
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Begitu bunyi Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh negara. Berpendapat yang dimaksud termasuk penyampaian pendapat di muka umum, seperti unjuk rasa, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas.
Di masa kini, gerakan sosial sebagai salah satu bagian kebebasan berpendapat tidak hanya muncul dalam aksi unjuk rasa, tetapi juga melalui media sosial. Begitu pula di Bali muncul berbagai gerakan melalui media sosial, seperti Bali Tidak Diam, Komunitas Aspirasi Unud, Aksi Kamisan Bali, hingga Front Mahasiswa Nasional.
Gerakan-gerakan tersebut diisi oleh anak-anak muda yang berani menyuarakan perlawanan. Organ di balik media sosial pergerakan itu pun terdiri dari berbagai komunitas yang memiliki tujuan sama, seperti Aksi Kamisan Bali yang terdiri dari LBH Bali, Sanggar Puan, Perpustakaan Jalanan, Front Mahasiswa Nasional (FMN), dan organisasi lainnya.
Setiap daerah di Indonesia memiliki iklim gerakan yang berbeda-beda. Jika mengamati iklim gerakan sosial di Bali, yang ditemui hanya itu-itu saja. Salah satu aktivis muda Bali, sebut saja namanya Dian. Ia merupakan bagian dari komunitas yang aktif menyuarakan perlawanan di Bali. Dalam beberapa kesempatan, saya sering menjumpai Dian dalam beberapa aksi. Ia getol dalam menyuarakan aspirasi dan pendapat.
Kerap aktif dalam beberapa gerakan, Dian mengakui bahwa gerakan sosial di Bali memang perlu banyak berbenah. Pasalnya, gerakan sosial di Bali belum bisa menciptakan gerakan yang solid dan merangkul banyak kalangan. “Misalnya kalangan generasi muda selain mahasiswa. Lalu merangkul kawan-kawan penyandang disabilitas dan kawan-kawan minoritas lainnya,” ujar Dian.
Saat ini, gerakan sosial di Bali memang lebih banyak datang dari kalangan mahasiswa. Kalau pun bukan mahasiswa, biasanya kelas pekerja dan aktivis yang memang berada dalam jaringan komunitas. Tantangan terbesar dalam melakukan gerakan sosial di Bali adalah menggalang suara masyarakat Bali itu sendiri.
Hal ini juga diungkapkan oleh Tomy Wiria dari FMN cabang Denpasar. “Kita paham bahwa tantangan massa yang paling besar dalam aksi di Bali adalah mengenai massa aksi itu sendiri yang susah untuk besar, untuk luas, untuk masif gitu,” ungkap Tomy.
Tomy mengaku dirinya masih baru dalam gerakan sosial di Bali. Gerakan pertamanya adalah aksi dalam mengkritik G20 di Bali. Sebagai mahasiswa dan sebagai aksi pertama, Tomy dihadapkan dengan pengalaman tidak mengenakkan. Pasalnya, dalam aksi tersebut ia dan beberapa massa aksi lainnya mendapatkan intimidasi hingga penangkapan.
Pengalaman tersebut tidak membuat Tomy berhenti. Hingga saat ini ia masih gencar menyuarakan perlawanan pada kebijakan pemerintah maupun kebijakan kampusnya sendiri yang dianggap merugikan orang banyak. Bukan hanya tergabung dalam aksi, Tomy pun kerap ikut dalam kampanye, salah satunya kampanye di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Batur.
Intimidasi dan penangkapan merupakan dua tindakan aparat yang menghiasi aksi massa akhir-akhir ini. Polanya adalah massa melakukan aksi, kemudian aparat melakukan intimidasi berupa psikis maupun fisik kepada massa aksi, dan diakhiri penangkapan orang-orang yang dituduh sebagai provokator dan biang kerok.
Tidak hanya Tomy, Dian pun menjadi salah satu tahanan pada aksi G20. Bedanya, Dian mendapatkan intimidasi psikis yang menyerang gendernya sebagai perempuan. “Kamu tuh perempuan, apalagi orang Bali, malu-maluin loh. Orang tuamu capek-capek membiayai hidupmu, terus kamu sebagai perempuan seharusnya bisa nurut,” ujar Dian dengan nada kesal menirukan nada intimidasi yang ia dapatkan saat itu.
Intimidasi yang dialami Dian sebagai seorang perempuan ternyata tidak hanya terjadi satu kali. Pada People Water Forum (PWF) pun ia mendapatkan intimidasi serupa, yaitu intimidasi yang menyerang gender.
Tantangan dan masalah yang dihadapi para aktivis muda saat ini tidak hanya datang saat aksi berlangsung, tetapi juga dalam keseharian. Dian sebagai perempuan Bali kerap mendapatkan stigma buruk dari lingkaran keluarga, teman, hingga perkuliahan. “Di keluarga misalnya saat saya mengikuti aksi selalu dibilang, ngapain sih ikut-ikut aksi? Mendingan kelarin kuliah, cari kerja, habis itu nikah,” ungkap Dian. Dalam beberapa kesempatan, ketika Dian menyampaikan pendapat, dirinya kerap ditertawakan karena pandangannya berbeda dengan mayoritas.
Stigma serupa juga didapatkan oleh Tomy. Orang-orang di sekitarnya menganggap bahwa aksi maupun gerakan yang dilakukannya tidak berguna dan tidak akan berhasil. “Tapi aku selalu jawab bahwa setidaknya aku jujur dengan apa yang harus dibela, apa yang harus diperjuangkan. Mengenai aksi itu berhasil atau tidak, seenggaknya ada di titik, oh aku sudah memperjuangkan hal yang benar,” ungkap Tomy.
Intimidasi hingga stigma yang didapatkan oleh Dian dan Tomy tidak memadamkan api semangat mereka dalam menyuarakan aspirasi dan perlawanan. Miris mendengar pengalaman mereka, terutama ketika intimidasi dan stigma yang didapat malah mengarah ke gender. Dian dan Tomy hanya dua di antara puluhan masyarakat Bali yang berani menyuarakan haknya. Meski jangkauan suara di Bali tidak luas, sekecil apa pun bentuknya, perlawanan tetaplah perlawanan.
kampungbet