
Bali menjadi tempat terselenggaranya banyak perhelatan internasional. Akhirnya, banyak pula proyek-proyek percontohan yang dilakukan di Bali, salah satunya proyek percontohan Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai langkah transisi energi.
Secara sederhana, transisi energi merupakan perubahan sistem energi berbahan bakar fosil ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Suatu energi baru bisa disebut sebagai energi terbarukan ketika mampu memasok energi untuk masa depan, bukan hanya menyalurkan energi untuk kebutuhan saat ini. Beberapa energi terbarukan yang dikembangkan di Indonesia adalah tenaga surya, angin, air, biomassa, dan panas bumi.
Energi terbarukan melimpah, pemanfaatan tidak optimal
Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, Alvin Putra, menyebutkan bahwa potensi energi terbarukan di Bali melimpah. Alvin menjabarkan besaran potensi energi terbarukan dengan angka dalam acara pelatihan media yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR).
Potensi energi terbarukan yang paling besar di Bali adalah energi surya, yaitu sebesar 26.450 megawatt dan diikuti oleh energi bayu sebesar 445 megawatt. Jika rata-rata daya listrik rumah tangga di Indonesia adalah 1.300 watt, maka daya 26.450 megawatt dapat menyalakan sekitar 20 juta rumah tangga secara bersamaan.
Sayangnya, potensi sebesar itu belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Banyak proyek energi terbarukan, terutama di Bali yang hanya menjadi proyek sementara, tanpa keberlanjutan. Padahal, Bali memiliki cita-cita mencapai emisi nol bersih 2045, lima tahun lebih awal dari target nasional.
Mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Kubu, Kabupaten Karangasem adalah salah satu contoh proyek EBT di Bali yang tidak berjalan optimal. Dalam liputan BaleBengong sebelumnya, ditemukan bahwa PLTS Kubu yang dibuat pada tahun 2013 sempat berjalan sebentar, tapi kemudian berhenti lagi, hingga kemudian pengelolaannya diserahkan dari Kementerian ESDM ke Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Karangasem Sejahtera. Ada pula Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan PLTS di Nusa Penida yang ternyata beberapa di antaranya dalam kondisi rusak dan tidak terawat.
Pada akhirnya, proyek-proyek EBT tersebut meninggalkan lahan dengan pembangkit listrik yang mangkrak. Dari hasil analisis IESR, Alvin menyebutkan bahwa pemerintah tergantung pada solusi-solusi yang bersifat sementara dan tidak melakukan perubahan-perubahan struktural untuk menjaga keberlanjutan sistem energi yang telah dibangun. “Itu kita lihat bahwa langkah-langkah untuk berpindah, beralih ke sumber-sumber yang terbarukan ini masih sangat kurang dan masih fokus ke kebijakan yang populis,” ungkap Alvin.
Minimnya keterlibatan masyarakat
Regulasi pemerintah terkait transisi energi dapat dikatakan cukup tarik ulur. Salah satunya adalah perizinan PLTS atap yang terputus di PLN dan harus memenuhi kuota yang telah ditentukan oleh PLN. “Jadi kalau kuotanya sudah penuh, kita nggak bisa buat PLTS atap. Yang bisa diperbaiki bagaimana proses penentuan kuotanya itu bisa lebih terbuka,” ungkap Alvin.
Pada tahun 2022 lalu, salah satu warga Bali menyampaikan bahwa dirinya mendapatkan panggilan dari PLN karena pemasangan PLTS atap. Informasi tersebut ia sampaikan melalui kanal Youtube-nya, Ajikonline. Dalam video tersebut ia dikenai denda sebesar Rp17 juta karena belum mendapatkan izin dari PLN terkait pemasangan PLTS atap.
Usaha transisi energi tidak akan berjalan hanya dengan inisiatif dari pemerintah. Transisi energi membutuhkan multi sektoral, baik itu dari pemerintah dan masyarakat, terutama masyarakat di sekitar proyek energi terbarukan. Pendanaan penuh dari pemerintah adalah hal yang mustahil. “Tapi kita bisa misalnya pemerintah itu membuat sebuah kerangka yang memperbolehkan kerja sama masyarakat dan lembaga finansial atau pihak swasta,” imbuhnya.
Desa Keliki merupakan salah satu desa di Bali yang berhasil memanfaatkan energi terbarukan di level desa. Di desa ini, energi bersih digunakan untuk menjalankan sistem subak, pengolahan sampah, penerangan, dan lain sebagainya. Ada pula pemanfaatan bioenergi di Desa Munduk, Kabupaten Buleleng untuk pertanian padi. Selain dua desa yang disebutkan oleh Alvin, ada pula PLTS Kayubihi di Kabupaten Bangli yang berada di bawah Perusda Bhukti Mukti Bhakti Kabupaten Bangli.
Tantangan lain transisi energi
Selain kurangnya keterlibatan masyarakat, tantangan lain dalam transisi energi adalah ketidaksesuaian perkiraan dan realita di lapangan. Tantangan ini diceritakan oleh I Gusti Bagus Wijaya, guru besar Fakultas Teknik Universitas Udayana. Wijaya merupakan salah satu orang yang menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di kawasan Bedugul, Bali.
PLTP Bedugul saat itu digaung-gaungkan dapat menghasilkan energi sebesar 100 megawatt. “Saya bawa peralatan (ke Bedugul), saya cek watt standarnya nggak cocok dengan yang diperkiraan tadi. Jadi saya empat jam di sana menyelesaikan report, dari 100 megawatt yang saya temukan cuma 4 megawatt,” terang Wijaya. Dari yang diperkirakan bisa memasok satu kota kecil, ternyata hanya bisa memasok satu universitas.
Apabila PLTP Bedugul dibangun, investor akan merugi karena balik modalnya sekitar 11 tahun. PLTP Bedugul hanya bisa menghasilkan 100 megawatt jika dibangun di lahan seluas ratusan hektare. “Habis itu tiga gunung yang ada di Bedugul,” kata Wijaya jika PLTP Bedugul digadang-gadang hasilkan 100 megawatt.
Ia juga menceritakan tentang rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di lahan kampus bukit Jimbaran Universitas Udayana oleh pihak swasta. “Dipikirnya kampus bukit Jimbaran itu dekat dengan laut, anginnya tinggi. Kok saya sehari-hari tinggal di kampus bukit Jimbaran nggak ada angin,” ujar Wijaya.
Pembangunan sistem energi terbarukan juga membutuhkan lahan yang luas. “Tantangan kita sekarang adalah lahan di Bali itu di mana mau dibangun?” ujar Wijaya ketika ditanya peluang transisi energi di Bali. Wijaya memberikan solusi pembangunan PLTS atap terapung. Pasalnya PLTS atap di atas air lebih murah karena tidak memerlukan standing yang biayanya cukup mahal. Selain itu, air juga dapat menyimpan panas matahari, sehingga efisiensinya lebih tinggi dibandingkan PLTS atap di permukaan.
Selain membutuhkan lahan yang luas, transisi energi juga membutuhkan investasi awal yang besar, meski digadang-gadang lebih hemat daripada energi fosil. Biaya yang mahal terdapat pada teknologi yang digunakan untuk energi terbarukan. Biaya PLTS atap sendiri saat ini masih berkisar di angka belasan hingga puluhan juta dan balik modalnya bisa dalam beberapa tahun.
Alvin menyebutkan bahwa transisi energi seperti PLTS atap belum bisa menyasar skala rumah tangga. Ia lebih mendorong pihak-pihak yang mempunyai kapasitas tertentu, seperti pada skala bisnis, pariwisata, pemerintah, dan UMKM. Sementara, transisi energi di skala rumah tangga bisa dilakukan dengan mengubah gaya hidup menjadi lebih efisien energi, seperti menggunakan transportasi umum dan mengubah kebiasaan penggunaan barang elektronik.
cerutu4d cerutu4d situs slot