan,” ungkap Mario. Kedatangan anggota TNI mengejutkan peserta diskusi, bahkan beberapa di antaranya bertanya-tanya apakah forum tersebut memang mengundang anggota TNI.
Anggota TNI yang datang saat itu adalah Kolonel Infanteri Ronald Sumendap diikuti beberapa orang yang merekam acara diskusi. Ronald mengenakan busana TNI lengkap dan duduk di depan seolah-olah dirinya merupakan salah satu pembicara pada diskusi tersebut. “Kita tidak melarang, tetapi kalau misalnya ingin menghadiri diskusi tersebut, alangkah baiknya menggunakan pakaian biasa untuk berbaur sama teman-teman dari masyarakat sipil dan mahasiswa,” terang Mario.
Saat itu Mario meyakini bahwa dengan adanya PKS antara Unud dan Kodam IX/Udayana, rektorat membuka celah terjadinya militerisasi kehidupan kampus. “Kita merasa bohong kalau misalnya kita nggak merasa diintimidasi, bohong kita merasa nggak diintervensi,” imbuhnya.
Setelah mendengar cerita Mario, BaleBengong melakukan survei kebebasan berekspresi dan akademik di Unud periode dulu (1990-2010) dan sekarang (2011-saat ini). Tujuannya adalah untuk membandingkan bagaimana iklim kebebasan berekspresi dan akademik di Unud.
Kebebasan berekspresi merupakan hak individu untuk menyampaikan pendapat, pikiran, perasaan, atau informasi melalui berbagai cara, tanpa adanya pembatasan, intimidasi, intervensi, dan sanksi. Sementara itu, kebebasan akademik adalah hak akademisi untuk mendapatkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan tanpa adanya tekanan dari pihak luar.
Survei ini kami laksanakan kurang lebih dua minggu. Terdapat 50 responden yang mengisi survei, 42 responden adalah mahasiswa Unud periode sekarang (2011-saat ini), sedangkan 8 responden lainnya adalah mahasiswa Unud periode dulu (1990-2010).
Pertanyaan pertama yang diajukan adalah ‘apakah di periodemu mahasiswa dapat membuat kegiatan akademik dan nonakademik dengan bebas?’. Seluruh mahasiswa periode dulu menjawab ‘ya’ pada pertanyaan tersebut. Sementara, jawaban beragam ditemukan pada mahasiswa periode sekarang. Sebanyak 26 mahasiswa periode sekarang memilih ‘ya’, sedangkan 13 mahasiswa periode sekarang memilih ‘tidak’. Ada pula yang memberikan jawaban netral dengan keterangan, “karena jika kegiatan yang bernalar kritis seperti diskusi itu diperbolehkan, namun jika aksi/demonstrasi tidak diperbolehkan”.
Pada pertanyaan kegiatan akademik dan nonakademik yang paling banyak dilakukan di kampus juga ditemukan jawaban yang berbeda. Mahasiswa periode dulu lebih banyak memilih diskusi intra dan ekstra kampus sebagai kegiatan akademik dan nonakademik yang paling banyak dilakukan. Sementara, mahasiswa periode sekarang lebih banyak memilih Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Mahasiswa periode sekarang yang memilih opsi ‘lainnya’ pun menuliskan kegiatan program kerja yang pada dasarnya bagian dari UKM.
Pertanyaan berikutnya menghasilkan jawaban yang sama dari mahasiswa periode dulu dan sekarang. Larangan rektorat atau dekanat menjadi penghambat kegiatan akademik dan nonakademik yang paling banyak dipilih pada dua periode. Selain memilih dua pilihan yang ada, beberapa responden menjelaskan penghambat kegiatan secara spesifik.
Penghambat lain yang banyak diungkapkan adalah minimnya dana dari kampus, kurangnya fasilitas yang memadai, dan pembatasan waktu kegiatan. Terbatasnya jam untuk berkegiatan terjadi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud. Kami mengonfirmasi hal ini dengan Adi Dwipayana, Pemimpin Umum Pers Akademika. Adi menyebutkan pembatasan ini berawal dari kasus kehilangan proyektor di FIB Unud.
“Kemudian diberlakukanlah jam malam itu yang di mana sebagian besar mahasiswa itu dirugikan karena di hari Senin sampai hari Jumat itu dibatasi, sedangkan Sabtu itu boleh beraktivitas asal bersurat,” ungkap Adi.
Pers Akademika pernah mengalami penundaan kegiatan akibat adanya aturan jam malam tersebut. Akhirnya, diskusi ditunda dan diganti keesokan harinya. “Kita ganti besoknya lagi dan itu nggak efektif sama sekali,” ujar Adi. Sebagai salah satu organisasi pers di Unud yang kerap menuliskan kritik, Adi merasa sejauh ini tidak ada larangan atau intimidasi yang dialami Pers Akademika. Kendala yang dihadapi selama ini hanya masalah administrasi, seperti peminjaman ruangan.
Menanggapi terbatasnya waktu beraktivitas di kampus, salah satu responden mengungkapkan bahwa sepertinya Unud memerlukan ruang publik untuk mahasiswanya yang lebih memadai.
Ketika memilih bentuk larangan atau intimidasi di kampus, sebagian besar responden menjawab larangan aksi, di antaranya 3 responden dari mahasiswa periode dulu dan 12 responden dari mahasiswa periode sekarang. Selain memilih larangan diskusi dan sanksi dari dosen, beberapa responden lain menjelaskan bentuk larangan secara spesifik. Salah satu responden menceritakan teguran yang diterima oleh temannya ketika ramai perihal Omnibus Law.
“Teringat saat aksi Omnibus Law, kami angkatan 2020 sedang kuliah online sebab pandemi. Saat itu salah satu teman kelas saya menulis tolak Omnibus Law dan menampilkannya di layar. Kemudian disindir oleh dosen Fakultas MIPA, kurang lebih ucapannya seperti ini, kalau di kelas seharusnya belajar, bukan untuk demo-demo. Padahal saat itu sesi kelas sudah berakhir,” tulis mahasiswa periode sekarang yang memiliki nama panggilan Rani. Rani menyayangkan sikap yang diberikan oleh dosennya pada saat itu. “Seharusnya para akademisi memberikan sudut pandangnya, bukan malah menyindir dengan nada tersinggung kepada kami,” imbuhnya.
Cerita serupa juga dialami oleh Tomy Wiria dari Front Mahasiswa Nasional cabang Denpasar ketika diwawancara dalam liputan Anak Muda dan Gerakan Sosial di Bali: Kecil tapi Masih Bergerak. Serangan berupa kata-kata menyindir ia dapatkan karena mengikuti aksi perihal G20 di Bali. “Waktu itu dia bukan mengajar di kelas saya, tapi mengajar di kelas lain. Isi dari intimidasi itu adalah si Tomy ini bakal saya lambatin lulusnya karena sudah melakukan aksi G20,” ungkap Tomy.
Survei kebebasan berekspresi dan akademis di Unud yang BaleBengong lakukan belum dapat menunjukkan secara jelas perbedaan iklim kebebasan di Unud dalam dua periode waktu karena responden yang tidak seimbang. Namun, survei ini menunjukkan dinamika kebebasan berekspresi dan akademik yang terjadi di Unud.
Mahasiswa Unud periode dulu merasa bahwa kebebasan berekspresi dan akademik pada zamannya baik-baik saja. Pada tahun 1990-2010 berbagai aksi, diskusi, dan kegiatan lainnya dapat dilaksanakan dengan bebas, meski ada hambatan dan intimidasi dari pihak kampus. Sementara itu, tahun 2011-saat ini ditemukan hal yang beragam. Sebagian besar memang merasa bebas berekspresi, tapi beberapa lainnya merasa belum bebas.
sangkarbet chrishondrosfilm.com sangkarbet cerutu4d cerutu4d situs slot